Misteri Perang Paregreg Majapahit


Misteri Perang Paregreg Majapahit
11


Sudah menjadi kehendak alam, pada akhirnya datang juga masa suram itu, Majapahit telah kehilangan pemimpin jeniusnya: Hayam Wuruk, Gajah Mada, dan Mpu Nala. Sejak Hayam Wuruk wafat enam tahun yang silam masa keemasan Majapahit mulai pudar, tampuk kekuasaan Majapahit jatuh beralih pada putri beliau, Kusumawardhani. Wanita setengah pertapa ini berdampingan dengan pangeran pertapa pula tatkala maju menaiki singgasana Majapahit di tengah suasana terus-menerus berkabung. Dengan maraknya Kusumawardhani dan Wikramawardhana maka takhta dan singgasana kerajaan besar di bumi selatan itu mulai terasa goyah. 
      Kasak-kusuk di seputar lingkungan istana temanya sama saja, Kusumawardhani terlalu lemah dalam memerintah Majapahit. Ia bahkan tidak begitu menghiraukan tulang punggung kekuatan Majapahit yakni Angkatan Laut, dan yang disebut belakangan ini mulai mencari peluang dengan kekuatan senjata untuk menjadi raja kecil di wilayah yang jauh dari pusat.
      Musim kemarau telah datang, walau demikian seluruh Majapahit merasai suasana udara yang masih terasa sejuk, embun pagi masih tebal dan terkadang membentuk kabut di seantero wilayah yang dialiri sungai Brantas. Sungai Brantas berada di antara gunung-gemunung Wilis di barat, gunung Kelud di timur. Wilayah yang diapit kedua gunung itu dinamai Daha. Inilah wilayah pedalaman Jawa bagian timur yang subur dan paling besar jumlah penghuninya. 
      Di tepian kotaraja Majapahit, dalam sebuah rumah kayu jati yang kokoh, dikelilingi pekarangan luas di bagian depan, belakang, kiri, dan kanan, tinggallah begawan pujangga Majapahit Ra Vadia. Rumah kayu itu cuma dihuni dua orang, yang satu lagi seorang gadis rupawan, putri sang begawan.
      "Ayahanda....," sepagi itu tidak biasanya Dewi Anggia mendahului berkata-kata apalagi mengajukan pertanyaan kepada sang ayahandanya. Biasanya ia lebih bersikukuh mendengar dan menunggu belaka.
      "Majapahit saat ini berbeda dengan semasa Hayam Wuruk, mengapa dan apa yang tengah terjadi, Ayahanda?"
      Begawan Ra Vadia yang selalu dekat dengan rontal dan penggurit serta jelaga itu meletakkan benda yang tengah berada di tangannya. Ia menatap mata putrinya sejenak, dan segera saja mendapatkan kekuatan untuk berkata-kata, "Sepertinya kekuatan Majapahit mulai terbelah dan memiliki dua induk, satu kawasan Majapahit Barat, dan sisanya kawasan Majapahit Timur."
      Dewi Anggia berubah airmukanya menjadi penuh tanda tanya sekaligus rasa ingin tahu. 
      "Majapahit Barat tempat di mana kita berada saat ini adalah pusat kekuasaan yang sejati. Para raja dari wilayah di luar Jawa bersetia pada kekuasaan yang satu ini. Kekuasaan lain yang tengah menyaingi pusat Majapahit  tengah tampil saat ini berasal dari wilyah Lumajang hingga Blambangan dipimpin oleh Wirabhumi yang juga berdarah Majapahit....."
      Sejenak memandang keluar jendela terbentang cuaca cerah pagi hari, semua saja bermandikan sinar perak, begawan itu melanjutkan, "Wirabhumi merasa sebagai seorang pangeran yang paling berhak menggantikan Hayam Wuruk menduduki singgasana pusat Majapahit, hanya dalam beberapa tahun saja ia merasa lebih kuat untuk dapat menggulingkan kekuasaan putri Kusumawardhani pewaris Baginda Hayam Wuruk. Sementara Wikramawardana pendamping Kusumawardhani yang lebih berperan mengatur Majapahit dibandingkan istrinya dianggap menjadi penghalang bagi Wirabhumi meniti jalan menuju pusat singgasana."
      Dewi Anggia tidak menyela lagi, karena ayahandanya begitu lancar menjabarkan pertarungan yang tengah terjadi di antara kekuatan politik Majapahit.
      "Kekuatan pasukan pasukan laut Majapahit yang gemilang itu pelahan dan diam-diam mulai mengerucut dan berpihak pada salah satu di antara kekuatan Barat dan kekuatan Timur. Mereka yang mendukung Wirabhumi samar-samar berusaha mulai membangkang terhadap Kusumawardhani dan Wikramawardhana. Semua itu sedang berjalan pelahan sejak wafatnya Prabu Hayam Wuruk, orang mulai membuat sassus perang saudara rebutan takhta Majapahit beberapa tahun mendatang tak terelakkan lagi."
      Sejenak begawan itu meneguk minuman dari cangkir yang terbuat daripada tabung bambu. "Wikramawardhana dan Kusumawardhani tidak memiliki mahapatih sekelas Gajah Mada, maka keduanya yang sehari-hari hidup lebih mendekati pertapa daripada seorang raja, di samping seluruh kekuatan darat Majapahit hanya dapat mengandalkan terutama para laksamana angkatan laut yang setia pada prabu Hayam Wuruk. Sementara itu Bhre Wirabhumi berusaha mengimbangi kekuatan laut Majapahit dengan membangun besar-besaran pasukan darat yang kuat dan dalam jumlah besar."
      Begawan Ra Vadia terdiam cukup lama, dan kali ini Dewi Anggia mengajukan pertanyaan, "Bagaimana semua persiapan perang dari kedua pihak itu dapat berlangsung dan terjadi tanpa ada pencegahan, Ayahanda?"
      "Kekuatan-kekuatan yang tidak menyukai Majapahit tentu diam-diam atau terang-terangan berpihak pada Wirabhumi. Juga musuh-musuh Majapahit dari mancanegara yang diwakili oleh Cheng Ho itu demi kejayaan Tiongkok tega memanfaatkan peluang menggerogoti kekuatan Majapahit di luar Jawa ditambah lagi dengan cara membantu Wirabhumi secara diam-diam. Sementara satu kaki lainnya dari kekuatan armada Cheng Ho berusaha mendekati dan berbaikan dengan Majapahit Barat." Begawan itu terdiam menyadari putrinya sudah pulas di sudut ruangan. Ia kemudian melanjutkan cerita itu dalam kepalanya.
      "Semua itu sedang berproses hingga kelak pada suatu hari akan bermuara dalam sebuah medan, bisa jadi medan perang paregreg (perang penghancuran diri). Bara api dalam sekam itu belum berkobar dan membesar menjadi api panas peperangan. Hawa yang terasa hangat dari api peperangan berhembus pelahan merasuki segenap kehidupan para kawula Majapahit hingga wilayah kerajaan di luar Jawa yang berlindung pada Majapahit. Semua itu berlangsung diam-diam tanpa terasa memenuhi segenap ruang kehidupan dan tak seorang pun menyangka apa yang kelak bakal terjadi." 
*****