Ramalan Joyoboyo
tentang perang dagang
mbah subowo
''Ribut sekali seperti pasar saja!''
Begitulah
suasana dalam kegiatan belajar-mengajar di kelas, tatkala guru meninggalkan
ruangan mengajar untuk keperluan tertentu.
Ya, pasar tradisional
memang berisik dengan suara pedagang dan pembeli yang sedang berinteraksi atau
tawar-menawar. Jaman terus berganti tiada lagi kebisingan salah satunya beralih
ke minimarket, supermarket, dan hypermarket. Yang terdengar dalam ruangan
benderang berpendingin udara paling-paling hanya ada salam penyambutan di
pintu, “Selamat berbelanja!”
Di level lebih
tinggi antarnegara, barang masuk ke negeri lain maka dikenai pajak barang
masuk. Kesepakatan itu tentu harus adil bagi kedua belah pihak baik dari volume maupun nilai total perdagangan. Dan biasanya
mulai terjadi kisruh pada dua Negara yang berlebihan mengirim barang-barang hingga membanjiri
negeri lain, sementara yang dibanjiri tidak bisa balas menggempur balik dan akhirnya
kebanjiran barang impor.
Di tengah
panggung dunia yang terjadi selanjutnya “Perang dagang”
antara dua negeri berlawanan ideologi kini memasuki babak baru seolah tidak akhir,
kecuali para penggagasnya pada turun
panggung atau tidak memiliki kebijakan public lagi.
Di balik perang
dagang, adalah upaya para pihak yang berusaha mengendalikan pihak lain. Jalan
terakhir mengobarkan perang tariff itu ditempuh sebagai alasan ketimpangan
neraca salah satu pihak. Benarkah demikian?
Tiongkok maju
pesat perekonomiannya dalam sepuluh tahun terakhir. Mitra dagang terbesarnya
tentu saja merasa khawatir tak mampu membendung laju Tiongkok semakin kaya
raya.
Apa yang kelak
terjadi pada babak akhir? Hancurkah system dan ideologi Marxisme-Maoisme? Atau
pihak lawannya dengan sistem kapitalisme-neoliberalisme yang terjerumus ke
jurang resesi menuju kebangkrutan?
Pepatah dengan
kearifan masa silam mengatakan, “Gajah bertarung melawan Gajah, pelanduk yang
berada di tengah pertempuran akan menjadi korban.”
Negoisasi kedua
belah pihak kontestan perang dagang tampaknya terhenti hingga satu menyerah,
atau mengambil kebijakan lunak terhadap lawannya.
Nujum masyhur
Nusantara yang hidup delapan abad silam memprediksi hal di atas dalam satu bait
syair ramalannya:
Pasar ilang kumandange (Joyoboyo, 1100-an)
Di masa depan
akan memasuki jaman baru, jaman yang penuh kejutan, pada masa itu pasar menjadi
hening, sepi tak ada suara apapun. Walau demikian proses jual-beli dapat
berlangsung juga antara kedua belah pihak.
Akan tetapi
dalam keheningan pasar di masa depan itu bila terjadi ketidaksepakatan antara
pembeli dan penjual maka pertengkaran an keributanlah yang terjadi tiada
habisnya. Tak ada lagi terdengar suara penuh sopan-santun antara pedagang dan
pembelinya.
Sekian untuk
sekali ini.