Seberkas sinar di Wilwatikta Majapahit
Mbah Subowo.
1479 Saka. 1401 Masehi
Lelaki bugar itu masih bersetia menggurit daun rontal. Veteran
Majapahit yang ikut mengawal Baginda Krtarajasa menembus hutan Tarik itu
berusia satu seperempat abad. Ia Begawan pujangga Ra Vadia, memiliki putri berusia
remaja. Mereka tinggal di selingkaran pinggiran Wilwatikta.
“Kesuraman Wilwatikta bertambah nyata dari waktu ke waktu.
Dulu sekali tatkala Ibunda Tribuwana Anumerta, Majapahit bersinar semakin
gemerlap,” sepagi itu Begawan sudah memperdengarkan nyanyiannya dari salah satu
rontal.
Putri Anggia mempersilakan ayandanya untuk sarapan. Ia hanya
mempersiapkan bubur Majapahit. Bubur merah-putih, yang biasanya menandai adanya
“selamatan” tertentu.
Ulang tahun, baru bikin rumah, mulai bercocok, dan
sebagainya selalu diawali dengan sajian bubur yang satu itu. Akan tetapi jika
yang punya hajat punya simpanan lebih, maka bubur itu akan digantikan hidangan
lain: daging unggas, ikan, atau apapun juga yang lebih memeriahkan niat atau
hajatan yang bersangkutan. Orang dari Atas Angin menamai “sedekah”.
“Sri Ratu sudah melunak, tampaknya ia akan memenuhi
keinginan kawula Majapahit. Hanya saja ia meminta sedikit seremonial, agar para
Adhyaksa Majapahit mengajukan peninjauan atau gugatan atas Revisi Amana Gappa.”
“Jika gugatan para Adhyaksa gagal, Sang Ratu akan mengeluarkan Perpu ya, Ayanda?”
sahut putri Anggia.
Begawan itu dapat mendengar suara hati putrindanya. Kondisi
Majapahit yang suram belakangan ini memang berimbas pada semua saja. Kawula
alit di seputaran pusat Majapahit merasai seretnya pasokan pangan dan kebutuhan
sehari-hari. Perang, yang peperangan dengan Wirabhumi telah menelan harta, dan
nyawa prajurit Majapahit.
Bulan Suro memang akan digantikan beberapa hari, bisa
dihitung dengan satu jari tangan. Bencana tentu akan segera usai.
Sekian untuk sekali ini.
*****