Inilah ibukota baru presiden baru

Inilah ibukota baru presiden baru 2019

Subowo.

Presiden Jokowi boleh jadi akan mengambil keputusan penting untuk mengundangkan pemindahan ibukota NKRI dari Jakarta ke suatu wilayah sebelum beliau menginjak masa purnabakti (pertama) pada Oktober 2019. Siapapun presiden baru terpilih nanti yang akan ditentukan begitu selesai hasil penghitungan suara oleh KPU secara realcount dalam pilpres 17 April 2019, maka presiden baru (terpilih) akan memikul tanggung jawab membangun secara fisik ibukota baru sesuai undang-undang yang berlaku.
    Mendudah sejarah mengenai wacana pemindahan ibukota sejak pada akhir tahun limapuluhan tatkala itu Presiden Soekarno memilih Palangkaraya sebagai pengganti Jakarta. Situasi tahun-tahun tersebut masih dalam tahap perjuangan mengusir kolonialisme di Kalimantan Utara. Soekarno memilih Palangkaraya dengan asumsi wilayah jajahan Inggris di Kalimatan Utara akan menggabungkan diri dengan NKRI. Sehingga Pulau Kalimantan seluruhnya milik NKRI. Wilayah kolonialis Inggris tersebut sebenarnya tinggal selangkah lagi bergabung dengan NKRI. Tatkala itu Soekarno berada di atas angin, karena segenap rakyat dan para tokoh Kalimantan Utara siap menggabungkan diri dengan NKRI. Akan tetapi berkat campur tangan secara intelijen dan militer, serta berkat kelihaian kaum kolonialis Inggris telah mengubah jalannya sejarah. Kalimantan Utara sesuai keinginan kaum kolonialis pada akhirnya menjadi wilayah Kerajaan Malaysia Timur.
    Untuk kondisi saat ini bagaimana dengan strategi atau pilihan Soekarno masih berlakukah menjadikan Palangkaraya sebagai ibukota baru NKRI? Mengingat wilayah ini sekarang  memang menjadi “dekat” dengan wilayah perbatasan dengan negara tetangga Malaysia.
    Palangkaraya boleh saja tetap dipilih sebagai ibukota NKRI, akan tetapi dengan sendirinya perlu pertimbangan lagi menyangkut soal keamanan dan sebagainya sesuai dengan kondisi saat ini, mengingat Pulau Kalimantan bagian Utara adalah wilayah negara tetangga. Sama seperti Pulau Papua Barat NKRI yang juga terdapat wilayah perbatasan panjang dengan Papua Nugini yang notabene memiliki bagaian wilayah hampir separoh dari Pulau Papua.
    Jika pilihannya adalah wilayah (pulau) terluas Kalimantan sebagai bahan pertimbangan secara kebetulan dalam Sejarah paling awal Nusantara 450 SM ditemukan prasasti sejarah berada di wilayah Kutai, Krtanegara, Kalimantan Timur. Wilayah tersebut bisa dijadikan bahan pertimbangan dalam memilih sebuah lokasi pusat pemerintahan baru pengganti Jakarta. Sebagai wilayah yang jelas-jelas pernah dihuni oleh nenek-moyang (penduduk awal Nusantara) yang memiliki kebudayaan tinggi pada tahapan paling awal sejarah Nusantara. Boleh juga pendapat resmi di atas dibantah bahwa wilayah lain di Nusantara, a.l. Sulawesi, Jawa Barat dan lainnya juga memiliki kebudayaan tinggi dan lebih awal lagi sebelum 450 SM, berbagai klaim baru tersebut tentu harus dibuktikan dengan suatu temuan berupa benda arkeologis yang mencantumkan angka tahun pembuatannya.
    Realisasi pemindahan ibukota di tengah situasi penghitungan suara oleh lembaga KPU pasca pilpres 2019 dalam situasi politik yang masih “panas” sebenarnya kurang baik dalam konteks suasana membangun “rumah baru” pusat pemerintahan NKRI.
    Benarkah situasi pasca pilpres tidak/kurang kondusif? Jawabannya simpang-siur, tergantung siapa yang mengungkapkan hingga berbagai macam argumen telah datang dari para cerdik-cendikia baik tokoh sipil maupun militer.
    Menurut hemat penulis jawaban yang pas mengenai “kecurangan pilpres 2019” dimiliki oleh anak-anak kecil.
    Dalam suatu gelanggang permainan apapun biasa terjadi anak-anak menyerukan, “Liiiicik…!” oleh anak-anak di wilayah Pasundan. “Wiiiilet….!” oleh anak-anak di pedalaman Jawa. Atau, “Cuuuurang…!” oleh anak-anak di selingkaran wilayah Betawi, dan seterusnya.
    Itulah ucapan anak-anak yang berseru biasanya jika merasa kalah, atau sedang terdesak lawan main, atau pun sekadar seruan anak-anak memecah kesunyian.
    Ada kisah nyata Presiden RI keempat Gus Dur, saking kerap menghadapi situasi kegaduhan tertentu terutama di lingkungan legislatif akhirnya mengatakan, “Anggota DPR seperti anak TK (taman kanak-kanak).” Mungkin saking ributnya mereka satu sama lain jadi sama seperti anak TK.

    Sekian untuk sekali ini.