Masyarakat Sosialis Indonesia
Joesoef Isak
Dalam rekomendasi Yayasan Adikarya
IKAPI kepada penerbit "Pancur Siwah" disarankan meminta tokoh
wartawan senior, Rosihan Anwar menulis kata-pengantar bagi buku kenangan Umar
Said ini (Perjalanan hidup saya / A. Umar Said). Di samping itu Pimpinan Pancur Siwah, Masri Maris PhD, atas saran
Umar Said juga meminta hal yang sama kepada saya dengan catatan bila pak
Rosihan bersedia menulis kata-pengantar, maka tulisan saya akan dijadikan
kata-penutup alias epilog. Saya menghargai IKAPI yang dalam penilaiannya
menyatakan memoar Umar Said pantas diterbitkan karena menganggapnya sebagai
suatu "dokumen sosial", dan Umar Said boleh beruntung bahwa Rosihan
Anwar bersedia menulis pengantar untuk memoarnya ini.
Mendengar nama Umar Said, apalagi mengetahui bahwa ia seorang wartawan orde-lama,
hidup dalam asylum di Prancis sebagai refugee-politik sepanjang masa rejim Orde
Baru Suharto, mungkin pembaca mengharapkan bisa mendapat-kan "suara
lain" daripada apa yang didengar dan ditulis selama ini. Harapan seperti
itu wajar saja. Selama kekuasaan Suharto telah berlangsung penyeragaman
berpikir bagi seluruh kawulo; dan penulisan sejarah republik dimonopoli oleh
satu versi penguasa saja. Sekarang muncul Umar Said. Di bidang pers baru
sekaranglah bisa hadir suara lain, suatu pandangan alternatif. Saya tidak ikut
dalam gelombang besar yang sekarang menuntut "pelurusan penulisan
sejarah". Yang perlu dituntut adalah mutlak berhentinya monopoli satu
versi.
Yang di-perlukan sekarang adalah membiasakan berdemokrasi, melatih diri terbiasa menenggang suara lain, memberikan kesempatan sama kepada "de anders-denkenden", kepada berbagai nara-sumber untuk muncul dan didengar oleh pembaca dan seluruh masyarakat. Versi Orde Baru yang rancu dan monopolistik tidak usah dilarang atau dihapus, bila mau diterus-teruskan pun dibiarkan sajalah. Yang penting : nara-sumber dari mana pun asalnya mendapatkan kesempatan dan kebebasan yang sama untuk tampil. Sudah waktunya berhenti menganggap pembaca bodoh tidak mampu menilai apa yang benar, apa yang setengah benar atau pun yang paling ngawur. Oleh karena itu saya ikut mendesak penerbit Pancur Siwah untuk meminta kesediaan Rosihan Anwar menulis kata-pengantar, walau pun saya tahu Rosihan Anwar dan Umar Said politis berdiri berseberangan.
Yang di-perlukan sekarang adalah membiasakan berdemokrasi, melatih diri terbiasa menenggang suara lain, memberikan kesempatan sama kepada "de anders-denkenden", kepada berbagai nara-sumber untuk muncul dan didengar oleh pembaca dan seluruh masyarakat. Versi Orde Baru yang rancu dan monopolistik tidak usah dilarang atau dihapus, bila mau diterus-teruskan pun dibiarkan sajalah. Yang penting : nara-sumber dari mana pun asalnya mendapatkan kesempatan dan kebebasan yang sama untuk tampil. Sudah waktunya berhenti menganggap pembaca bodoh tidak mampu menilai apa yang benar, apa yang setengah benar atau pun yang paling ngawur. Oleh karena itu saya ikut mendesak penerbit Pancur Siwah untuk meminta kesediaan Rosihan Anwar menulis kata-pengantar, walau pun saya tahu Rosihan Anwar dan Umar Said politis berdiri berseberangan.
* * *
Saya kenal penulis bukan saja
bagai keluarga sendiri, dia rekan seprofesi, sesama wartawan, yang sepanjang
kerja jurnalistik senantiasa seiring-sejalan -- bahkan dapat ditambahkan tidak pernah
bersilang jalan. Dalam epilog ini saya tidak akan memasuki apa yang ditulis
Umar Said dalam bukunya, substansi yang dia urai-kan adalah hak dan urusannya
sendiri. Yang terasa perlu digelar di sini adalah gambaran latar-belakang
kehidupan dan situasi politik semasa Umar Said aktif bergelimang sebagai
wartawan dalam kurun waktu yang disebut oleh para pengikut Orde Baru sebagai periode
orde lama, atau semasa Bung Karno menjadi Presiden. Dengan
sendirinya gambaran saya akan berbeda dengan versi yang selama ini dianggap
benar dan paling sah. Orde Baru yang pegang kekuasaan mutlak selama tiga dekade
lebih sudah mem-berikan gambaran dan pen-jelasan yang baku mengenai masa Soekarno menjadi Presiden
itu. Versi itulah satu-satunya yang serba maha benar dan harus seragam
dipercaya : orla serba salah, demokrasi terpimpin otoriter, Soekarno
diktator, UUD 45 dilanggar, PKI berkhianat, karena itu perlu koreksi total,
hukum harus ditegakkan.
Kita lantas semua sudah tahu implikasi dan praktek apa yang diker-jakan oleh
Suharto dan para pendukungnya pada saat melaksanakan koreksi total dan
penegakan hukum itu. Setelah Suharto lengser, terjadi kik-balik keras sekali.
Desakan bermunculan untuk mengungkap kebenaran dan menghapus kebohong-an.
Beramai-ramai orang menuntut pelurusan sejarah, versi rekayasa Orde Baru harus
dikoreksi, dsb, dsb. Saya tidak berkeberatan atas semua tuntutan itu, juga
tidak menjadi soal bila versi Suharto berikut para pendukungnya masih mau
terus dipertahankan
di era reformasi ini. Bagi saya tidak terlalu urgen melurus-luruskan sejarah.
Seperti sudah di-singgung di atas, terpenting di sini adalah mutlak berhentinya
versi Suharto yang dianggap dan harus diterima sebagai satu-satunya versi
pa-ling benar. Tidak lagi cuma versi sejarawan Suharto yang boleh eksis dan
wajib dipercaya sebagai kebenaran, bahkan diterima sebagai kenyataan. Versi
lain, narasumber lain, dari siapa pun asalnya dan berapa pun jumlahnya, harus
bisa hadir dalam ruang dan kesempatan yang sama. Di sinilah saya melihat arti
penting hadirnya tulisan Umar Said, suatu narasumber lain yang tentu mempunyai
visi dan sudut-pandang sendiri. Ini sekaligus berarti bahwa apa yang diuraikan
Umar Said pun tidak perlu diklaim sebagai "sekarang inilah yang
benar". Semua terpulang pada pembaca, pembaca tidak bodoh. Pembaca punya
hak penuh untuk bebas menilai dan juga sah menarik kesimpulan sendiri. Itu
pulalah yang menjadi titik--tolak tanggapan saya mengenai tulisan Umar Said
yang dimuat sebagai epilog dalam buku ini.
Dalam uraian ini saya sedapatnya menghindari stempel-stempel siap-pakai yang
latah diobral di masa lalu:
kiri-kanan-pki-psi-revolusioner-reaksioner-komunis-soska dan sebagainya.
Label-label itu tidak sepenuh-nya salah akan tetapi kandungan arti yang
diusung-usung sarat dengan perbedaan interpretasi sesuai selera si pemakai
masing-masing. Memanglah benar di atas pentas politik Indonesia ada pihak-pihak yang
berseberangan sikap, bertentangan keyakinan politik. Dalam garis besar saya membagi
konfigurasi politik masyarakat kita itu dalam dua kubu utama.
Kubu Pertama ditandai dengan golongan
yang tidak suka pada Soekarno, segmennya cukup bervariasi, mulai kelompok yang
dianggap elit intelektual, pengidap penyakit kronis sukuisme tersembunyi --
tidak suka Jawa, cenderung pada federalisme, anti Bung Karno, sampai ke
politisi anti-komunis yang sudah tidak ketolongan.
Kubu Kedua adalah kelompok pendukung Soekarno, nasionalis moderat sampai ke para pengkultus fanatik Soekarno, kelompok progresif fellow-travellers komunis, para marxis, komunis, crypto-komunis.
Jelas bahwa garis pemisah yang saya pakai adalah Soekarno, dan untuk seterusnya saya akan menyebutnya dengan KUBU-I dan KUBU-II. Varian signifikan yang perlu dicatat di sini adalah militer yang aktif berpolitik -- ter-buka atau tertutup. Tempat mereka yang benar adalah di kubu-I, akan tetapi mereka mampu tampil quasi progresif-revolusioner, canggih dan lincah berintegrasi dalam kubu-II, konsep teritorial dengan kodam dan kodimnya memungkinkan mereka berada di mana-mana.
Kubu Kedua adalah kelompok pendukung Soekarno, nasionalis moderat sampai ke para pengkultus fanatik Soekarno, kelompok progresif fellow-travellers komunis, para marxis, komunis, crypto-komunis.
Jelas bahwa garis pemisah yang saya pakai adalah Soekarno, dan untuk seterusnya saya akan menyebutnya dengan KUBU-I dan KUBU-II. Varian signifikan yang perlu dicatat di sini adalah militer yang aktif berpolitik -- ter-buka atau tertutup. Tempat mereka yang benar adalah di kubu-I, akan tetapi mereka mampu tampil quasi progresif-revolusioner, canggih dan lincah berintegrasi dalam kubu-II, konsep teritorial dengan kodam dan kodimnya memungkinkan mereka berada di mana-mana.
* * *
Sekarang saya coba menggambarkan
visi yang selama ini tidak mungkin tampil mengenai "jaman Soekarno",
periode yang dibakukan dengan julukan orla itu. Karena kita sedang
bicara tentang buku seorang wartawan, maka gambaran saya ini dengan sendirinya
lebih khusus menyangkut wartawan dan dunia kewartawanan -- meski junalistik
pada akhirnya tidak bisa tidak merupakan cerminan masyarakatnya tempat dia
tumbuh.
Setelah pecah malapetaka nasional September 1965, Soekarno pernah mengatakan bahwa kita mengalami set-back delapan tahun. Apakah maksud pernyataan itu? Esensi set-back delapan tahun yang dimaksud oleh Presiden Soekarno akan kita kaji di sini dalam aspek jurnalistik.
Dari tahun ke tahun pers dan terutama PWI didominasi oleh para wartawan kubu-I. Pengurus PWI Pusat sejak PWI didirikan boleh dikatakan selalu dipegang kelompok wartawan kubu-I. Dalam tiap kali kongres, tokoh pers seperti misalnya Djawoto selalu kalah. Pada saat berlangsungnya Konperensi Asia-Afrika di lobi Gedung Merdeka 1955 di Bandung, para wartawan Asia-Afrika yang hadir pernah sepakat menyelenggarakan konperensi Asia-Afrka di bidang kewartawanan. Akan tetapi bertahun-tahun ikrar itu hanya tinggal niat belaka. Soalnya kristalisasi politik dan ideologi sudah mulai mengental, gema Perang Dingin sudah mulai terasa pengaruhnya di Indonesia. Kubu-I yang tidak suka Soekarno dan mendominasi PWI -- juga "dunia bebas" barat -- menganggap "konsep A-A" adalah konsep Soekarno yang hanya akan menguntungkan kekuatan kiri, oleh karena itu ikrar wartawan A-A di Bandung tidak pernah menjadi acara untuk diimplementasi dan pencalonan tokoh seperti Djawoto tidak pernah tembus.
Situasi mulai berubah ketika Indonesia kembali ke UUD 45 dan Soekarno di tahun 1959 mendeklarasikan Manipol, Manifesto Politik. (Perlu pendalaman siapa pendukung utama kembali ke UUD 45). Canang perubahan diawali dari Jakarta, pimpinan PWI cabang Jakarta terlepas dari kelompok wartawan kubu-I. Bola pendukung Bung Karno mulai menggelinding. Dalam Kongres PWI se-Indonesia di Makasar 1960, Djawoto barulah bisa terpilih sebagai Ketua PWI Pusat yang baru. Kubu-II tahu betul bahwa militer ikut aktif berusaha mempertahankan Teuku Sjahril atau rekan sepahamnya, akan tetapi kali ini pemilihan Djawoto tidak bisa dibendung. Barulah sekarang timbul situasi kondusif (meminjam istilah populer sekarang), untuk di tahun 1962 mulai mengimplementasi idee terlantar yang lahir di Bandung : KWAA, konperensi wartawan Asia-Afrika yang melahhirkan PWAA, Persatuan Wartawan Asia-Afrika.
Cukup banyak kisah-kisah latar-belakang yang menarik di balik perubahan sikap dan jiwa PWI -- katakanlah dari kanan ke kiri --, demikian juga latar-belakang lahirnya PWAA, organisasi wartawan yang juga sekaligus menjadi organisasi politik karena sadar melibatkan diri dalam gerakan pembebasan Afrika yang ketika itu masih banyak menjadi jajahan, solider menentang penahanan Nelson Mandela, dan juga aktif menentang perang Vietnam. PWI dan PWAA tidak lagi mengikuti konsep iseng "jurnalistik demi jurnalistik" atau "sastra demi sastra", pers progresif dengan sadar melibatkan diri dalam perjuangan politik demi kebebasan, keadilan, kesejahteraan dan perdamaian -- semua harus demi kepentingan rakyat di atas segalanya. Begitulah jargon semasa itu yang dikenal dengan slogan politik adalah panglima. Kubu-I menentang keras slogan itu, yang perlu dicatat di sini mereka menolaknya sebagai slogan tetapi menerapkannya secara lebih ketat, lebih efektif, lebih konsekwen dalam segala segi praktek hidup kemasyarakatan -- jadi tidak seperti yang dilakukan kubu-II yang mengumandangkannya sebagai slogan tetapi tidak selalu konsisten dalam melaksana-kannya. Kita lihat bagaimana penerapan politik adalah panglima berjalan lancar dan sangat efektif dalam praktek, terutama setelah kubu-I di bawah bendera Orde Baru berkuasa mutlak sesudah 1965, hasilnya : bersih lingkungan, lantas penjara-penjara di seluruh Indonesia penuh dengan orang-orang yang tidak se-politik dengan mereka.
Umar Said sebagai wartawan melibatkan diri aktif dalam segala perkembangan dan perubahan PWI maupun PWAA. Beda dan kelebihan dari rekan-rekannya, dia tidak cuma mengurus jurnalis-tik dan politik, tetapi dia juga berminat dan telaten sekali mengurus administrasi dan keuangan. Itu sebabnya anak Madura sumando urang Minang ini selalu menjadi tenaga teras bila menyangkut urusan dana dan keuangan PWI dan PWAA. Bakat itu pula rupanya membikin dia sebagai refugee-politik berhasil membangun Restau-rant Indonesia di Paris, sumber mempertahankan hidup di rantau orang dan sekaligus menjadi sentra kegiatan politik. Dari restoran itu dia bersama rekan-rekannya senasib melancarkan gerakan HAM dan kampanye solidaritas bagi sejuta lebih kawan setanah-air yang meringkuk dalam penjara-penjara Suharto; dari restoran itu pula diluncurkan gerakan pembebasan Timor Timur di luar negeri, setelah jauh hari sebelumnya di tahun 1976 Umar Said memprakarsai berdirinya di Paris Komite Solidaritas Timor Timur.
Kerja keras PWI-PWAA sekian lama berikut segala prestasi politik yang berhasil diraihnya hancur-lebur -- mendadak dengan sekali pukul segalanya sirna dalam malapetaka September 1965. Angkatan Darat Indonesia dan kubu-I dengan dukungan penuh kekuatan anti-komunis sedunia dalam Perang Dingin, mencetak kemenangan mutlak gilang-gemilang: Soekarno tersingkir, PKI hancur. Indonesia mendadak berubah kwalitatif, bahkan perubahan politik di Indonesia mengubah pentas dan peta politik dunia. Bukan hanya PKI hancur-lebur, akan tetapi kelanjutannya juga kubu komunis internasional berantakan total hanya sesudah tokoh nasionalis seperti Bung Karno berhasil disingkirkan. Indonesia di bawah pimpinan Jendral Suharto lantas diterima dengan tangan terbuka dalam barisan "dunia bebas".
Bubarnya PWAA dan PWI-manipolis hanyalah satu bagian dari apa yang dimaksudkan dengan set-back delapan tahun oleh Bung Karno. Inti set-back delapan tahun yang lebih dalam dan paling mendasar adalah tersapunya bersih pemikiran-pemikiran progresif yang susah-payah dan dalam waktu lama diusahakan diperkenalkan pada masyarakat dan rakyat Indonesia. Masyarakat adil-makmur yang dicita-citakan -- dalam istilah politik modern dirumuskan dengan masyarakat sosialis Indonesia --, itulah set-back yang sesung-guh-nya karena sama sekali sudah tidak menjadi acara lagi! Kita mungkin masih ingat betapa berangsur-angsur istilah sosialis atau sosialisme mulai diperkenalkan dan diusahakan menjadi milik massa -- "disosialisasikan" bila memakai istilah sekarang. Memperkenalkan idee-idee progresif kepada rakyat bukanlah gampang dan jelas tidak berjalan dengan sendirinya. Mula-mula dengan berhati-hati diperkenalkan istilah Sosialisme ala Indonesia, kemudian berangsur kata ala sudah tidak perlu dipakai lagi, akhirnya cukup satu kata sosialis atau sosialisme saja, tanpa perlu ada kekhawatiran lagi bahwa penggunaan kata sosialis dianggap identik dengan komunis, momok yang mengerikan itu. Jangan-kan berjalan dalam praktek sebagai suatu sistem, sebagai istilah pun kata "sosialis" menjadi tabu. Satu-satunya kata "sosialis" semasa itu hanya melekat pada singkatan PSI. Kebanyakan orang tidak memakainya karena khawatir sekali diasosiasikan dengan komunis. Kebodohan tragis dan ironis, bukan?
Bung Karno "mensosialisasikan" pemikiran progresif di segala segmen kegiatan masyarakat, PWAA dan PWI-manipolis didorong maju, wartawan-wartawan senior direkrut; Adam Malik, B.M. Diah, Djawoto, Sukrisno, Tahsin diangkat jadi duta-besar untuk memompa darah baru dalam dunia diplomasi kita. Bung Karno juga melancarkan usaha pembaruan misi dan visi dalam lembaga dunia seperti Olympiade dan PBB. Tetapi semua rencana Bung Karno berhasil digagalkan. Lantas apa yang kita dapat sebagai pengganti set-back delapan tahun itu?
Ini dia, pancasila yang sebenarnya : Pancasila Suharto. Sudah pada minggu pertama setelah 30 September 1965, jendral Suharto mengawali kekuasaannya dengan kebohong-an. Perempuan-perempuan Gerwani di Lubang Buaya menari-nari tanpa busana lengkap sambil menyilet-nyilet jendral-jendral yang masih hidup, katanya. Dimulailah proses menggiring segenap kawulo ibarat ternak untuk berpikir serba seragam, menerima dan memamah biak apa yang diputuskan dan apa yang dimaui penguasa. Bukan saja rakyat kecil yang awam, tetapi wartawan, sarjana, politikus, anggota parlemen, kalangan pendidikan tinggi, ya lapisan intelegensia kita beramai-ramai pada percaya apa yang dikatakan Suharto. Dengan diawali rekayasa kebohongan itulah, maka segala kebijakan dan garis politik Orde Baru diarahkan untuk menumpas PKI dan pendukung Soekarno sampai ke akar-akarnya sebagaimana diucapkan pimpinan politik dan militer Orde Baru.
Saya meminjam istilah sosiologi -- reifikasi -- untuk menggam-barkan eksistensi kekuasaan Orde Baru. Reifikasi adalah suatu proses di mana hasil rekayasa (bikin-bikinan kutak-katik otak manusia -- dalam hal ini otak Suharto dan pendukungnya), berproses lama-kelamaan dianggap sebagai kebenaran dan pada akhirnya dianggap sebagai kenyataan, diterima sebagai suatu realitas. Abstraksi dianggap dan kemudian diterima sebagai realitas yang nyata dan benar ada. Fenomena reifikasi ini berjalan sepanjang kekuasaan Orde Baru. Dimulai dengan anggota Gerwani menyilet-nyilet jendral, kemudian setiap lima tahun para wartawan, para pakar ilmu sosial, politisi, dengan mesin mass media yang dikuasai, menulis, mengkaji, menganalisis dengan segala kecanggihan daya fikir mereka bahwa "tidak bisa tidak kita memerlukan ABRI, lembaga terbaik organisasinya dengan para anggota- yang paling berpen-didikan, dan tidak bisa tidak hanya jendral Suharto orangnya yang tepat menjadi Presiden lagi". Maka jadilah dia presiden selama tigapuluh tahun secara sah konstitusional. Masih ingat, bukan?
Itulah namanya murni reifikasi, abstraksi diterima sebagai kebenaran. Ironi paling besar : justru Suharto sendiri membuktikan bahwa semua itu adalah nonsens, tidak lain daripada abstraksi, rekayasa yang dirasionalisasi. Ketika dia lengser, dia menyerahkan kuasa-kepresidenan pada seorang sipil; setelah itu masih menyusul lagi dua presiden sipil lain. Kok bisa? Kok bisa Indonesia dipimpin presiden yang bukan ABRI? Memang pasti bisa, akan tetapi kaum intelektual kita yang tigapuluh tahun terkontaminasi reifikasi dan serba penyeragaman, sudah mandul berpikir -- sudah tidak punya kemampuan lagi membedakan antara abstraksi dan realitas, antara kebohongan dan kebenaran, antara isapan jempol dan jempolnya sendiri.
Kalau menyimpulkan makna set-back delapan tahun yang diucapkan Bung Karno, maka kita lihat bahwa set-back dalam esensinya paling utama adalah rontoknya idee-idee progresif dari bumi Indonesia, tidak ada lagi sosialis atau sosialisme. Semua itu diganti dengan suatu kondisi yang berlipat-ganda parahnya : krisis kerangka berpikir, sadar tak sadar manusia Indonesia mulai berpikir rancu akibat penyeragaman berpikir masal, rutin dari tahun ke tahun lewat segenap mesin mass-media dan buku pelajaran sekolah. Keadaan sangat parah ini rupanya oleh elit penguasa tidak dianggap sebagai suatu masalah. Situasi masyarakat patologis yang kejangkitan rancu kerangka berpikir, terlewat begitu saja tanpa ada yang khusus menanganinya. Sering keadaan seperti itu saya sebut sebagai krisis intelektual, krisis yang seribu kali lebih gawat daripada KRISMAN dan KKN yang relatif lebih mudah diatasi, dan memang cuma krismon dan kkn itu sajalah yang ditangani.
Setelah pecah malapetaka nasional September 1965, Soekarno pernah mengatakan bahwa kita mengalami set-back delapan tahun. Apakah maksud pernyataan itu? Esensi set-back delapan tahun yang dimaksud oleh Presiden Soekarno akan kita kaji di sini dalam aspek jurnalistik.
Dari tahun ke tahun pers dan terutama PWI didominasi oleh para wartawan kubu-I. Pengurus PWI Pusat sejak PWI didirikan boleh dikatakan selalu dipegang kelompok wartawan kubu-I. Dalam tiap kali kongres, tokoh pers seperti misalnya Djawoto selalu kalah. Pada saat berlangsungnya Konperensi Asia-Afrika di lobi Gedung Merdeka 1955 di Bandung, para wartawan Asia-Afrika yang hadir pernah sepakat menyelenggarakan konperensi Asia-Afrka di bidang kewartawanan. Akan tetapi bertahun-tahun ikrar itu hanya tinggal niat belaka. Soalnya kristalisasi politik dan ideologi sudah mulai mengental, gema Perang Dingin sudah mulai terasa pengaruhnya di Indonesia. Kubu-I yang tidak suka Soekarno dan mendominasi PWI -- juga "dunia bebas" barat -- menganggap "konsep A-A" adalah konsep Soekarno yang hanya akan menguntungkan kekuatan kiri, oleh karena itu ikrar wartawan A-A di Bandung tidak pernah menjadi acara untuk diimplementasi dan pencalonan tokoh seperti Djawoto tidak pernah tembus.
Situasi mulai berubah ketika Indonesia kembali ke UUD 45 dan Soekarno di tahun 1959 mendeklarasikan Manipol, Manifesto Politik. (Perlu pendalaman siapa pendukung utama kembali ke UUD 45). Canang perubahan diawali dari Jakarta, pimpinan PWI cabang Jakarta terlepas dari kelompok wartawan kubu-I. Bola pendukung Bung Karno mulai menggelinding. Dalam Kongres PWI se-Indonesia di Makasar 1960, Djawoto barulah bisa terpilih sebagai Ketua PWI Pusat yang baru. Kubu-II tahu betul bahwa militer ikut aktif berusaha mempertahankan Teuku Sjahril atau rekan sepahamnya, akan tetapi kali ini pemilihan Djawoto tidak bisa dibendung. Barulah sekarang timbul situasi kondusif (meminjam istilah populer sekarang), untuk di tahun 1962 mulai mengimplementasi idee terlantar yang lahir di Bandung : KWAA, konperensi wartawan Asia-Afrika yang melahhirkan PWAA, Persatuan Wartawan Asia-Afrika.
Cukup banyak kisah-kisah latar-belakang yang menarik di balik perubahan sikap dan jiwa PWI -- katakanlah dari kanan ke kiri --, demikian juga latar-belakang lahirnya PWAA, organisasi wartawan yang juga sekaligus menjadi organisasi politik karena sadar melibatkan diri dalam gerakan pembebasan Afrika yang ketika itu masih banyak menjadi jajahan, solider menentang penahanan Nelson Mandela, dan juga aktif menentang perang Vietnam. PWI dan PWAA tidak lagi mengikuti konsep iseng "jurnalistik demi jurnalistik" atau "sastra demi sastra", pers progresif dengan sadar melibatkan diri dalam perjuangan politik demi kebebasan, keadilan, kesejahteraan dan perdamaian -- semua harus demi kepentingan rakyat di atas segalanya. Begitulah jargon semasa itu yang dikenal dengan slogan politik adalah panglima. Kubu-I menentang keras slogan itu, yang perlu dicatat di sini mereka menolaknya sebagai slogan tetapi menerapkannya secara lebih ketat, lebih efektif, lebih konsekwen dalam segala segi praktek hidup kemasyarakatan -- jadi tidak seperti yang dilakukan kubu-II yang mengumandangkannya sebagai slogan tetapi tidak selalu konsisten dalam melaksana-kannya. Kita lihat bagaimana penerapan politik adalah panglima berjalan lancar dan sangat efektif dalam praktek, terutama setelah kubu-I di bawah bendera Orde Baru berkuasa mutlak sesudah 1965, hasilnya : bersih lingkungan, lantas penjara-penjara di seluruh Indonesia penuh dengan orang-orang yang tidak se-politik dengan mereka.
Umar Said sebagai wartawan melibatkan diri aktif dalam segala perkembangan dan perubahan PWI maupun PWAA. Beda dan kelebihan dari rekan-rekannya, dia tidak cuma mengurus jurnalis-tik dan politik, tetapi dia juga berminat dan telaten sekali mengurus administrasi dan keuangan. Itu sebabnya anak Madura sumando urang Minang ini selalu menjadi tenaga teras bila menyangkut urusan dana dan keuangan PWI dan PWAA. Bakat itu pula rupanya membikin dia sebagai refugee-politik berhasil membangun Restau-rant Indonesia di Paris, sumber mempertahankan hidup di rantau orang dan sekaligus menjadi sentra kegiatan politik. Dari restoran itu dia bersama rekan-rekannya senasib melancarkan gerakan HAM dan kampanye solidaritas bagi sejuta lebih kawan setanah-air yang meringkuk dalam penjara-penjara Suharto; dari restoran itu pula diluncurkan gerakan pembebasan Timor Timur di luar negeri, setelah jauh hari sebelumnya di tahun 1976 Umar Said memprakarsai berdirinya di Paris Komite Solidaritas Timor Timur.
Kerja keras PWI-PWAA sekian lama berikut segala prestasi politik yang berhasil diraihnya hancur-lebur -- mendadak dengan sekali pukul segalanya sirna dalam malapetaka September 1965. Angkatan Darat Indonesia dan kubu-I dengan dukungan penuh kekuatan anti-komunis sedunia dalam Perang Dingin, mencetak kemenangan mutlak gilang-gemilang: Soekarno tersingkir, PKI hancur. Indonesia mendadak berubah kwalitatif, bahkan perubahan politik di Indonesia mengubah pentas dan peta politik dunia. Bukan hanya PKI hancur-lebur, akan tetapi kelanjutannya juga kubu komunis internasional berantakan total hanya sesudah tokoh nasionalis seperti Bung Karno berhasil disingkirkan. Indonesia di bawah pimpinan Jendral Suharto lantas diterima dengan tangan terbuka dalam barisan "dunia bebas".
Bubarnya PWAA dan PWI-manipolis hanyalah satu bagian dari apa yang dimaksudkan dengan set-back delapan tahun oleh Bung Karno. Inti set-back delapan tahun yang lebih dalam dan paling mendasar adalah tersapunya bersih pemikiran-pemikiran progresif yang susah-payah dan dalam waktu lama diusahakan diperkenalkan pada masyarakat dan rakyat Indonesia. Masyarakat adil-makmur yang dicita-citakan -- dalam istilah politik modern dirumuskan dengan masyarakat sosialis Indonesia --, itulah set-back yang sesung-guh-nya karena sama sekali sudah tidak menjadi acara lagi! Kita mungkin masih ingat betapa berangsur-angsur istilah sosialis atau sosialisme mulai diperkenalkan dan diusahakan menjadi milik massa -- "disosialisasikan" bila memakai istilah sekarang. Memperkenalkan idee-idee progresif kepada rakyat bukanlah gampang dan jelas tidak berjalan dengan sendirinya. Mula-mula dengan berhati-hati diperkenalkan istilah Sosialisme ala Indonesia, kemudian berangsur kata ala sudah tidak perlu dipakai lagi, akhirnya cukup satu kata sosialis atau sosialisme saja, tanpa perlu ada kekhawatiran lagi bahwa penggunaan kata sosialis dianggap identik dengan komunis, momok yang mengerikan itu. Jangan-kan berjalan dalam praktek sebagai suatu sistem, sebagai istilah pun kata "sosialis" menjadi tabu. Satu-satunya kata "sosialis" semasa itu hanya melekat pada singkatan PSI. Kebanyakan orang tidak memakainya karena khawatir sekali diasosiasikan dengan komunis. Kebodohan tragis dan ironis, bukan?
Bung Karno "mensosialisasikan" pemikiran progresif di segala segmen kegiatan masyarakat, PWAA dan PWI-manipolis didorong maju, wartawan-wartawan senior direkrut; Adam Malik, B.M. Diah, Djawoto, Sukrisno, Tahsin diangkat jadi duta-besar untuk memompa darah baru dalam dunia diplomasi kita. Bung Karno juga melancarkan usaha pembaruan misi dan visi dalam lembaga dunia seperti Olympiade dan PBB. Tetapi semua rencana Bung Karno berhasil digagalkan. Lantas apa yang kita dapat sebagai pengganti set-back delapan tahun itu?
Ini dia, pancasila yang sebenarnya : Pancasila Suharto. Sudah pada minggu pertama setelah 30 September 1965, jendral Suharto mengawali kekuasaannya dengan kebohong-an. Perempuan-perempuan Gerwani di Lubang Buaya menari-nari tanpa busana lengkap sambil menyilet-nyilet jendral-jendral yang masih hidup, katanya. Dimulailah proses menggiring segenap kawulo ibarat ternak untuk berpikir serba seragam, menerima dan memamah biak apa yang diputuskan dan apa yang dimaui penguasa. Bukan saja rakyat kecil yang awam, tetapi wartawan, sarjana, politikus, anggota parlemen, kalangan pendidikan tinggi, ya lapisan intelegensia kita beramai-ramai pada percaya apa yang dikatakan Suharto. Dengan diawali rekayasa kebohongan itulah, maka segala kebijakan dan garis politik Orde Baru diarahkan untuk menumpas PKI dan pendukung Soekarno sampai ke akar-akarnya sebagaimana diucapkan pimpinan politik dan militer Orde Baru.
Saya meminjam istilah sosiologi -- reifikasi -- untuk menggam-barkan eksistensi kekuasaan Orde Baru. Reifikasi adalah suatu proses di mana hasil rekayasa (bikin-bikinan kutak-katik otak manusia -- dalam hal ini otak Suharto dan pendukungnya), berproses lama-kelamaan dianggap sebagai kebenaran dan pada akhirnya dianggap sebagai kenyataan, diterima sebagai suatu realitas. Abstraksi dianggap dan kemudian diterima sebagai realitas yang nyata dan benar ada. Fenomena reifikasi ini berjalan sepanjang kekuasaan Orde Baru. Dimulai dengan anggota Gerwani menyilet-nyilet jendral, kemudian setiap lima tahun para wartawan, para pakar ilmu sosial, politisi, dengan mesin mass media yang dikuasai, menulis, mengkaji, menganalisis dengan segala kecanggihan daya fikir mereka bahwa "tidak bisa tidak kita memerlukan ABRI, lembaga terbaik organisasinya dengan para anggota- yang paling berpen-didikan, dan tidak bisa tidak hanya jendral Suharto orangnya yang tepat menjadi Presiden lagi". Maka jadilah dia presiden selama tigapuluh tahun secara sah konstitusional. Masih ingat, bukan?
Itulah namanya murni reifikasi, abstraksi diterima sebagai kebenaran. Ironi paling besar : justru Suharto sendiri membuktikan bahwa semua itu adalah nonsens, tidak lain daripada abstraksi, rekayasa yang dirasionalisasi. Ketika dia lengser, dia menyerahkan kuasa-kepresidenan pada seorang sipil; setelah itu masih menyusul lagi dua presiden sipil lain. Kok bisa? Kok bisa Indonesia dipimpin presiden yang bukan ABRI? Memang pasti bisa, akan tetapi kaum intelektual kita yang tigapuluh tahun terkontaminasi reifikasi dan serba penyeragaman, sudah mandul berpikir -- sudah tidak punya kemampuan lagi membedakan antara abstraksi dan realitas, antara kebohongan dan kebenaran, antara isapan jempol dan jempolnya sendiri.
Kalau menyimpulkan makna set-back delapan tahun yang diucapkan Bung Karno, maka kita lihat bahwa set-back dalam esensinya paling utama adalah rontoknya idee-idee progresif dari bumi Indonesia, tidak ada lagi sosialis atau sosialisme. Semua itu diganti dengan suatu kondisi yang berlipat-ganda parahnya : krisis kerangka berpikir, sadar tak sadar manusia Indonesia mulai berpikir rancu akibat penyeragaman berpikir masal, rutin dari tahun ke tahun lewat segenap mesin mass-media dan buku pelajaran sekolah. Keadaan sangat parah ini rupanya oleh elit penguasa tidak dianggap sebagai suatu masalah. Situasi masyarakat patologis yang kejangkitan rancu kerangka berpikir, terlewat begitu saja tanpa ada yang khusus menanganinya. Sering keadaan seperti itu saya sebut sebagai krisis intelektual, krisis yang seribu kali lebih gawat daripada KRISMAN dan KKN yang relatif lebih mudah diatasi, dan memang cuma krismon dan kkn itu sajalah yang ditangani.
Ekses rancu berpikir akibat sepertiga abad penyeragaman berpikir menjadi gejala
umum yang menjangkiti orang awam sampai-sampai kepada intelegensia kita. Kita
tahu kaum intelegensia di mana pun sepanjang sejarah umat manusia menjadi motor
emansipasi dan peradaban, tetapi di Indonesia justru intelegensia kita
paling parah terkontaminasi dengan berbagai reifikasi. Ekses-ekses itu
menggejala dalam bepikir apriori, prasangka, pola-pola baku, dogma, pendangkalan, simplifikasi
kesimpulan, analisis pukul-rata. Semua itu kita temukan bukan saja pada orang
awam, tetapi justru dalam kadar tinggi pada para politikus dan kaum
intelegensia kita. Dan karena segmen elit ini cukup berpendidikan, maka justru
kerancuan itu dengan berbagai dalih ilmiah dan quasi ilmiah mampu
dirasionalisirnya. Dengan satu kata saya menyebut hal seperti itu sebagai
KEBODOHAN, kebodohan yang ujung-ujungnya mengejawantah dalam kekerasan dan bom,
atau memanifestasi dalam tulisan dan kebijakan yang korbannya jauh lebih besar
daripada bom Bali, Marriott atau Kuningan.
Kebodohan dan kekerasan memang adalah saudara kembar dari satu janin. Contoh
kebodohan yang seiring-sejalan dengan kekerasan: bom berserakan,
kerusuhan etnik dan agama meletus di mana-mana, tapol berserakan dalam
penjara-penjara di seluruh Indonesia, pulau Buru, peristiwa 27 Juli, dll, dll.
Karena dangkal dan serba simplifikasi dengan sendirinya segala analisis menjadi
serba apriori, cukup banyak intelektual sama-sama memamah-biak bahwa Soekarno
diktator -- mereka hanya lihat datar di permukaan, sudah mandul tak mampu
mendalami bagaimana power-structure sesungguhnya semasa itu? Siapa sesungguhnya
yang berkuasa? Sudah tidak tajam penglihatan (atau memang sengaja tidak mau
melihat) bahwa di "jaman Bung Karno" ada demokrasi terpimpin dan ada
demokrasi terpimpin. Yang pertama adalah Demokrasi Terpimpin Bung Karno, konsep
yang mengidealisir rakyatlah yang harus menang dan jangan selalu majikan yang
menang, demokratie met leiderschap Dewantoro yang belum menemukan
vorm-nya, mencari-cari dan masih harus berkembang sebagaimana yang
dicita-citakan. Akan tetapi sebelum sempat membuktikan manfaat bagi rakyat,
Demokrasi Terpimpin Bung Karno sudah dihancur-leburkan di tahun 1965.
Yang kedua adalah demokrasi
terpimpin produk teoritikus teritorial jendral Nasution. Ini berjalan efektif
dengan perangkat wewenang hierarchy teritorial, garis-komando vertikal dan
horisontal (nation-wide) dengan kekuatan ampuh senjata di tangan, tetapi semasa
masih ada Soekarno konsep kedua ini harus berjalan berbarengan dengan konsep
Bung Karno. Setelah Soekarno berhasil dijatuhkan, maka segala yang negatif di
lempar ke muka Soekarrno. Kedangkalan dan analisis serba apriori, tidak mampu
lagi melihat konsep demokrasi terpimpin mana sebenarnya yang jalan, siapa sebenarnya
yang pegang kekuasaan.
Penyair Schiller pernah mengucapkan kata-kata bersayap : "Against
stupidity, the Gods themselves battle in vain", melawan kebodohan,
para dewa pun bertarung sia-sia! Orang Paris
lebih menajamkannya pada kenyataan : "Contre le prejudice, les
Dieux eux-memes luttent en vain", melawan prasangka, para dewa pun
bertarung sia-sia, dewa-dewa kewalahan tak berdaya apa-apa. Sederhana pakai
bahasa istri Umar Said : Di urang, buruak saketek tungau -- tampak. Di
awak, buruak sagadang gajah -- indak tampak.
Dalam masyarakat yang daya fikirnya sudah sebegitu patologis, sudah sulit
mencari orang terpelajar yang bebas dari segala reifikasi Orde Baru, bahkan
kerancuan berpikir ini sudah juga menjangkiti kelompok kubu-II. Orang-orang
yang seyogianya bisa membedakan antara abstraksi dan realiti, antara metafisik
dan dialektik, sadar atau tak sadar mereka pun sudah bergelimang dalam
kerancuan kerangka berfikir, denkfouten kata orang Belanda. Dalam
keadaan menyedihkan seperti sekarang ini, saya teringat pada seorang yang sudah
tiada : Soebadio Sastrosatomo, tokoh setia PSI, pewaris sah Sutan
Sjahrir, seorang pemimpin yang saya anggap sepenuhnya bebas dari reifikasi Orde
Baru. Dia pernah dipenjarakan di "jaman Soekarno", walau pun begitu
dia menulis : "Soekarno adalah Indonesia,
Indonesia
adalah Soekarno". (Omong-omong pernahkah dipelajari mendalam power
structure semasa itu dan mencoba cari tahu siapa di belakang pemenjaraan
Soebadio cs?). Kepada saya langsung Soebadio mengatakan : Sjahrir
seorang jenius, intelektual berpendidikan barat, dia tegas memperjuangkan Indonesia
merdeka, tetapi dia berpikir barat. Soekarno juga berpendidikan barat, tetapi
bedanya dengan Sjahrir, Soekarno dengan kedua kakinya kukuh berdiri di bumi Indonesia.
Itu sebabnya dia tahu kultur bangsanya dan mengerti betul rakyatnya. Saya --
masih kata-kata Soebadio -- setuju kalau Bung Karno mengatakan dirinya penyambung
lidah rakyat.
Pada saat Soebadio menghormati
Soekarno, tidak berarti dia melecehkan Sjahrir, malah sebaliknya dia tetap
tinggi menyanjung Sjahrir. Baginya dua pemimpin bangsa itu tidak harus
dipertentangkan. Kepada saya Soebadio melanjutkan : "sudah
waktunya berhenti memaki-maki Hatta dan Sjahrir, sudah waktunya berhenti
memaki-maki Soekarno. Kita bukan musuh. Pendukung Soekarno, Hatta, Sjahrir
harus bersatu menghadapi musuh sesungguhnya, fasisme Suharto. Galang persatuan
Soekarno-Hatta-Sjahrir melawan faisme Suharto." Saya menyebutnya
sebagai "thesis Soebadio".
Begitulah secara harfiah ucapan Soebadio kepada saya, sedangkan dia tahu betul siapa saya. Dia bercerita dalam bahasa yang campur-campur Belanda : di mata si A, di mata si B je bent een communist, di mata si C tidak, kau bukan komunis. Nama-nama yang tidak perlu saya ungkap di sini ketiga-tiganya adalah orang PSI. Soebadio konsekwen pada ucapannya membuka pintu bertukar-pikiran dengan sukarnois, bekas PNI, bekas PSI, komunis, atau siapa pun yang bukan pendukung fasisme Suharto. Saya tidak mau dituduh menjejal kata-kata ke dalam mulut Soebadio, tetapi konfirmasi kebenaran apa yang dia ucapkan dapat didengar dari sekretaris pribadi Soebadio yang sampai sekarang masih terus aktif bekerja.
Uraian panjang-lebar mulai dari reifikasi sampai ke Soebadio ini seakan sudah melantur jauh dari topik pembahasan buku Umar Said. Sama sekali tidak! Uraian berpanjang-panjang ini justru diperlukan untuk menghadapi buku Umar Said, si komunis, si crypto-komunis, entah apa saja lagi pangkatnya. Silakan bebas mengalungkan label di leher orang lain (demokrasi!), yang paling tahu tentang seseorang tentulah yang bersangkutan sendiri -- dan yang terpenting biar pembaca sendiri menarik kesimpulan. Konsekwensinya : Umar Said, atau siapa pun, anggota PKI, anggota PSI, anggota Masjumi, anggota Murba, PNI Marhaen, pendeknya siapa pun tanpa kecuali tidak harus dan tidak perlu mempertanggng-jawabkan keyakinan politik masing-masing. Selama masih berada di wilayah keyakinan, mau berpegang teguh pada keyakinan masing-masing adalah hak-azasi manusia paling sah, kecuali bila sudah melempar-lempar bom. Itu pun pertanggungan-jawabnya mutlak harus lewat prosedur pengadilan tak berpihak, tidak benar sama sekali cuma dengan tudingan satu telunjuk jari.
Begitulah secara harfiah ucapan Soebadio kepada saya, sedangkan dia tahu betul siapa saya. Dia bercerita dalam bahasa yang campur-campur Belanda : di mata si A, di mata si B je bent een communist, di mata si C tidak, kau bukan komunis. Nama-nama yang tidak perlu saya ungkap di sini ketiga-tiganya adalah orang PSI. Soebadio konsekwen pada ucapannya membuka pintu bertukar-pikiran dengan sukarnois, bekas PNI, bekas PSI, komunis, atau siapa pun yang bukan pendukung fasisme Suharto. Saya tidak mau dituduh menjejal kata-kata ke dalam mulut Soebadio, tetapi konfirmasi kebenaran apa yang dia ucapkan dapat didengar dari sekretaris pribadi Soebadio yang sampai sekarang masih terus aktif bekerja.
Uraian panjang-lebar mulai dari reifikasi sampai ke Soebadio ini seakan sudah melantur jauh dari topik pembahasan buku Umar Said. Sama sekali tidak! Uraian berpanjang-panjang ini justru diperlukan untuk menghadapi buku Umar Said, si komunis, si crypto-komunis, entah apa saja lagi pangkatnya. Silakan bebas mengalungkan label di leher orang lain (demokrasi!), yang paling tahu tentang seseorang tentulah yang bersangkutan sendiri -- dan yang terpenting biar pembaca sendiri menarik kesimpulan. Konsekwensinya : Umar Said, atau siapa pun, anggota PKI, anggota PSI, anggota Masjumi, anggota Murba, PNI Marhaen, pendeknya siapa pun tanpa kecuali tidak harus dan tidak perlu mempertanggng-jawabkan keyakinan politik masing-masing. Selama masih berada di wilayah keyakinan, mau berpegang teguh pada keyakinan masing-masing adalah hak-azasi manusia paling sah, kecuali bila sudah melempar-lempar bom. Itu pun pertanggungan-jawabnya mutlak harus lewat prosedur pengadilan tak berpihak, tidak benar sama sekali cuma dengan tudingan satu telunjuk jari.
Moral seluruh epilog ini : jernih berpikir, bebas dari segala
tesis-tesis reifikasi Orde Baru, bebas dari berfikir serba apriori, mampu
retrospeksi antara rekayasa abstraksi dan realitas; kesemua itu adalah
pra-syarat bila mau menyumbang pada penyembuhan dan pembaruan Indonesia, kepada
Indonesia yang adil-makmur, pada masyarakat sosialis Indonesia.
***
__________
Catatan
Redaksi : Penulis epilog
sebelum September 1965 adalah wartawan, sesudah 1965 adalah salah seorang
tapol.