Misteri Mahapatih Majapahit Gajah Mada
2
2
"Ayahanda, maukah menceritakan sang Mahapatih Majapahit?" rajuk Dewi Anggia yang beberapa hari yang lalu menginjak dua dasawarsa. Pada usia itu di Majapahit belum dianggap umum sebagai perawan telat menikah.
Begawan pujangga Vadia yang usianya telah lebih seabad itu ragu sejenak menjawab pertanyaan itu, "Tentu saja dengan senang hati Ayahanda akan bercerita, rupanya Ananda sangat tertarik dengan riwayat sang Gajah Mada. Seluruh Majapahit dalam seratus tahun terakhir masih terus membicangkan sepak-terjangnya dengan kekaguman. Akan tetapi tak kurang orang yang diam-diam kritis dalam menilai Gajah Mada."
Seratus tahun yang silam tatkala pasukan laut Kublai Khan dalam jumlah besar itu membanjiri pelabuhan di Jawa Timur dengan kapal perang dan jung.
Terjadilah kehebohan melanda pelabuhan paling ramai di Jawa bagian Timur sebagai tempat bersandar kapal dagang maupun kapal perang Singasari dan Kediri.
Salah seorang petinggi militer yang memimpin pasukan penjaga pelabuhan sibuk membujuk dan pamit dari putranya yang masih berusia satu dasawarsa, dialah Gajah Mada kecil, "Dengarkan Ayah, Ananda jaga diri baik-baik, ya. Ayah harus berangkat ke pelabuhan secepatnya, sekarang juga," pesan Penewu Gajah Pranacitra kepada Gajah Mada kecil.
Pranacitra merupakan seorang pimpinan pasukan Jayakatwang yang berjaga di wilayah pelabuhan Gresik. Tatkala pamit dari sang putra itu, ia baru saja menerima tamu yakni anak buahnya di ruang depan pondok.
Berkata langsung si prajurit tanpa menghormat lebih dulu, "Panewu, keadaan gawat, pelabuhan telah dikuasai pasukan asing. Jumlahnya tak terhitung lagi. Malah sebagian pasukan kita memutuskan untuk bertempur tanpa perintah atasan. Sebagian besar yang lain memilih untuk menunggu aba-aba dari Panewu."
"Oh, kalau begitu, prajurit, kembalilah ke tempat tugasmu, katakan kepada semuanya, sebentar lagi aku menyusul," sang Panewu bergegas menyuruh tamu itu segera pergi, sedangkan dia sendiri menemui sang putra yang sedang bermain di ruangan lain dalam rumah itu.
Gajah Mada kecil yang terbiasa ditinggal seorang diri berada di rumah itu cuma mengangguk. Tadi ia sempat sekilas menatap air muka prajurit yang datang penuh kecemasan, prajurit ayahandanya itu sewaktu pulang dan berpapasan kembali dengannya berusaha menyapanya dengan tertawa.
"Apapun yang terjadi aku tak akan ke mana-mana, kan, Ayahanda?"
"Anak pandai. Kali ini Ananda sudah dewasa, jadi bijaklah dalam menentukan pilihan sendiri. Temanmu kan banyak, tentu di antara mereka ada yang bisa diandalkan. Tugas Ayahanda kali ini agak berbeda dari biasanya, mungkin Ayahanda tidak akan pulang ke rumah selama beberapa hari."
Panewu sudah kehabisan waktu, maka bergegaslah ia meloncat ke punggung kuda, dan tak membuang waktu lagi segera memacu sekencangnya ke arah jurusan pelabuhan.
***
Balatentara laut Kublai Khan tidak cuma berlayar membawa pasukan laut reguler Tartar, mereka yang berusaha membajiri tanah Jawa dengan pasukan bersenjata ternyata telah didampingi juga oleh perwira telik sandi Tartar yang telah lama menanam mata dan telinga di Jawa. Sebelum seribu kapal dan jung itu bersauh di pelabuhan Gresik pada suatu jarak, pasukan telik sandi Tartar telah membekali perwira Tartar dengan keterangan rinci tentang kekuatan militer darat penjaga pelabuhan. Dan juga mengetahui berbagai nama para perwira pasukan yang ditempatkan oleh Jayakatwang di sana.
Pimpinan pasukan Tartar bukan hanya memiliki data kekuatan pasukan di pelabuhan, akan tetapi sebenarnya sudah mengetahui segala-galanya mengenai kekuatan militer laut dan darat yang ada di seluruh Jawa. Mereka tidak gegabah mendaratkan pasukan sebesar itu tanpa persiapan matang. Mereka tahu betul kerajaan mana yang tengah berkuasa berkuasa di wilayah tertentu, dan kerajaan mana yang jatuh atau runtuh dalam peperangan melawan kerajaan sekitarnya.
Pasukan telik sandi berusaha sebaik mungkin dalam membantu pimpinan tertinggi pasukan Mongol dalam melaksanakan misi yang diperintahkan oleh kaisar Kublai Khan yakni melaksanakan penghukuman terhadap seorang raja Jawa yang beberapa waktu yang lalu telah menghina utusan kaisar Mongol dengan senjata tajam. Yakni dengan sengaja merusak wajah sang utusan. Krtanagara sangat marah terhadap utusan Mongol itu karena utusan itu mengemban misi yang menghendaki kerajaan di Jawa bagian timur itu bersedia tunduk di bawah kekaisaran Mongol.
Kali ini kedatangan ribuan prajurit Mongol ke Jawa jelas berbeda dengan misi yang diemban utusan Mongol tempo hari menghadap Sri Krtanagara. Kali ini Kublai Khan tidak memberi perintah atau misi untuk menjajah dan menguasai Jawa agar tunduk kepada Mongol. Maka pasukan yang sebagian besar sudah turun ke pelabuahan Gresik itu tidak berusaha membikin gerakan yang bersifat pendudukan dan mendirikan benteng untuk pertahanan.
Misi penghukuman itu terhadap Krtanagara adalah utama dan terpenting, setelah misi itu selesai seluruh kekuatan Mongol akan ditarik kembali pulang ke Tiongkok.
Para perwira telik sandi Mongol mengharapkan dukungan dari pasukan-pasukan setempat dari Jawa yang merasa diuntungkan dengan kedatangan pasukan Tartar, pasukan manapun yang memiliki kepentingan pribadi dan ingin menggabungkan diri dengan pasukan Tiongkok Selatan akan diterima dengan tangan terbuka.
Pada akhirnya itu lah yang dianggap strategi yang ampuh dijalankan pasukan Mongol dalam meringankan beban tugas penghukuman terhadap salah seorang raja Jawa. Peta kekuatan kerajaan Jawa yang berjumlah besar dan sudah berada dalam genggaman pasukan Tiongkok yang pada akhirnya setelah membuat perhitungan matang memutuskan lebih baik mengharapkan dukungan dari pasukan Jawa sendiri daripada memusuhi mereka semua.
****
Begawan pujangga Vadia menghentikan kisah itu sejenak tatkala senja hari mulai gelap. Dewi Anggia menutup pintu-pintu dan jendela pondok. Ia selanjutnya menyulut penerangan minyak kelapa.
"Ayahanda, ada satu bagian dari kisah itu yang mengganjal Ananda," Dewi Anggia tidak dapat menahan diri mengetahui kelanjutan kisah Gajah Mada malam itu.
Begawan Vadia yang bersiap untuk beristirahat, menyahut, "Apa itu Ananda?"
"Catatan mengenai kegiatan telik sandi pasukan Mongol tentu tidak ada dalam rontal manapun, baik di Jawa maupun di Tiongkok, bukan?"
Dewi Anggia terdiam sejenak, dan menghela napas, menghembuskan perlahan, "Lantas darimana Ayahanda tahu semua itu?"
Begawan Vadia yang sudah lelah itu berusaha menjelaskan serba ringkas, "Gajah Mada itu perwira telik sandi Majapahit yang tak tertandingi. Ia murid terbaik yang belajar dari guru yang benar-benar menguasai bidangnya," sambil memberi isyarat agar Dewi Anggia juga bersiap untuk istirahat malam itu.
****
Pendaratan pasukan Mongol sehari sebelumnya itu sudah diketahui melalui kurir rahasia pasukan yang masih setia pada Krtanagara di bawah Rakryan Wijaya. Wijaya bertindak cepat membawa para perwira dan pasukannya yang tersebar di sekitar pelabuhan maupun yang berada di Singosari dan segera menuju pelabuhan Gresik. Kekuatan musuh yang menyerbu dari laut dapat diimbanginya terkumpul dalam sehari itu, kurir-kurir militer berkuda bergerak ke segala arah membawa pesan rahasia Wijaya.
Panewu Pranacitra sejak berangkat dari rumah berniat menemui langsung pimpinan pasukan Tartar yang dipimpin Ike Mise, Shi Pie, dan lainnya. Ternyata ia telah didahului tatkala tiba di markas sang Panewu di dekat pelabuhan telah ditunggui seseorang utusan langsung dari pimpinan tertinggi balatentara Tartar, yakni Mise.
Utusan itu memperkenalkan diri, "Yang Mulia, kami Shi Pie, utusan pimpinan tertinggi balatentara Tartar, menyampaikan salam persahabatan." Tiba-tiba Shi Pie bertepuk memanggil pengiringnya. Seorang mendekati sang Panewu dan menyerahkan beberapa hadiah dari pimpinan tertinggi Mongol.
Pranacitra berubah sikapnya, tidak begitu tegang menghadapi tamunya.
"Terimakasih, Tuan.... Shi Pie. Bolehkah kami mengajukan pertanyaan kepada Tuan Utusan?"
"Yang Mulia sedang berhadapan utusan yang sekaligus pengambil kebijakan pasukan Tartar. Silakan!"
"Kami tidak tahu apa tujuan kaisar Tiongkok mengirimkan pasukan sejumlah besar itu, Tuan?" air muka Pranacitra menjadi tegang dan mulai agak kurang sabar.
Shi Pie yang punya bekal berdiplomasi itu pura-pura tidak tahu sikap tuan rumah yang mulai panas. "Kami datang ke Jawa bersama pasukan dalam jumlah besar untuk menegakkan hukum tata pergaulan dunia, Yang Mulia."
"Tuan ingin mengadili negeri kami di Jawa ini?"
"Tidak semua negeri, Tuan. Negeri yang tidak bersalah kepada kami tentu kami anggap sebagai sahabat."
"Negeri mana yang hendak tuan adili?"
"Kami tidak mengadili negeri tersebut melainkan rajanya seorang: Krtanagara." Shi Pie berpura-pura tidak memperhatikan perubahan air muka Panewu Pranacitra.
Panewu itu pun bingung sejenak. Ia tidak menjawab, walaupun ia telah mengetahui Baginda Krtanagara telah tewas dalam serangan pasukan Jayakatwang. Shi Pie yang berpura-pura tidak tahu apa-apa keadaan seantero Jawa Dwipa itu merasa puas.
"Baiklah Tuan Shi Pie, kami merasa puas mendapatkan keterangan dari Tuan. Akan tetapi sekarang kami persilakan Tuan kembali ke pelabuhan. Kami harap Tuan sabar menunggu kedatangan kami beberapa hari lagi untuk merundingkan segala sesuatunya."
****
Selesai sarapan Begawan pujangga Vadia pagi itu sudah berada di meja kerjanya. Seperti biasanya putrinya sepagi itu mulai mengurus kebun yang rindang di bawah pepohonan buah-buahan. Berbagai tanaman terdapat di sana, asam, dhuwet, kelapa, jambu biji, pisang, mangga, bambu, masing-masing tanaman terdiri dari beberapa macam jenis. Bambu yang ditanam pun komplit jenisnya, bambu petung, bambu kuning, bambu apus, bambu hitam, sampai dengan bambu mini yang dipergunakan membuat seruling, biasanya penduduk mencarinya di gunung Wilis. Begitu pula jenis-jenis pisang terdapat di kebun itu: pisang biji, pisang raja, pisang kepok, pisang susu, pisang kidang berwarna maron yang tabu diperjualbelikan di pasar. Konon pisang jenis ini berkhasiat mengobati penyakit.
Dewi Anggia hanya mengontrol saja semua tanaman itu, ada pekerja khusus yang merawatnya, Salam. Ia merawat tanaman itu, sedangkan ayahnya Salamun bertindak sebagai pedagang buah yang membeli semua hasil kebun itu untuk dijual di pasar. Pagi itu lengang saja. Sinar mentari menerobos sana-sini, dan diraih kehangatannya oleh kebun palawija yang baru saja ditanam. Panen hasil kebun beberapa hari yang lalu cukup menjadi persediaan beberapa minggu.
Memasuki ruang depan rumah dari dapur tampak Ayahnya terus bergelut dengan penggurit dan rontal. Ia diam-diam duduk di kejauhan. Begawan Vadia yang mengetahui kehadiran putrinya meneruskan kisahnya.
****
Dalam perundingan antara Panewu Pranacitra, Rakryan Wijaya, dan pimpinan tertinggi pasukan Kublai Khan maka ketiga pimpinan pasukan Krtanagara, pasukan Jayakatwang, dan pasukan Mongol pun bersepakat untuk menghukum Jayakatwang yang telah menyerang sasaran utama pasukan Mongol: Sri Krtanagara. Pasukan Jawa tidak akan ikut menyerang Jayakatwang, sebagai imbalan lain ialah pasukan Mongol akan menyerahkan kepada pasukan Jawa seluruh harta pampasan perang yang berasal dari istana Jayakatwang, Penyerangan ke Kediri sepenuhnya dilakukan oleh pasukan Mongol. Jayakatwang harus bertanggung jawab atas tewasnya Krtanagara, utang Krtanagara belum lunas setelah ia tewas. Utang penghinaan utusan Mongol yang datang beberapa tahun yang silam itu harus dibebankan ke atas pundak Jayakatwang.
Memang mengherankan pasukan yang ditempatkanJayakatwang di pelabuhan Gresik kini berbalik memusuhi rajanya sendiri. Panewu Pranacitra pimpinan pasukan Jayakatwang dapat diambil hatinya oleh pimpinan pasukan Mongol, bahkan ia mendapatkan seorang wanita berkebangsaan Mongol sebagai pengurus rumah tangga.
Gajah Mada kecil kini tidak perlu lagi menunggu sarapan atau makan siang dari salah seorang tetangganya. Seorang wanita Mongol yang berkulit terang itu kini mengurus segala kebutuhannya. Wanita itu sehari-hari tampak bersikap halus di hadapan para penduduk. Sebagai wanita Mongol ia berusaha mengesankan diri sebagai orang biasa saja. Ia tidak ingin dianggap aneh di mata orang yang melihatnya bekerja mengurus rumah tangga Panewu Pranacitra. Gajah Mada kecil sangat membutuhkan pengasuh karena sering ditinggal sang Ayahandanya. Penduduk setempat menerima dengan tangan terbuka karena telah mengetahui wanita itu sangat lancar berbicara dalam bahasa Jawa.
Gajah Mada kecil pada awalnya merasa heran dengan dandanan wanita itu yang begitu buruk jika di luar rumah.
Malahan di mata Gajah Mada kecil Meisi tampak selalu berusaha menyembunyikan kecantikannya dari mata penduduk sekitar dengan berbedak jelaga sedikit maupun penyamaran lainnya.
Meisi pun mengubah gaya jalannya yang berjingkat dan cepat menjadi gemulai layaknya seperti penduduk setempat. Di dalam rumah ia bergerak gesit tak dapat menyembunyikan bahwa sebenarnya ia seorang prajurit pilihan yang berpendidikan sangat baik.
"Ibu Mei, mengapa sering memakai bedak bikinan itu, kan jadi tampak tidak cantik," rasa ingin tahu Gajah Mada tidak dapat ditahannya lagi.
"Gajah yang baik, biarkan ya ibu Mei seperti ini. Oh, ya, ini soal yang kita berdua jadikan rahasia. Nanti ibu Mei ajari ilmu kanuragan asalkan Gajah berjanji pegang rahasia itu."
Gajah Mada yang sangat ingin menjadi prajurit seperti ayahandanya tentu saja tertarik, apalagi di antara teman-temannya tidak ada seorang pun yang akan menguasai ilmu kanuragan dari Tiongkok itu.
Wanita prajurit berusia belum lagi tigapuluh itu secara diam-diam berusaha pelahan-lahan dan tanpa mencolok selama bertahun-tahun berusaha mengajarkan semua pengetahuannya kepada Gajah Mada kecil: ilmu kanuragan Tiongkok, ilmu berbagai jenis persenjataan, pembuatan kapal, ilmu pemerintahan dan tatanegara. Bahkan ia diajari seni menunggang kuda ala Tiongkok tanpa menggunakan kuda asli. Dan yang terpenting agar dapat dikuasai oleh Gajah Mada muda adalah ilmu tenaga dalam Tiongkok beserta filosofi tentang kehidupan.
*****