Inilah pertarungan abadi sejak Majapahit hingga NKRI
mbah subowo bin sukaris
Pertarungan semasa Majapahit ca 1478 M, antara Sabdo Palon yang berpaham Syiwa-Buddha-Dewa Banyak melawan Kepercayaan Dewa Tunggal, kini tengah terjadi di penghujung tahun 2016. Pertarungan sepanjang limaratus tahun lebih belum ada yang bisa disebut sebagai sang pemenangnya. Apakah itu mungkin suatu pertarungan abadi? Tampaknya di satu sisi Sabdo Palon sendiri mengatakan, "Belum lega hati hamba.... sebelum dapat mengalahkan para musuh...."
Nyatanya di penghujung 2016 bukan "Sabdo Palon" yang melakukan ofensif terlebih dulu, justru para lawan yakni dari pihak sang Kepercayaan Dewa Tunggal yang memukul duluan.
Sabdo Palon bukan sebangsa manusia (juga bukan sebangsa alien), beliau mengaku sebagai Danghyang Tanah Jawi atawa pepunden/leluhur Nuswantara kini sudah menitis/mengejawantah dengan baju modern dalam tatktik dan strateginya di medan tempur yang panjang.
Sabdo Palon tidak lagi menggunakan sarana kuno yang berupa kutukan berusia setengah milenium itu. Apakah para semua tidak dapat memahami dengan jelas bahwa semua yang terjadi di mana salah satu pihak ibarat menggunakan taktik ala Tentara Merah Tiongkok, "Musuh maju menyerang, Tentara Merah lari mundur -- Musuh diam bertahan, Tentara Merah mengganggu mereka -- Musuh berlari mundur, Tentara Merah mengejar mereka."
Berkaitan dengan taktik perang gerilya memang dari data sejarah tidak dikenal sejauh mulai dari abad ketigabelas masehi dari Arok Singhasari hingga Raden Wijaya Majapahit. Semua pertempuran baik di darat maupun di laut harus dihentikan setelah terbenamnya mentari. Perubahan taktik menjadi perang gerilya yang sesungguhnya terjadi pada abad keenambelas masehi (tahun 1500-an), yakni sejak kedatangan bangsa Barat ke wilayah perairan Nusantara. Perang malam atau tanpa mengenal batas waktu mulai diterapkan oleh sisa-sisa pasukan Majapahit yang berusaha mengusir bangsa Barat yang berusaha mendarat dan menguasai berbagai pelabuhan di Jawa.
Era modern, di mana manusia sudah melampaui batas, sampai-sampai ingin menghindar dari kepunahan spesiesnya dengan cara "merantau" ke bumi yang lain. Untuk kebutuhan "mengungsi" itu sementara ini teknologi yang dapat dicapai para ilmuan baru tahap di awal dari ujung keberhasilan.
Bisa disebutkan sebagai ilustrasi mengenai kemajuan teknologi yang dikuasai umat manusia, untuk menjelajah angkasa diupayakan suatu berupa pengganti tenaga roket terbaru yang tidak lagi menggunakan bahan bakar kimia (yakni teknologi baru EM Drive atau semacam "microwave" pendorong). Lantas juga tenaga sinar laser nonstop selama puluhan tahun yang ditempatkan di orbit bumi yang mampu menggerakkan pesawat nano dengan sepersekian kecepatan cahaya ke penjuru alam semesta.
Satu lagi impian manusia menciptakan matahari buatan dengan reaksi fusi nuklir (bukan fisi nuklir konvensional) yang sejauh ini masih tahap awal eksperimen.
Itulah daftar proyek terbaru ambisius demi rasa keingintahuan manusia yang tanpa batas itu, yakni menciptakan pesawat dengan kecepatan cahaya dan memperoleh energi melimpah di bumi. Dalam kaitan kecepatan cahaya alhasil saat ini baru seukuran atom tertentu yang diuji coba untuk mencapai kecepatan itu. Reaksi fusi nuklir pun baru kurang lebih satu detik saja tingkat keberhasilannya
Di satu sisi patut diapresiasi kemajuan teknologi, sementara di sisi lain terjadi pertarungan paham yang berakhir dengan jalan untuk saling menaklukkan satu sama lain.
Bisa diibaratkan anak kecil memang memiliki naluri untuk bermain-main, dan juga sekadar perkelahian atau pertarungan anak-anak. Patutlah dimaklumi dalam masa pertumbuhan fisik mereka ingin memenuhi keinginan gerak tubuhnya. Orang dewasa lain lagi ceritanya, mereka tidak berkelahi dengan tubuhnya, akan tetapi dengan mulutnya yang melontarkan kata-kata serangan kepada yang dianggap musuhnya. Yang sudah dewasa berbuat demikian itu disebut "padu". "Padu" adalah naluri primitif semacam debat kusir penuh amarah yang terbawa ke jaman modern ini. Dan "padu" biasanya hal itu tidak dilakukan oleh mereka yang sudah relijius, atau mencapai tingkatan menguasai "ilmu". Dengan "ilmu"nya mencegah diri mereka dari perbuatan sembarangan melampiaskan emosinya. Kalau seseorang yang berilmu dan sangat religius lantas menyerang orang lain, itulah yang hanya mungkin terjadi sebagai salah satu fenomena di "jaman edan".
Jika memang benar ini "jaman edan" sebagai diramalkan Joyoboyo dari abad keduabelas masehi, maka satu-satunya pilihan bagi yang waras ialah "eling dan waspada". Artinya dengan mengerti bahwa fungsi reliji adalah untuk mengolah jiwa dan batin menuju kesempurnaan hidup dan bukan sebagai sarana untuk kepentingan politik praktis. Sedangkan pertarungan dan pertempuran adalah hak dan kewajiban serta tugas bagi laskar atau pasukan perang yang memang dibentuk khusus untuk itu. Tidak boleh dicampuradukkan!
*****