Inilah bedanya Mega
dan Jokowi
mbah subowo bin
sukaris
Para pembenci Bung
Karno itu ternyata ada. Bung Karno yang dianggap sekuler, Bung Karno yang
pro-komunis, Bung Karno yang kolaborator Jepang, dan lain-lain. itulah hanya
alasan mengada-ada untuk tidak mengkultus individukan sosok luar biasa
tersebut. Sosok Bung Karno bagi pemujanya: ia penulis luar biasa, Bung Karno
orator tiada tandingan, Bung Karno punya puluhan gelar Doctor Honoris Causa,
Bung Karno yang bisa berpidato di depan sidang PBB menggunakan Inggris fasih
berjam-jam membuat pendengarnya terkesima, dan seterusnya daftar panjang lagi.
Pembenci dan pemuja
Bung Karno tak pelak lagi akhirnya mengarahkan sasarannya kepada Megawati. Para
pembenci yang memang ada itu tetap berlaku serupa pada Mega, juga para pemuja
Bung Karno akan menaruh simpati pada Megawati.
Jokowi yang bukan
sangkutan dengan Bung Karno memang mungkin saja anak ideologis beliau. Tentu
Jokowi anak ideologis Bung Karno, sebagaimana Mega mempu melihat potensi
tersebut dalam diri Jokowi. Jika Jokowi bukan Sukarnois, barangkali Mega punya
pertimbangan lain lagi soal jagoannya itu. Sukarnois itu menjunjung Trisakti,
mandiri dalam politik, mandiri dalam budaya, mandiri dalam ekonomi.
Apakah para pembenci
Soekarno juga membenci Jokowi? Belum tentu jawabannya. Apakah pemuja Soekarno
akan bersimpati pada Jokowi? Belum tentu juga. Jokowi berbeda dengan Mega,
apalagi dengan sosok Bung Karno.
Lebih tepatnya posisi
Jokowi adalah di tengah-tengah antara Mega dan Soekarno.
Sewaktu Megawati
menduduki kursi nomor satu di Republik ini, para pemuja Soekarno cukup kecewa
dengan sikap Mega tidak melakukan apapun terhadap posisi politik mendiang ayah
kandungnya. Sehingga pada akhirnya para pengikut Soekarno hanya bisa mengelus
dada belaka, hampir tak ada kebijakan Mega yang bertujuan mengembalikan
kejayaan Indonesia di masa lalu -- era Soekarno. Pada era Jokowi ini era
kejayaan masa lalu bukan hanya sebatas tahun enampuluhan, akan tetapi jauh ke
masa silam di mana kerajaan Majapahit yang merupakan negara maritim terbesar di
belahan bumi selatan. Itulah visi salah satu menteri Jokowi, dan tentu saja
visi Jokowi sendiri. Jokowi melihat lebih jauh daripada Indonesia era
kemerdekaan. Indonesia/Nusantara dimulai pada antara abad keduabelas masehi
hingga abad kelimabelas itulah bagian dari visioner Jokowi.
Sementara Mega yang
selama puluhan tahun berpolitik berada di bawah tekanan Orde Baru Soeharto,
tentu selalu bertindak hati-hati untuk tidak membahayakan dirinya sendiri dan
partainya.
Majapahit era Hayam
Wuruk dan Republik Indonesia era Soekarno, merupakan era mandiri penuh kejayaan
di mana peran Indonesia/Nusantara dengan segala sepak terjangnya dalam
percaturan politik dunia sangat diperhitungkan oleh negeri lain. Secara ekonomi
mungkin Majapahit lebih makmur dibandingkan era Soekarno. Secara politik era
Soekarno lebih mempengaruhi secara global dibanding Majapahit. Akan tetapi
secara militer baik era Soekarno maupun era Majapahit sama-sama disegani di
dunia.
Majapahit sanggup
menjaga perairan Nusantara dari sasaran bajak laut dan perompak. Jokowi
mencobanya juga. Laut Cina Selatan sejak Majapahit memang termasuk daerah
kekuasaan Majapahit sekaligus terkadang termasuk dalam kekuasaan Tiongkok. Hal
itu silih berganti tergantung kekuatan militer masing-masing antara kerajaan di
belahan bumi selatan dan kerajaan di belahan bumi utara itu pada masa silam.
To Laut Jokowi bukan
sekadar harga semen di Papua sama dengan di Jawa, akan tetapi di balik itu
terdapat visi Majapahit dalam menjaga perairan Maluku yang kaya rempah-rempah
pada jamannya. Kini yang perlu dijaga agar tidak dijarah orang asing bukan rempah-rempah
Maluku yang berharga di masa lalu melainkan kekayaan laut antara lain hasil
laut berupa ikan, barang tambang berupa: cadangan gas dan minyak bumi, dan lain
sebagainya.
*****