Jayabaya tentang
menilai jatidiri panutan masyarakat
mbah subowo.
Di era tujuhpuluhan
kita hanya nonton teve hitam putih, karena teknologi waktu itu belum maju.
Barulah di era delapanpuluhan hadir teve warna. Acara teve tanpa iklan
komersil, bagi pemirsanya justru mudah menilai siapa actor dan actress paling
sering tampil di layar kaca.
Acara local pada era
delapan puluhan itu hanya diisi sandiwara teve melulu yang menyelingi tayangan
film asing.
Film local dengan
jumlah artis yang masih terbatas sangat laris jika tayang di bioskop mulai yang
kelas misbar hingga kelas vip berpendingin ruangan.
Kemajuan teknologi
informasi saat itu masih didominasi produk Paman Sam dengan system operasi
computer jadul di pasaran. Waktu itu dengan prosesor “Intel 8088, 80286” untuk
Dos; serta “Motorolla 88020, 88030” untuk Mac OS.
Sistem operasi untuk
menjalankan sebuah computer yang ada di pasaran yang ada cuma Dos OS, Mac OS,
Win OS masih tahap dini, belum ada tuh system operasi khusus gadged semacam:
Android OS, I OS, Windows Phone, Blackberry OS, dan seterusnya.
Internet baru hadir
di era pertengahan sembilanpuluhan, tepatnya 1996 baru ada provider internet di
ibukota. Teknologi informasi, teknologi digital, dan berbagai cabang ilmu
pengetahuan memang masih dalam tahap pengembangan, masih sederhana.
Gambaran di atas
yang sederhana kini berubah total seiring kemajuan iptek atau sains dan
filsafat. Saat ini sangat sulit untuk menilai jatidiri yang sebenarnya terhadap
seorang pejabat public, selebritis atau public figure, dan tokoh masyarakat
termasuk para ulama. Mengapa? Karena semua saja terlibat dalam penggunaan
kemajuan teknologi yang mempengaruhi setiap tindakan dan pikiran seseorang
sesuai batasan yang bersangkutan dalam mengakses teknologi.
Berikut ini sekadar
referensi atas persepsi manusia modern dalam memandang jatidiri orang lain
terutama para tokoh idola, panutan, public figure dan barisannya:
Timah dianggap perak
Emas diarani tembaga (Jayabaya, 1100-an)
Kelak di masa depan pada
jaman terbolak-balik orang Jawa/Nusantara akan bias dalam menilai para tokoh
panutan yang bisa dijadikan tuntunan dan tontonan. Timah yang mudah meleleh itu
memang berwarna krom mengkilat hampir sama persis dengan warna krom pada logam
perak. Jadi timah jangan dianggap perak. Demikian pula emas yang merupakan
logam mulia itu warna dan resamnya kuning keemasan mirip dengan tembaga yang
juga kuning keemasan. Maka emas jangan disangka tembaga.
Siapapun di masa
depan di jaman gila jika hanya sekilas
memandang dan menilai secara singkat atau terburu-buru terhadap jatidiri orang
yang ingin dijadikan tokoh idola, tokoh panutan, atau apapun itu. Mungkin
karena tiap wejangan yang bersangkutan (melalui media tertentu) pantas
dijadikan tuntunan hidup. Tanpa teliti dan setiti akan mengalami kesalahan pilih
apalagi membikin penilaian mandiri tanpa melalui crosscheck bersama kehadiran orang terdekat.
Sekian untuk sekali
ini.