Ramalan Joyoboyo tentang kerusakan ekosistem bumi

Ramalan Joyoboyo tentang kerusakan ekosistem bumi
mbah subowo
Pada era 60-an kondisi alam di bumi masih asri sebagai contoh begitu sederhana penghidupan penduduk hampir semua pedesaan di Jawa. Sebagai gambaran ekosistem asri tepatnya di wilayah sekitar Goa Selomangleng, Kediri. 
     Gunung Wilis, Ngliman, Ndungus, dan wilayah perbukitan salah satunya Klotok era 60-an masih dipenuhi tanaman besar yang rimbun, nun jauh di lembah Sungai Brantas permukaan air sungai selebar satu kilometer itu masih tinggi hampir menyentuh bibir sungai, tidak pandang waktu demikian juga di musim kemarau.
     Hamparan perbukitan di bawahnya sepanjang mata memandang terhampar permadani hijau sawah-sawah selalu terendam air dan basah sepanjang tahun, air mengalir terus dengan irigasi sederhana.
     Telah berabad berlangsung sebagai itu.
     Di waktu yang sama di ibukota Jakarta hanya ada bangunan bertingkat Hotel Indonesia dan Wisma Nusantara. Mobil-mobil Jepang “kotak sabun” sesekali berseliweran gagah di jalanan yang lengang.
     "Modernisasi" di seluruh planet bumi mulai era 70-80-90-00 hingga sekarang ini berlangsung suatu kemajuan menakjubkan oleh umat manusia mengalahkan kehidupan hampir duaribu tahun sebelumnya -- limapuluh tahun terakhirlah yang telah mengubah dunia!!!! 
     Sayang sekali, kemajuan itu juga diiringi ludesnya ekosistem alami sebagai imbas dari penggunaan besar-besaran bahan bakar fosil dan barang tambang lain sejenisnya. Dan berkat kemajuan teknologi di segala bidang, populasi umat manusia juga semakin bertambah terus.
     Kini saksikanlah akibatnya! Sawah-sawah berubah total menjadi kering di musim kemarau, demikian pula pada siang dan malam udara terasa terik. Pemandangan hamparan hijau dan pepohonan di lembah-lembah dari perbukitan Klotok-Wilis telah berganti dengan bangunan mewah, setengah mewah, dan sederhana milik penduduk yang terus “berjubel” memenuhi lahan-lahan dengan bangunan tempat tinggal.
     Menengok anak sungai dan Sungai Brantas alirannya sangan tipis dan sebagian dasar sungai menjadi kering di saat kemarau. Jika di masa silam kabut muncul dari sekitar mata air di perbukitan, kini semua itu telah hilang bersamaan dengan hilangnya pepohonan yang kini berganti menjadi lahan pertanian sederhana atau dibiarkan gundul begitu saja.
     Semua itu sudah diprediksi dalam satu bait syair oleh nujum masyhur Nusantara Sri Aji Joyoboyo.

Kali ilang kedunge (Joyoboyo, 1100-an)

     Kelak di masa depan sungai-sungai di Jawa/ Nusantara akan kekeringan, cadangan sumber mata air (kedung) di bagian tertentu di tepian atau di tengah sungai yang kedalamannya lebih akan lenyap. Mungkin kedung itu tertutup oleh hasil erosi yang terbawa aliran dari hulu sungai. Dengan hilangnya kedung maka air akan “bablas” mengalir terus tak sempat lagi parkir mengendap dan meresap masuk ke dalam tanah. Cadangan air yang lenyap akibat kerusakan ekosistem itulah membuat sulitnya mendapatkan air di kemarau.


     Sekian untuk sekali ini.
*****