Misteri Sanggramawijaya Tunggadewi (Resi Kilisuci)
5
5
mbah S. Sukaris
"Ayahanda, siapa itu Sanggramawijaya?" tiba-tiba suara putri begawan pujangga Majapahit itu membuyarkan konsentrasi Ra Vadia yang tengah menggurit tulisan pada rontal.
Rupanya Dewi Anggia menagih janji sang pujangga agar mengisahkan wanita dari Kediri itu. Ia masih mengingat beberapa nama tokoh wanita dalam sejarah yang tempo hari disebutkan sang ayahanda.
"Dia itu pewaris utama takhta Erlangga yang tak pernah menaiki singgasana," sahut sang Begawan pujangga, "Mengapa? Karena hingga seperempat abad usia sang putri mahkota tidak pernah jatuh cinta kepada pemuda manapun."
"Apakah tidak ada pangeran yang mendekatinya, ayahanda?"
"Tentu saja tidak terhitung lagi jumlahnya yang melamar sang putri, bahkan secara langsung pada baginda Erlangga," sahut Ra Vadia, kemudian ia melanjutkan, "Prabu Erlangga, sang penerus Wangsa Isyana Empu Sindok ini pun sampai merasa harus memindahkan istana Kahuripan dari sekitar terusan Porong, Sidoarjo ke Daha di wilayah Kediri demi menuruti keinginan sang putri mahkota."
"Apa yang diinginkan sang Dewi, ayahanda?"
"Dewi Sanggramawijaya telah menyadari keadaan dirinya yang tidak bisa jatuh cinta terhadap lawan jenisnya. Ia tidak pernah mengalami datang bulan, layak umumnya yang dialami seorang wanita dewasa. Dan itu berarti ia harus merelakan takhta dan mahkota Kahuripan kepada dua saudara tirinya dari selir sang baginda. Oleh sebab itu tatkala pada suatu hari ia menemukan sebuah bukit tidak jauh dari sungai Brantas di sisi sebelah barat, maka ia memutuskan memilih tempat itu daripada memilih singgasana Kahuripan di Sidoarjo dekat terusan Porong yang dibangun Erlangga untuk mengurangi luapan Kali Mas, dan menyuburkan sekitar wilayah terusan atau sungai kecil itu.
Bukit penemuan Resi Kilisuci itu dinamai bukit Emas Kumambang, karena di sekeliling bukit itu selalu tergenang air berwarna kekuningan seperti cairan emas, tidak peduli kemarau maupun musim hujan, sepanjang waktu."
Resi Kilisuci memutuskan untuk menyingkir dari istana Kahuripan yang baru dibangun oleh Erlangga yang tidak jauh letaknya dari Bukit Mas Kumambang. Kala itu Mas Kumambang yang berarti emas terapung terdiri dari gugusan bukit-bukit yang berada paling timur sambung-menyambung dengan gunung Wilis di jurusan arah ke barat.
Perbukitan Mas Kumambang memiliki empat puncak utama, salah satu puncak nya berbeda secara menyolok karena letaknya agak menonjol sendiri ke depan. Di tengah-tengah antara bukit pertama dan bukit yang di tengah terdapat sebuah batu berukuran sangat besar. Baginda Erlangga memutuskan untuk membikin istana mini bagi putri tercintanya dari pahatan para ahli pada batu tersebut.
Sang Dewi pun setuju dengan rencana ayahandanya, dan untuk sementara sebelum istana batu itu selesai maka ia akan mencari tempat lainnya untuk menjadi tempat pertapaannya.
Di tengah punggung bukit Mas Kumambang, letaknya persis di bawah puncak Mas Kumambang paling tinggi. Sang Dewi menemukan batu cukup besar, ia pun memerintahkan para pengawal sekaligus pengiringnya yang setia untuk membikin lubang goa pada batu itu. Ia juga meminta dibuatkan goa tersendiri tak jauh dari situ bagi mereka sendiri, para pengawalnya. Antara goa berukuran besar bagi sang Dewi dengan goa pengawalnya letaknya saling berhadapan dipisahkan sebuah sungai terjun kecil. Sanggramawijaya Tunggadewi menamainya Goa Bale, atau tempat tinggal.
Semasa hidup sang Resi Kilisuci pembangunan istana batu lainnya (Mangleng) terletak jauh di bawah sana belum lagi terealisasikan, pelaksanaan pembangunan Goa Mangleng baru tahap memagari areal sekelilingnya, dan juga membuatkan jalan tembus ke arah utara dan timur dari lokasi calon goa Mengleng itu.
Dewi Anggia tiba-tiba menyela ayahandanya, tapi sejenak lantas terdiam, akhirnya ia mengeluarkan suaranya yang menyanyi, "Kalau begitu siapa yang mendirikan goa Mangleng, ayahanda?"
"Prabu Jayabaya yang meneruskan pengerjaan goa Mangleng, dan ia menamainya Mangleng atau Museum, untuk mengenang dan mengingatkan bagi generasi penerusnya bahwa di tempat itulah seharusnya Resi Kilisuci bertakhta sebagai pertapa, dia adalah embah buyut dari Prabu Jayabaya sendiri," sahut Ra Vadia sambil terus menggosok-gosok rontal baru agar lebih mudah diguritinya.
Ra Vadia melanjutkan, "Dan sejak pembangunan goa Mangleng itu selesai maka sejak itulah raja-raja dari kerajaan Kediri mulai Jayabaya hingga yang terakhir Jayakatwang selalu memusatkan kekuasaannya tidak jauh dari wilayah perbukitan Mas Kumambang," sambung pujangga Majapahit itu, sebenarnya ia sedang mengenang kembali pengalamannya beberapa kali mengunjungi tempat itu bersama rombongan pembesar kerajaan Majapahit semasa Tribuwana Tunggadewi. Dan tentu saja di masa itu ada pemandu khusus yang menerangkan kepada rombongan Majapahit secara panjang lebar mengenai sejarah goa Mangleng maupun Goa Selobale lebih ke atas lagi dari tempat itu.
Begawan itu kemudian terdiam, dan Dewi Anggia menganggap kisah telah usai. Dalam hati pujangga lebih seabad itu meneruskan untuk dirinya sendiri, "Pada akhirnya Erlangga memutuskan Kahuripan akan dibelah menjadi dua. Daha atau Panjalu wilayahnya antara Porong, Sidoarjo hingga wilayah Kali Leso di Blitar, rutenya mencakup wilayah Mojokerto, Nganjuk, Kediri, dan Tulungagung. Sedangkan Jenggala rute wilayahnya adalah seluruh pelabuhan, pesisir utara Jawa Timur dan dataran yang terbentang dari Blitar ke arah Timur hingga Malang."
*****