Kabut kelam di
Majapahit
Mbah Subowo.
1479 Saka.
“Seluruh kawula Majapahit menentang perubahan Amana Gappa, Yang Mulia Sri Ratu….” Masih terngiang kata-kata dalam pertemuan berapa bentar dengan para komandan Armada Laut Majapahit, para Adipati, dan para syahbandar seantero Majapahit.
“Seluruh kawula Majapahit menentang perubahan Amana Gappa, Yang Mulia Sri Ratu….” Masih terngiang kata-kata dalam pertemuan berapa bentar dengan para komandan Armada Laut Majapahit, para Adipati, dan para syahbandar seantero Majapahit.
Wanita perkasa yang lebih keras dari baja itu memasuki bilik pribadi
Maharatu. Ia berpesan pada para pengawal tidak mau diganggu.
“Aku tahu satu cara…. Yakni mengambil posisi sebagai tetua
dari kelompok itu….”
“Dengan begitu lebih mudah menjelaskan setiap tindakan kepada
siapapun dari mereka ….”
Dilema dalam keputusan untuk kali ini sungguh memojokkan
Sang Penguasa Majapahit itu. Memang sudah jelas bagai matahari terbit di Timur,
kekuasaan lembaga pimpinan Wiraprabha itu telah menjadi momok bagi pejabat dan
pengusaha Majapahit. Revisi atas Amana Gappa demi meredam kelompok yang memburu
rasuahtor itu.
Kekuasaan Wiraprabha mendirikan gedung Hyang Guru tak jauh
dari Bandar Gresik, sungguh meresahkan hampir semua petinggi Majapahit. Bisa
kapan saja, dan siapa saja tiba-tiba diseret ke hadapan pengadilan yang telah
menelan banyak petinggi sipil dan militer itu. Roda ekonomi macet, kapal-kapal mancanegara tidak ada lagi yang singgah di Gresik.
Beberapa hari telah tersiar kabar Sri Ratu sedang gering.
Centini sang smodraksa laksmana, wakil Ratu urusan armada
Majapahit semakin dekat saja dengan sang adiknya Wiraprabha.
Daun-daun memenuhi latar rumah penduduk di Wilwatikta
dibiarkan saja berserakan. Jalan-jalan di seantero Wilwatikta tidak terurus
lagi. Dana kas Negara memang sedang kosong. Pemulihan…. Ya paling tidak untuk sepuluh
tahun….. tak perlu bertindak yang bakal menguras cadangan negara yang semakin kering….
*****