Misteri Sabdo Palon dan bencana 2012
7
1978
Tepat limaratus tahun sejak Majapahit runtuh. Di sebuah dusun di bawah naungan Merapi, Merbabu suasana damai, cuaca pun selalu sejuk sediakala. Seorang lelaki berperawakan sedang, wajahnya pribumi asli bernama Eyang "Kere" tampak di depan rumah batunya. Tidak biasanya ia berlama-lama di halaman rumahnya. Penduduk dusun yang lewat di jalanan desa berusaha menyapanya. Halaman rumahnya cukup luas sehingga siapapun yang mencoba mengamati Ki Kere harus menghentikan langkah kakinya dan menajamkan lensa mata sendiri.
Sorot mata lelaki tua itu dari kejauhan tampak tajam, menembus barangsiapa yang merasa pernah menjadi lawan bicaranya. Air mukanya selalu setenang telaga di puncak sebuah bukit. Tak pernah muncul urat wajahnya tegang, atau lemas. Juga tidak sekaku urat wajah serdadu. Hidungnya tidak sepesek pribumi Jawa, akan tetapi juga tidak semancung keturunan brahmana. Dalam usianya "fisiknya" menjelang tigaperempat abad masih tetap tampak auranya yang muda, misterius, dan anggun.
Di desa Tintang itu orang memanggilnya "eyang". Sosoknya dikenal penduduk sebagai seorang "pintar" akan tetapi tidak pernah melayani orang lain yang datang sebagai layaknya dukun kampung. Orang sedusun Tintang menganggapnya sedang mengasah ilmu, bertapa,atau apapun juga. Mereka tidak pernah mendapatkan keterangan resmi secara langsung dari yang bersangkutan, maupun dari orang lain yang pernah mengunjunginya.
Penduduk dusun Titang tidak pernah melupakan peristiwa tiga belas tahun yang silam. "Eyang" itu ramai didatangi tamu dari segenap penjuru. Dan tentu saja tidak terkecuali para intel kawan maupun lawan.
Penduduk Titang yang tua-tua masih ingat kala itu di seluruh Jawa tengah terjadi perang saudara antara golongan komunis dan bukan komunis, para tetamu "Eyang" datang dan pergi dengan wajah yang memburu-buru seolah ada sesuatu yang mengejar mereka. Para tamu yang datang dengan airmuka ketakutan itu meninggalkan rumah eyang dengan tenang, wajah mereka tidak segugup sebelumnya, bahkan mereka tampak sedikit lega.
Suatu siang di tahun 1978 itu seorang tamu berkulit agak gelap, sosoknya tidak semampai malah cenderung pendek dan gempal. Usianya belum lagi berpaut setengah abad. Airmukanya selalu tampak tersenyum layaknya gaya seorang pejabat negara, tak pernah sekali saja ia bingung dan cemas. Ia selalu menyebut dirinya "Wayah" sejak "Eyang" itu berkata dalam Jawa, "Wisu, dirimu itu sejatinya wayah Ki Sabdo Palon".
Hari itu Wisu baru tiba di desa Tintang setelah menempuh perjalanan dari selingkaran keraton Yogya, tempat tinggalnya.
"Wisu, bagus sekali staminamu, tak tampak kelelahan seusai menempuh perjalanan sejauh itu." sambut eyang.
Kemudian lelaki tua itu mulai bersiap mengajarkan kepada Wisu yang baru datang itu sebuah mantra yang dibacakan pelahan diiringi dengan teknik pernapasan khusus.
"Coba pejamkan matamu, Wisu."
Wayah yang sedang berbaring istirahat di ambin bambu memejamkan matanya. Ia mencoba menembus kabut merah selaput kelopak matanya dan membayangkan sedang melihat suatu kejadian.
"Perang besar, eyang. Pasukan Amerika mendarat di pelabuhan Jakarta," sahut Wayah sejadi-jadinya antara sadar dan setengah sadar.
"Wisu, engkau tahu siapa aku?" tetak eyang yang berdiri di tepi ambin.
Wayah terdiam dan memasang telinganya baik-baik.
Suara eyang yang melengking dan fasih melafaskan setiap kata yang sedang diucapkan itu mengulangi pertanyaannya yang tak terjawab oleh Wisu kemudian menanyakan lainnya, "Tahukah dirimu, Wisu, siapa itu Ki Sabdo Palon?"
"Oh, dia itu seorang dalang," jawab Wayah kalem.
Eyang tersenyum, lelaki tua itu kemudian membangunkan Wayah agar duduk kembali di ruangan tengah.
Sejak itu Wayah dan Eyang sering berlatih bersama, yang satu mewejang dengan atau tanpa teks, dan yang lain mendengarkan serta kadang mempraktekkan gerakan fisik yang dicontohkan oleh eyang.
Sejak hari itu Wayah tinggal di sanggar eyang, setelah Wayah selesai digembleng sebulan penuh oleh eyang, "Wayah, sekarang segera pergilah pulang ke rumahmu."
Wayah berkemas dan meninggalkan rumah eyang di Tintang itu. Selama menempuh perjalanan dengan berbagai transportasi itu masih terngiang-ngiang, tugas yang diberikan eyang, itu terjadi tanpa sadarnya bahkan tanpa perintah lisan maupun tertulis. Wayah merenungi semuanya dan menimbang dengan nalar, pikiran, dan hati nuraninya. "Keadaan di Nungsamulyatiyasa ini kacau-balau. Tatanan negeri di bawah Jendral Wartoni tidak dapat dibenarkan dan juga tidak boleh dibiarkan saja. Bangunlah kekuatan, solidaritas, dan jangan pernah merasa takut, karena takut itu awal kekalahan diri," kalimat itu tidak pernah diucapkan eyang, tetapi meluncur begitu saja dalam kepala Wayah.
Sejak tiba di rumahnya di selingkaran keraton Yogya Wayah mengurung diri dan tekun berlatih seorang sendiri apa saja yang didapatnya dari dusun Tintang, dan ia mulai merasakan hasilnya. Orang lain yang mengenal Wisu merasakan telah terjadi perubahan dalam diri Wisu.
"Ya, eyang telah memberikan ilmu mengenai 'bagaimana menjadi orang waras dan sadar tentang diri pribadi'."
Pada suatu hari Wayah mengatakan, "Eyang berdawuh begini.....," kepada para pendengarnya dari berbagai kota besar di Jawa, dan ia selalu mengatakan apapun yang dikatakannya itu berasal dari eyang sendiri. Dan kewajiban yang dibuatnya sendiri ialah mengungkapkan semua itu kepada siapa saja.
Dan suasana represif dan mencekam yang diberlakukan Jendral Wartoni bersama segenap New Orde telah menjadikan semua berpikir seperti robot mulai khalayak luas mulai dari petani yang paling bawah dan para intelektual yang berada di atas. Semua saja yang berada di luar lingkaran kekuasaan tentu merindukan sesuatu perubahan negeri Nungsamulyatiyasa, itu nama lain negeri ini menurut sebutan eyang. Dan Wayah pun selalu didengarkan oleh mereka yang menginginkan perubahan dan suasana negeri, walaupun demikian pada akhirnya Wayah juga didengarkan oleh siapa saja yang tertarik dan berminat pada soal-soal baru yang diceritakan oleh eyang misterius itu melalui mulut Wayah.
"Nungsamulyatiyasa kelak akan berubah pada 2012, ada kejadian besar melanda jagad semesta." Demikian Wayah mengatakan kepada siapa saja yang dikunjunginya di Jakarta, Surabaya, Semarang, dan tentu saja tanah kelahirannya Yogyakarta.
"Itu masih lama, tigapuluh tahun lebih lagi," jawaban salah seorangtuan rumah di daerah Tebet, Jakarta Selatan.
"Wayah, lantas bagaimana agar kami semua bisa selamat menurut eyang?" tanya seorang tuan rumah di Kebayoran Baru Jakarta.
Kemudian Wayah menceritakan tatkala Eyang memberikan sesuatu kepada Wayah. Dan kepada para sahabatnya Wayah menceritakan kembali wejangan langsung eyang, "Perbanyak ini dan berikan kepada siapa saja yang mau. Benda ini bisa membuat barang siapa yang memilikinya bisa terhindar dari bencana 2012 itu."
"Oh, begitu. Baiklah kalau cuma itu yang harus dilakukan." Pendengar Wayah pun menerima benda itu, dan menganggap kejadian mendatang tigapuluh dua tahun lagi yang belum terbukti itu pun sudah ada penangkalnya yang terpasang di atas pintu rumahnya.
Semua sahabat Wayah berharap dengan benda penangkal yang dipasang di depan rumah itu berharap bukan hanya keluarganya sendiri selamat, akan tetapi mereka juga berharap agar peristiwa bencana besar 2012 itu tidak pernah akan terjadi.
Andai bencana itu benar-benar batal terjadi, tentu semua itu berkat benda penangkal ajaib yang semakin banyak di pasangkan di atas pintu rumah siapapun yang sudah punya rumah sendiri. Rumah kontrakan lain lagi soalnya, mungkin akan menjadikan geli sang pemilik kontrakan memandang benda itu.
*****
by Subowo bin sukaris