Misteri Menjelang Perang Paregreg Majapahit


Misteri Menjelang Perang Paregreg Majapahit
12


Pertengahan 1395 Masehi
Pagi itu seperti biasanya dua orang bapak beranak yang usianya terpaut seabad itu mulai melakukan pekerjaan tangan di ruangan utama. 
      "Sejak wafatnya Hayam Wuruk, dapat diraba dan dirasakan kekaisaran Tiongkok mulai menanam telik sandi di wilayah Majapahit yang tersebar mulai dari Campa, Pahang, Singapura, Palembang, Sambas, dan di seantero Tanah Jawa." 
      Begawan Ra Vadia meletakkan alat tulisnya sebuah penggurit logam, sementara itu tangan lentik Dewi Anggia sesekali memilah panenan kacang tanah hasil kebun belakang. Sementara tangannya bekerja ia memasang pendengarannya baik-baik menangkap suara ayahandanya yang duduk di meja rendah tempat kerjanya.
      "Kelak buah dari tanaman di wilayah Majapahit yang bernama telik sandi itu akan dipetik juga hasilnya oleh kekaisaran Tiongkok, bisa saja melalui salah seorang laksamana yang melakukan ekspedisi laut ke Selatan. Tujuan dari pamer kekuatan laut Tiongkok itu akan merontokkan tiap jengkal wilayah Majapahit di luar Jawa yang mulai lemah dari pengaruh Istana Majapahit. Tiongkok sudah memprediksi Majapahit semakin lemah pengaruhnya terhadap kerajaan bawahan sejak mangkatnya Hayam Wuruk."
      "Apa yang dikerjakan orang-orang Tiongkok itu, ayahanda?" tanya Dewi Anggia.
      "Mereka, para telik Tiongkok itu, giat menyebarkan sebuah ajaran baru, mendirikan pusat pengobatan, perguruan bela diri, dan terutama berdagang," sahut begawan itu, kemudian melanjutkan lagi....
      "Setelah mengetahui situasi politik Majapahit yang mereka himpun melalui berbagai jalan selanjutnya kekaisaran Tiongkok mengetahui titik kelemahan militer Majapahit. Kekaisaran kemudian memerintahkan kontra telik sandi terhadap kekuatan telik Majapahit di mana pun berada."
      Semua penduduk Majapahit mengetahui belaka bahwa Kekaisaran Tiongkok selalu mendengungkan ke wilayah perairan selatan, "Kekaisaran akan melindungi segenap warganya di mana pun berada dan akan tetap mengakui mereka yang tersebar di mana-mana itu sebagai kawula Tiongkok."
     Para telik sandi Tiongkok itu giat bekerja dalam berbagai bidang, terutama yang menyangkut sumber informasi mengenai situasi politik Majapahit. Dengan membaca situasi keamanan mulailah mereka mencoba membangun kekuatan ekonomi, terutama di sektor perdagangan.
      "Ananda sedang mengantuk?" tiba-tiba Ra Vadia mengejutkan putrinya yang hampir menyelesaikan kerjanya memilah palawija hasil kebun sendiri itu.
      "Oh," Dewi Anggia menggeragap, untuk mengusir lelahnya ia bertanya, "Ayahanda kalau mereka menyebarkan ajaran baru itu bagaimana dapat meruntuhkan Majapahit?"
      "Pertanyaanmu luar biasa, ananda. Ajaran baru itu kini semakin berkembang di pesisir utara Jawa, mulai dari Banten hingga Gresik, selanjutnya mulai menyebar ke Timur. Mereka jelas bertentangan dengan Syiwa-Buddha Majapahit." Dengan tangkas begawan itu menjawabi sang putrinda.
      "Ayahanda mengetahui apa ajaran baru itu?"
      "Ya, ayahanda tahu serba sekadarnya saja, dulu sewaktu masih aktif sebagai prajurit laut, ayahanda mengetahui bahwa mereka tidak menyukai dewa-dewa dalam patung maupun candi. Mereka tidak memasang patung apapun di tempat pemujaannya. Mereka bahkan tidak menempatkan benda apapun, apalagi gambar apapun di tempat memujanya, kecuali huruf-huruf asing itu," sahut Ra Vadia yang sejak tadi belum menyebutkan apa nama ajaran baru itu.
      "Ajaran baru itu bernama agama Islam, ananda," pada akhirnya Ra Vadia menyebutnya dengan nada aneh.
      "Jadi orang Tionghoa itu beragama Islam?"
      Begawan pujangga Rakryan Vadia mengangguk.
      "Mereka semua yang tinggal di sini itu tetap warga kekaisaran Tiongkok, ayahanda?"
      "Menurut hukum yang berlaku waktu sampai sekarang mereka tetap warga Tiongkok, walau tinggal di wilayah Majapahit. Ada peraturan khusus yang diberlakukan ketat semasa mendiang Hayam Wuruk. Mereka, warga Tiongkok itu, tidak diperkenankan memasuki wilayah pedalaman Majapahit. Hayam Wuruk cukup mewaspadai gerak-gerik orang Tionghoa, terutama menyangkut pembatasan terhadap mereka yang mencoba menyebarkan ajaran baru yang jauh berbeda dengan ajaran lama Syiwa-Buddha."
      Dewi Anggia heran dan belum menyadari bagaimana upaya Hayam Wuruk membendung pengaruh datangnya ajaran baru, ia bertanya lagi kepada ayahandanya, "Apa alasan Prabu Hayam Wuruk membatasi ajaran baru itu, ayahanda?"
      "Ayahanda pernah berhadapan langsung dengan Maharani Tribuwanatunggadewi yang menanyakan soal ajaran baru itu. Ayahanda secara tidak sadar berkata kepada sang Maharani, ibunda Hayam Wuruk itu, 'ajaran baru akan membangkitkan negara baru'.... Ananda, Syiwa-Buddha yang hidup dan menghidupi negara sekuat Majapahitnya Maharani Tribuwana, mungkin tidak akan abadi terus kekuatannya jika Majapahit kelak kehilangan junjungannya. Apalagi jika sang penggantinya sangat lemah dan tidak waspada terhadap upaya asing meruntuhkan Majapahit."
      Ra Vadia memandangi putrinya yang mulai pulas itu. Ia melanjutkan dalam kepalanya, "Putranda sang Maharani yakni Prabu Hayam Wuruk itu benar-benar mengikuti teladan ibundanya, apalagi ternyata ia benar-benar betapa keras hatinya menjaga pengaruh apapun yang baru datang dari luar yang bakal meruntuhkan Majapahit. Orang-orang Tionghoa itu....."
*****