Ramalan Joyoboyo, "Perang Saudara di Nusantara"




Ramalan Joyoboyo, "Perang Saudara di Nusantara"

by mbah Subowo bin Sukaris

Pemimpin visioner Bung Karno dalam meraih kemerdekaan negeri pada jamannya mengacungkan tinggi-tinggi panji antikolonialisme dan antiimperialisme. Era kolonialisme Nusantara berakhir selanjutnya terkena ajang era pertarungan perang dingin blok komunis vs blok kapitalis. Pada awal perang dingin itu Republik Indonesia belum sempurna tanpa wilayah Papua Barat. Untuk membebaskan Papua dari kolonialime kasep itu Bung Karno memperoleh dukungan penuh dari negeri Asia Afrika yang juga sebelumnya telah berjuang menjadi negeri merdeka. 
      Kemelut di tanah Papua itu berawal dari  perjanjian KMB yang diteken di Den Haag, sesuai Konferensi Meja Bundar pada 1949 maka wilayah Papua Barat akan diserahkan oleh pihak Belanda kepada RI. Dengan demikian selanjutnya Papua Barat menjadi wilayah NKRI yang sah. 
      Apa yang terjadi dengan wilayah Papua tersebut hingga satu dasawarsa kemudian? Belanda mengingkari janjinya untuk hengkang dari Papua Barat. Maka tiada pilihan lain bagi Bung Karno dalam upaya membebaskan Papua Barat dari kolonialisme Belanda mengambil langkah awal dengan menasionalisasi perusahaan Belanda yang ada di Indonesia. 
      Pada 1961 dalam upaya lanjutan merebut Papua Barat maka Bung Karno mengumandangkan perang terhadap pihak Belanda. Trikora, demikian nama komando rakyat itu pada intinya memerintahkan segenap rakyat Indonesia merebut Papua Barat, dan bersiap-siap jika perlu untuk mobilisasi berperang menghadapi Belanda. Di samping memobilisasi dukungan rakyat Indonesia, begitu pula adanya persiapan secara militer berupa pembelian besar-besaran dari Soviet Uni berupa kapal perang, pesawat tempur, dan perlengkapan senjata tempur bagi segenap prajurit yang akan diterjunkan di Papua Barat.
      Indonesia berubah dari negeri berkembang yang baru merdeka menjadi negeri super power yang memiliki kekuatan militer terbesar di Asia Tenggara.
      Eskalasi peperangan Republik Indonesia melawan Belanda di Papua Barat tidak terjadi. Papua Barat menjadi wilayah RI berkat perundingan diplomasi yang disponsori oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa yang merekomendasi diadakan semacam referendum di Papua Barat. Referendum yang kemudian terjadi di Papua Barat memang bukan "one man one vote", akan tetapi melalui perwakilan. Alasan pepera (penentuan pendapat rakyat) yang diadakan oleh Orde Baru pada 1969 melalui perwakilan atau wakil-wakil rakyat ialah akibat adanya kendala lokasi atau medan geografis di tanah Papua Barat.
      Konflik tiada henti terus berlanjut sejak Papua Barat berada dalam pangkuan Republik Indonesia di bawah rejim Orde Baru. Orang Papua mempercayai mitos yang berbeda sangat jauh dibandingkan dengan bangsa Nusantara lainnya. Kekayaan alam tanah Papua memang luar biasa, dan sudah sepantasnya kekayaan itu disedot serta dikelola demi menyejahterakan rakyat pribumi Papua sendiri. Untuk itu dengan sendirinya perlu mendekati rakyat Papua secara khusus, dan tentu saja tidak sembarangan begitu saja, salah satunya dapat melalui jalan pendekatan ilmiah. Dan untuk itu hal yang diperlukan adalah lebih dulu memahami orang Papua seutuhnya dan realistis sebagaimana adanya.
      Berdasarkan catatan sejarah masa silam, pada masa pemerintahan Sri Aji Joyoboya di Kediri pengaruh kekuasaannya hingga Tidore. Dan Tidore secara turun-temurun wilayahnya hingga Papua Barat sebatas di wilayah semenanjung kepala burung. Begitu pula semasa keemasan kerajaan Majapahit dalam Negarakrtagama disebutkan wilayah kekuasaan Majapahit termasuk daerah Wanin atau semenanjung kepala burung Papua.
      Konflik Papua warisan rejim Orde Baru itu yang mengundang investor asing guna mengeruk kekayaan tambang di Papua Barat tanpa pernah membuat orang Papua menikmati kekayaannya itu memang perlu waktu penyelesaiannya yang tepat, dan dengan formula yang tepat. Sehingga menyejahterakan penduduk pribumi Papua.
      Masalah Papua itu hanya menggambarkan sebagian contoh saja di antara masalah serupa yang terjadi di Kalimantan, Sumatera, Jawa, Sulawesi, Nusatenggara, Bali, dan wilayah lainnya di dalam koridor NKRI. Masalah di Papua dan wilayah lainnya itu tanpa dicari solusinya tidak akan pernah selesai dengan sendirinya. Dan jika demikian halnya, maka yang bakal terjadi sebagaimana Joyoboyo sudah memprediksinya sejak abad keduabelas masehi (1100-an) berikut ini:

Ana peperangan ing njero.
Timbul amarga para pangkat akeh sing padha salah paham.
Durjana saya ngambra-ambra.
Penjahat saya tambah.
Wong apik saya sengsara.
Akeh wong mati jalaran saka peperangan.

Kelak suatu masa akan terjadi perang saudara di dalam negeri Nusantara, penyebabnya sepele saja yakni akibat salah paham, tanpa koordinasi yang baik dan tidak ada pihak yang mengalah dalam perselisihan di antara para pemimpin militer maupun di antara pemimpin dalam lembaga negara. 
      Dalam suasana kekacauan sebagai itu banyak orang jahat yang mengail di air keruh: kekejaman penjahat kelas kakap dan mafioso semakin menjadi-jadi, maka terjadilah korupsi besar-besaran dalam pemerintahan. Demikian pula ulah para usahawan swasta merugikan keuangan negara dengan berbagai cara antara lain menggelapkan pajak, memonopoli tender proyek, mengedarkan barang madat, menggarap konsesi hutan seenak udelnya, menggali barang tambang seenaknya tanpa mengindahkan dampak lingkungan, dan sebagainya. 
      Tatkala itulah orang jujur dan juga para alim ulama semakin tambah sengsara. Peperangan dalam negeri Nusantara itu menelan banyak korban di mana-mana.

*****