Misteri "Perang Bubat" Majapahit


Misteri "Perang Bubat" Majapahit
1

Mbah S. Sukaris

1393 Masehi
"Leluhur Majapahit mengajarkan, 'dalam menghadapi musuh yang menyerang dari mancanegara maka pasukan lautlah yang menempati posisi ujung tombak, sedangkan untuk melawan musuh yang berasal dari pedalaman caranya dengan menempatkan telik sandi sebagai ujung tombak," demikian wejang sang begawan Vadia di hadapan siapa saja, termasuk sang putri sendiri.
    "Selanjutnya, kalau sebagai itu lantas bagaimana dengan fungsi pasukan kaki, pasukan tombak, dan pasukan panah berkuda maupun bergajah Majapahit, ayahanda?" percakapan itu berasal dari dalam sebuah pondok di tepian pusat ibukota Majapahit.
      "Pasukan darat yang terdiri dari pasukan kuda, gajah, dan kaki berpedang, tombak, dan panah  merupakan kekuatan cadangan sekaligus penyokong kekuatan pasukan laut dalam upaya membendung kedatangan serangan musuh dari luar." 
      Begawan pujangga itu tersenyum, dan air mukanya tampak gembira mengetahui putrinya mulai punya perhatian terhadap tatapraja, ia melanjutkan, "Kekuatan inti militer Majapahit dalam seratus tahun terakhir terletak pada andal-andal telik sandi yang hebat. Tak tertandingi pada masanya. Kekuatan telik sandi Majapahit menggurita meliputi berbagai wilayah mulai Campa di utara hingga ke wilayah Majapahit paling timur pulau Wanin dan Dompu di bagian selatan." Begawan itu mendadak terdiam tatkala di luar pondok hari mulai gelap.
      Malam itu sunyi dan damai seperti biasanya. Ublik dan teplok minyak kelapa merajai malam, sebagian besar terpancang di pojok jalanan desa mulai padam. Menandakan waktu tengah malam tiba. Pada tanggal dua purnama itu di langit yang jernih gemerlapan bintang-gumintang ditingkahi awan seputih kapas. Bulan muda lama terbenam beberapa waktu setelah senja. Kini hilang semburat di langit dan tak ada lagi jejaknya di angkasa. 
     Penulis itu dulu seorang Rakryan atau perwira militer pada pasukan laut, kini sebagai Begawan pujangga termasyhur di seantero negeri Majapahit. Siapa pun mengenal Ra Vadia Andika, usianya mendekati satu seperempat abad. Tatkala berdirinya Majapahit usianya menjelang dua dasawarsa, kala itu ia masih seorang pewarta muda dan meliput perjuangan Sri Krtarajasa membangun Majapahit bersama para pejuang lainnya. Pejuang Majapahit telah teruji setianya terhadap raja tatkala bersama sebagai rakryan kepala pasukan semasa pemerintahan Jayakatwang. 
      Wajah Rakryan Vadia muda sangat tampan di antara teman-teman sesama pejuang Majapahit, di wajahnya yang berkulit tidak terlalu gelap tergurat beberapa organ ciri khas keturunan Brahmana antara lain berhidung mancung, berdagu sarang lebah, dan bertulang pipi tinggi serta bersorot mata dalam di bawah alis lebat yang merupakan tanda umum darah Brahmana. 
      Kini pada usia semakin bertambah tubuhnya kecil tampak lembek, dan rambut penuh uban, namun ia masih tampak bersemangat jika diajak bincang pasal awal berdirinya negeri Majapahit. 
      Suasana aroma bebas terbuka mengudara di seantero negeri, yakni sejak Hayam Wuruk raja terbesar Majapahit telah wafat empat tahun silam. Era baru masa reformasi tengah memasuki tahun keempat. 
      Karya pujangga Ra Vadia bebas beredar lagi untuk dibacakan di pelosok negeri walau belum lepas secara resmi dari hukuman larangan Raja. Semasa Hayam Wuruk tuduhan bersekongkol dengan Ranggalawe ditimpakan pada pundak Rakryan Vadia. Maka hukuman dijatuhkan, tembang syairnya dibreidel oleh pasukan Gajah Mada.
      Gajah Mada dalam pandangan Ra Vadia telah gagal menunaikan tekadnya sendiri Sumpah Palapa, karena mahapatih itu yang harus bertanggung jawab atas terjadinya Peristiwa Perang Bubat yang menewaskan Linggabuana dan putrinya Dyah Pitaloka berikut permasiuri serta pengiring petinggi kerajaan Sunda. 
      Alkisah Gajah Mada pun menyambut rombongan kerajaan Sunda itu, dan menempatkannya dengan hormat di pesanggrahan mewah di Bubat.
      Pada malam harinya di pesanggrahan itu terjadi percakapan di tempat itu, "Putriku, sebelumnya ayahanda minta maaf, putrinda ikut ke Majapahit akan disunting oleh Baginda sendiri." Prabu Linggabuana menatap putrinya dengan penuh harapan.
     Dyah Pitaloka berubah air mukanya. "Ananda tidak siap sekarang, Ayah," gadis itu siap menerima murka, ia melanjutkan, "Putrinda tidak mengenal sang baginda dari Majapahit, bagaimana bisa mencintainya," mata putri itu berkaca-kaca.
      Ibunda permaisuri pun berusaha mendekati Dyah Pitaloka, "Tidak, bunda, ananda belum siap sekarang menjadi permaisuri Majapahit. Ananda tahu ini menyangkut nasib negeri Sunda, ada taruhannya untuk itu, ananda tetap menolak."
       Setelah menyaksikan kedua orang tua yang dikasihinya sedih dan bingung pada akhirnya Dyah Pitaloka luluh hatinya dan mengajukan syarat, "Sang Prabu sendiri harus datang ke sini untuk melamar ananda, ayah."
     Gajah Mada terkejut bagai disengat kalajengking tatkala Prabu Linggabuana mengatakan kepada sang mahapatih Majapahit itu, "Maaf Yang Mulia Mahapatih, putri kami menolak dijadikan calon permaisuri Majapahit, kecuali yang mulia Mahapatih bersedia menghadapkan sang prabu Hayam Wuruk untuk mendengar langsung syarat yang diajukan putri kami itu," Sang Mahapatih yang berpengalaman itu berusaha agar dapat menguasai dirinya. Gajah Mada sedikit bimbang, hingga pada akhirnya menjawab, "Baiklah yang mulia, untuk memenuhi syarat itu kami usahakan segera menghadirkan sang prabu Hayam Wuruk," kemudian sang mahapatih mohon diri dan meninggalkan pesanggrahan itu.
      Kabar pun merebak di seantero kotaraja dan ke istana bahwa calon permaisuri yang berasal dari negeri Sunda, Dyah Pitaloka, ternyata tidak mau bersanding dengan Hayam Wuruk. Juga seantero kotaraja mendengar syarat yang diajukan oleh putri Sunda itu, sebelum pesta perkawinan kedua kerajaan agar sang prabu sendiri berhadapan langsung dengan sang putri dari Sunda itu.  
      Dalam laporannya kepada baginda Majapahit sang mahapatih sengaja tidak mengemukakan permintaan khusus sang putri dari negeri Sunda itu. Sebaliknya sang mahapatih justru mengatakan kepada baginda Majapahit bahwa tidak lama lagi rombongan Sunda itu sudah siap mengikuti pesta pernikahan kedua kerajaan. Dengan demikian disarankan agar baginda bersiap untuk menerima penyerahan diri kerajaan Sunda menjadi taklukan Majapahit.
      Keesokan harinya sang mahapatih Gajah Mada berkunjung ke pesanggrahan prabu Linggabuana di Bubat.
      "Yang Mulia raja Pajajaran, perlu Yang Mulia ketahui bahwa junjungan kami prabu Hayam Wuruk menolak datang mengunjungi sang putri sebagai syarat yang diajukan oleh putri Yang Mulia."
      "Bukankah baginda berkenan menyunting putri kami. Kami kira itu bukan hal yang berat untuk dipenuhi oleh beliau. Baiklah Yang Mulia Mahapatih, jika demikian kami pun tidak bisa memaksa putri kami."
      "Paduka boleh menolak putri Dyah Pitaloka dipersunting oleh junjungan kami, akan tetapi kami berharap paduka menyatakan negeri Sunda takluk di bawah Majapahit," tetak sang Mahapatih, yang mulai kehilangan akal jika sebentar lagi harus balik menghadap sang baginda Hayam Wuruk. Ia berusaha mendapatkan "sesuatu" lainnya di samping munculnya kegagalan dari peristiwa itu.
      Prabu Linggabuana yang merasa galau itu segera menyahut, "Maaf, Yang Mulia Mahapatih, tujuan kami ke sini bukan untuk menjadi kerajaan bawahan alias kerajaan taklukan Majapahit. Akan tetapi tujuan kami ke sini ialah memenuhi undangan sang baginda Majapahit untuk menjalin eratnya hubungan kedua kerajaan, Majapahit dan Pajajaran melalui suatu ikatan perkawinan antara putri raja Pajajaran dengan raja Majapahit." Gajah Mada pun terkejut sekali lagi mendapat jawaban itu. Dan segera beranjak meninggalkan pesanggrahan raja Sunda itu, dan selanjutnya menghadap sang junjungan, penguasa tertinggi Majapahit.
      Tak berapa lama rombongan mahapatih hilang dari pandangan. Rombongan kerajaan Sunda itu pun segera berkemas hendak meninggalkan pesanggrahan Bubat. Tujuan dari rombongan yang terdiri raja Pajajaran, permaisuri, putri Dyah Pitaloka, dan prajurit pengiring itu adalah menuju ke pelabuhan laut Majapahit tempat bersauh kapal-kapal yang telah mengantarkan mereka dari pelabuhan Sunda Kelapa. Rencana semula ialah setelah semua usai, maka kapal itu bersiap untuk membawa pulang kembali rombongan kerajaan Sunda berlayar menuju pelabuhan Sunda Kelapa. Selanjutnya perjalanan menuju kotaraja Pajajaran akan ditempuh melalui jalan darat.
      Dalam pada itu para pengawal Majapahit yang menjaga pesanggrahan dari kejauhan tidak menerima perintah apapun dari sang Mahapatih Gajah Mada, kecuali mengamankan mereka agar tidak pergi beranjak dari pesanggrahan itu ke mana pun juga. Rombongan kerajaan Sunda sudah memutuskan untuk tidak pamit lagi kepada sang mahapatih. Baru saja rombongan itu beranjak dari pesanggrahan, maka prajurit Majapahit pun mendekat dan segera mengepung raja Pajajaran beserta rombongan. Jumlah prajurit Majapahit sangat besar tidak berimbang dengan rombongan Pajajaran. Rombongan sang raja nekad terus bergerak berusaha menembus kepungan pasukan pengawal Majapahit. Pada awalnya perwira Majapahit mengajak berunding baik-baik, dan menyarankan agar rombongan Pajajaran tetap di tempat. Rupanya rombongan kerajaan Sunda itu berkeras hendak pergi ke pelabuhan. Selanjutnya terjadilah saling adu badan di antara kedua pasukan itu. Begitu kuatnya kepungan pasukan Majapahit terhadap rombongan Pajajaran, maka mulailah pihak Pajajaran mengeluarkan senjatanya. Hingga akhirnya pasukan Majapahit terpaksa meladeni mereka dengan senjata. Rombongan Pajajaran yang kalah jumlah maupun kekuatan senjata itu mulai mengamuk, tanpa memperhitungkan kekuatan lawannya. Sebaliknya pasukan Majapahit yang cuma membela diri dan melakukan tugas pengawalan itu  pada akhirnya tak dapat terhindarkan lagi mulai bertempur sungguhan. Korban berjatuhan dari kedua belah pihak. Rombongan Pajajaran itu pun gugur semua, karena semua ikut bertarung menyerang pasukan Majapahit. Tak seorang pun dari rombongan Sunda itu berdiam diri, mereka semua bertempur dan gugur di negeri Majapahit.
      
      "Prabu Linggabuana berharap dapat berbicara langsung dengan penguasa Majapahit itu untuk menjernihkan persoalan. Ia tidak ingin siapapun mengetahui isi hatinya maupun isi hati putrinya. Ia yakin semuanya dapat diselesaikan dengan cara baik-baik," Ra Vadia melanjutkan, "Gajah Mada yang masyhur dalam pertempuran dalam peperangan di seantero Nusa Antara itu sebenarnya tidak mengerti urusan soal cinta dari putri Sunda itu, dan juga urusan darah muda sang prabu junjungannya sendiri. Ia cuma tahu soal militer, berperang. Pendeknya soal kekuasaan," tetak Ra Vadia yang menyaksikan alangkah putrinya tertarik pada kisah itu.
      "Ayahanda, bukankah seharusnya sang Patih mengajak Prabu Sunda itu menemui baginda Hayam Wuruk, dan membiarkan mereka bicara empat mata, sebagai sesama keturunan Sunda?" sahut Dwi Anggia menyela ayahandanya.
      "Ya, ananda itulah yang terbaik, akan tetapi birokrasi Majapahit terlalu kaku, dan lagi pula Mahapatih itu menganggap dirinya mampu menyelesaikan segala hal. Mereka tidak pernah dapat mengetahui duduk perkara yang sebenarnya."
      "Ayahanda sendiri?"
     Ra Vadia tersenyum, ia tidak mau melanjutkan kisah itu. Dan segera mengalihkan percakapan, "Dyah Pitaloka itu sungguh parasnya cantik menawan, ananda."
    "Lebih cantik mana dia dibanding ananda, Ayahnda?"
     Ra Vadia tidak menjawab pertanyaan sang putri dengan kata-kata, dalam hati ia berkata, "Ananda lebih cantik dan sama-sama cantiknya dengan calon permaisuri Majapahit itu," ucapnya di dalam hati itu segera ditepisnya sendiri. Sementara wajahnya sengaja menampilkan mimik berpikir keras, seolah bingung menjawab mana yang lebih cantik di antara kedua gadis itu. Dewi Anggia pun tersenyum, dan mengerti dirinya tidak kalah cantik dibanding Dyah Pitaloka yang lukisannya masih terpampang di istana Majapahit.
      Dan yang paling gembira dengan pencabutan walau tidak resmi tentang hukuman pelarangan karya sang ayahanda itu yakni satu-satunya putri Ra Vadia yang cantik bernama Dewi Anggia. Bahkan ia mulai berharap menikmati kemasyhuran karena dapat dengan bebas menyanyikan tembang karya sang Ayahanda.
      Dalam mimpi Dewi Anggia pada malam kedua awal bulan di tahun mentari 1315 Saka itu sang gadis bertemu dengan para telik Majapahit di seantero negeri, mereka mengatakan tidak pernah menyalahgunakan satu-satunya tugas, menjadi mata dan telinga bagi Majapahit. Untuk tugas itu tak ada bayaran sepeser pun yang mereka terima, karena menganggapnya itu merupakan tugas negara yang mulia. Semua berjalan begitu biasa saja. Selama mereka mengagungkan Majapahit, maka untuk itulah pengabdian yang mereka jalankan selama hidup.
    Pagi itu Dewi Anggia bangun dari peraduannya yang sederhana terbuat dari kayu Lamtoro, dan merasa agak pening, kepalanya berat karena semalam tidurnya gelisah. Kakinya yang mbunting padi membawa tubuhnya melangkah pintu utama rumah. Dan segera saja hidungnya yang indah itu mulai menghirupi aroma wewangian udara pagi yang segar. Ia mengisi rongga dadanya penuh. Tidak biasanya ia berjalan di sekitar halaman rumah sebelum memulai tugas di awal dapur sepagi itu mempersiapkan sarapan bagi ayahandanya.
      Pondok di pinggiran pusat kota Majapahit itu terbuat dari kayu pohon Nangka. Atapnya genting merah berbentuk piramida, bentuk yang biasanya mendominasi bangunan istana Majapahit. Ruangan pondok semacam itu biasanya disekat menjadi tiga kamar utama, dan dua kamar tambahan. Kamar utama menghadap pintu utama. Kamar kiri, tengah, dan kanan. Jika ditambah dua ruangan, biasanya kamar utama dijadikan penyimpanan bahan pokok, maka pintu masuk tertutup oleh ruangan baru. Dua kamar utama terpaksa cuma dapat dilewati dengan satu pintu. Atap pondok penduduk pada umumnya berbentuk srotong atau setangkep. Semua bagian dinding, kusen pintu, jendela terbuat dari kayu Nangka dan Jati tua. Tak dipergunakan sepotong pun kayu pohon kelapa atau glugu pada bagian manapun dari rumah sang Begawan Pujangga Vadia itu, walau sebagian besar tetangga sekitarnya masih menggunakan glugu. Batang glugu dan kayu Jati dalam ajaran leluhur tidak pernah disambungkan langsung dalam membuat pondok maupun kapal laut. Barangsiapa yang melanggarnya akan tertimpa bencana. Demikian pula ajaran leluhur memantangkan kayu Nangka tidak pernah dibuat menjadi tempat duduk maupun ambin. Kecuali untuk membuat perabot yang dipergunakan dalam membuat singgasana dan peraduan raja.
      "Ayahanda, silakan sarapan," sapa Dewi Anggia tatkala meletakkan panganan di ruang tengah.
      Ra Vadia sudah membersihkan diri, tengah bersiap memulai pekerjaannya. Daun rontal kering, penggurit, dan jelaga bertumpuk di meja rendah. Ia tengah bersila meneguk minuman khas Majapahit, sari kelapa yang terbuat dari nira.
      Menu pagi itu berupa bubur putih tanpa garam. Bubur itu tidak dibuat dari buliran padi utuh, akan tetapi tepung beras hasil tumbukan sendiri.
     "Ananda temani, ya," ia menyahuti putrinya yang beranjak kembali ke ruang masak. Sang putri tidak menyahut, ia terus saja ke dapur mengambil menu lainnya di ruangan yang penuh perabot masak dan bahan makanan itu.
      Mentari di bulan perempatan Saka itu tidak juga muncul sepagi ini. Udara terasa lebih sejuk lagi dari biasanya.
      Dewi anggia mengerjakan semuanya, kecuali bercocok di sawah. Di masa itu kaum wanita tidak lazim ke sawah. Semua pekerjaan diurus kaum lelaki. Dengan demikian kulit wanita Majapahit tidak terlalu gelap terbakar mentari.
      "Ayahanda...." katanya halus, dan melihat yang diajaknya bicara mengangkat muka, ia melanjutkan, "Ananda boleh mengantar sosroh ke balai desa, ya?"
      "Ya, Nanda, tapi segera pulang, ya," pesan sang Begawan sejenak menghentikan kerjanya untuk mengawasi langkah putrinya, pintu depan tertutup kembali, dan sang Begawan meneruskan pekerjaannya. 
      Sosroh merupakan istilah bagi penduduk yakni pajak langsung dari penduduk berupa hasil sawah, tegal, dan pekarangan. Tak ada pajak terhadap tanah berapapun luasnya dimiliki oleh seorang penduduk di masa itu. Jumlah yang disetor pun relatif sangat kecil dan itu pun dihitung sendiri oleh yang bersangkutan. Patokan cara menghitung pajak yakni sepersepuluh dari hasil bumi. Hasil tegalan, sawah, dan kebun.
      Sepanjang jalanan pinggiran kota itu Dewi Anggia menggendong tenggok bambu berisi palawija. Beban itu tidak terasa berat baginya. Pemuda dan pemudi sepanjang jalan yang dilalui sang Dewi memerlukan sejenak atau pun lama menengok gadis rupawan itu. Timbul rasa iri di dada para pemudi membandingkan dirinya dengan Dewi Anggia. Rambut panjang sepinggang bergelombang bergelantungan di tubuhnya yang pas tidak terlalu jangkung atau pun cebol. Para pemudanya tenggelam dalam semua impian sejenak, karena tiba-tiba lamunan datang menyerang bersama berkelebatnya sosok putri Begawan Vadia. "Oh, andainya, betapa dan betapa," rintih mereka. Apalagi mendapatkan kerlingan sejenak dari mata gadis itu yang penuh sinar api menyala menyedot dan melumpuhkan barang siapa yang terkena sorot matanya. Semua orang menghormati Begawan itu, dan dengan sendirinya mereka berusaha ramah pada sang gadis.
      Mereka sudah hafal ke mana kaki sang Dewi melangkah, "Oh, Dinda mau ke balai desa," begitu mereka menimpali gadis itu yang menjawabi orang yang menyapanya. Beberapa orang yang menuju arah yang sama mengiringi langkahnya dari suatu jarak. Pada masa itu tidak biasa penduduk berjalan bergerombol. Mereka jalan sendiri-sendiri, walau tujuan ke arah sama.
      Dari hasil pajak 'sukarela' penduduk yang terkumpul dan jumlahnya tidak seberapa besar itulah Majapahit mampu membiayai anggaran belanja negara yang wilayahnya seluas kekaisaran Tiongkok di belahan bumi bagian Utara. Pajak perdagangan antarpulau dan perdagangan antarnegara dari kunjungan para saudagar asing dari mancanegara nilainya cukup lumayan menjadi tambahan kas negara.
      Ra Vadia seharian ditinggal putrinya itu tidak mampu konsentrasi penuh mengguritkan pena besi itu di atas rontal kering, ia berkali-kali terus mengawasi pintu depan. Ia berkeras dapat memaksakan diri bekerja selama hari masih terang. Oleh karena itu ia tidak mau membuang waktu lagi mengawasi apapun selain meneruskan kerjanya. Hampir semua pemuda pernah menjadi anggota pasukan laut Majapahit. Ra Vadia cukup hafal pelabuhan di seantero Nusa Antara yang pernah disinggahinya bersama kapal perang Majapahit yang langsung dipimpin oleh Nala yang Agung. Terdengar senandung sayup-sayup di luar rumah. Itu membuatnya terkejut membuyarkan pikirannya, apalagi senandung itu terhenti tiba-tiba tatkala tiba-tiba pintu depan terkuak, dan sosok putrinya melangkah ke dalam. Wajahnya berseri-seri, peluh tidak nampak setitik pun di wajahnya yang dibaluti kulit bercorak terang.

****
Related post