Mengkaji catatan bung Wilson dari penjara, saya ingin memulai dengan mengutip bebas ucapan Jusuf Kalla sebelum ia dilantik resmi menjadi wakil presiden. Apa yang diucapkan mencerminkan niat baiknya setika ia mengimbau agar pengalihan kepemimpinan nasional berlangsung santun dan damai, tanpa menghujat pimpinan yang mundur. Sesuatu yang agaknya diharapkan menjadi tradisi dalam prilaku kita berpolitik. Semua itu diperlukan demi rekonsialisasi bangsa, demikian harapan Jusuf Kalla.
"Dunia di Balik Jeruji: Kesaksian Perlawanan"
Kata Pengantar
Penggunaan kata
"menghujat" (menghujah) terasa seakan kita berada di wilayah agama, sehingga apabila kita menghujat maka kita telah membuat suatu
dosa besar. Sebenarnya bukan hanya dari segi agama, dalam konteks politik pun "menghujat" adalah sesuatu
yang harus ditabukan, karena menghujat tidak lain berarti
memfitnah. Namun segalanya menjadi salah kaprah pada saat "menghujat"
kebablasan di-identikkan dengan mengkritik penguasa.
Megawati sebagai
ketua PDI-P di tahun 1998 dalam salah satu tampilannya yang pertama di Gedung
Pancasila Pejambon mempesona banyak orang ketika dia menyerukan untuk tidak
menghujat Presiden yang baru saja melngsrkan diri. Dan selama kekuasaannya, Megawati sebagai ketua PDI-P mau pun sebagai Presiden tidak
pernah menghujat Presiden Suharto, walau pun
semasa jendral Orde Baru itu berkuasa, Presiden
Soekarno yang dia gulingkan tidak habis-habis dihujat lewat para pendukungnya
dalam segala posisi dan dalam berbagai kesempatan -- terang-terangan mau pun
terselubung. Soeharto sendiri dengan penuh kearifan memaafkan semua kesalahan
Bung Karno, "mendem jero, junjung duwur" katanya. Eufemisme khas budaya munafik Suharto yang
implisit memfitnah Bung Karno terlibat "G30S-PKI". Apa yang dilakukan Suharto adalah betul-betul mendem jero
(pendam dalam-dalam) Bung Karno di Wisma Yaso yang dia jadikan penjara pribadi,
dan junjung duwur (junjung tinggi) teknik-teknik mengelabui publik
dengan cara halus. Apa yang dikerjakan Suharto adalah memenjarakan Bung Karno,
tetapi kepada pers dan publik dikatakan menjaga keselamatan Bung Karno.
Baris-baris
introduksi yang diuraikan di atas, sepenuhnya
berkaitan dengan Wilson
karena isi bukunya bercerita tentang pengalaman penjara yang dengan sendirinya
akan menyangkut masalah hukum dan kebijakan penguasa, begitu pun berkait dengan
ucapan Jusuf Kalla yang mendambakan rekonsiliasi.
***
Saya tertegun
mengeleng-geleng kepala membaca catatan-catatan Wilson yang sekarang dibukukan ini. Usianya
boleh dikatakan separoh umur saya -- di tahun 60-an dan 70-an saya sudah
mengalami berbagai perlakuan kesewenang-wenangan kekuasaan Orde Baru Suharto, misalnya ditahan tanpa pernah diadili, lalu saya diangkat resmi menjadi anggota PKI tanpa diberi
kartu-anggota dan tentu juga tanpa sepengetahuan D.N.Aidit dan PKI, lantas dimulailah gerakan massal bersih lingkungan yang
menyeret seluruh keluarga sampai ikut merasakan berbagai kesengsaraan.
Wilson yang seusia anak saya rupanya juga harus
mengalami hal yang sama -- cukup terperanjat saya menyadari bahwa kekejaman dan
kesewenang-wenangan hukum rupanya berkelanjutan panjang sekali sampai-sampai
melintas generasi. Sekian lama pemerkosaan hukum dan ketidak-adilan menjadi
kelaziman sehari-hari tanpa ada kekuasaan yang mengatakan "stop!"
walaupun sudah tampil tiga presiden baru sesudah Suharto lengser.
Kesewenang-wenangan melecehkan hukum dimulai 1965 -- tigapuluh tahun kemudian di
tahun 1995 Wilson dan kawan-kawannya yang belum lahir atau di tahun 1965 masih
bayi merasakan perlakuan sama dengan apa yang dialami oleh generasi sebelumnya.
Bukankah keadaan seperti itu bisa terjadi karena larangan menghujat identik
dengan larangan mengkritik penguasa?
Hipokrisi, eufemisme, basa-basi canggih tapi kosong, "ya" yang tidak selalu berarti "ya", "tidak" belum tentu berarti "tidak" membudaya
pada elit penguasa dan kebanyakan politisi kita. Masyarakat terlatih berpikir
munafik: tidak ada penahanan, yang ada adalah pengamanan demi
kepentingan yang bersangkutan sendiri; tidak ada lagi buruh yang selalu
menentang majikan, yang ada hanyalah karyawan yang
bekerjasama dengan majikan dalam rangka hubungan industrial pancasila; tidak
ada lagi pemecatan, yang ada hanyalah phk. Tidak ada kenaikan
harga, yang ada hanyalah penyesuaian tarif, bla-bla-bla, bla-bla-bla. Tidak disadari lagi kita
terbiasa hidup dalam masyarakat sakit yang parah kejangkitan kemunafikan. Tidak
mengherankan kebusukan yang harus diangkat ke permukaan untuk dibersihkan
tuntas -- sekali dan untuk selamanya --, tetap saja
mendem jero, kebusukan itu tetap ada di tengah-tengah
kita. Kita hidup rutin bersamanya.
***
"Untung
Wilson masuk penjara!" Kata-kata seperti itu tentu tidak pantas diucapkan
terhadap orang yang sedang kena musibah seperti dialami Wilson. Tetapi saya
hanya meminjam kelakar jitu almarhum Gepeng, pelawak tenar
Srimulat yang berkata "untung ada saya!"
Untung ada Wilson, untung dia masuk penjara Cipinang, untung
dia alumnus ilmu sejarah dan sebelum ditahan banyak melakukan penelitian
sosial. Berkat itu semua, sekarang kita menjadi banyak tahu tentang
isi Penjara Cipinang yang minim dibeberkan terbuka kepada publik. Sebagai
seorang peneliti sosial, dia secara lugas mencatat apa yang dia
alami dan lihat sendiri, laporan-laporannya pun akurat bertanggal
masa kejadian. Di penjara Cipinang itulah dia jumpa orang-orang usia lanjut, segenerasi bapaknya bahkan juga kakeknya yang menunggu eksekusi
hukuman mati, vonis seumur hidup, atau sekarat menahun tetapi tetap dipenjarakan -- jangankan
dipulangkan, dibawa ke rumah sakit pun tidak.
Orang-orang lanjut usia itu adalah dari kategori apa yang disebut tahanan
G30S-PKI. Silakan membaca rentetan nama dalam kategori lansia itu dalam buku Wilson ini. Dia juga jumpa
tapol TimTim, antara lain Xanana Gusmao, Presiden Timor Leste sekarang, reformis
berani yang tidak ditolerir Suharto, Bintang
Pamungkas, tapol golongan Islam, kelompok-kelompok yang pada awalnya di tahun 1965 seiring-sejalan
dan mendukung jendral Orde Baru Suharto. Tetapi rupanya the founding father
rejim Orde Baru tidak bisa terima orang-orang berpikiran lain, "de andersdenkenden", mereka
pun akhirnya mendarat di penjara. Karena penjara Cipinang bukan khusus penjara
tahanan-politik, dengan sendirinya Wilson cs menjadi berteman juga dengan para
tahanan kriminal.
Yang sekarang
menjadi jelas bagi saya setelah membaca buku Wilson, kebijakan bersih lingkungan semasa 60-an dan 70-an rupanya
berlanjut terus dan mengimbas juga Wilson
cs, para intelektual muda yang ketika itu
bergabung dalam kekuatan alternatif PRD. Mereka merupakan kekuatan pontensial
penerus komunisme PKI yang sangat berbahaya, tentu
begitulah penilaian penguasa Orde Baru yang otomatis di-endorsed oleh banyak
inteligensia dan pers kita. Bahwa politisi dan inteligensia kita percaya dan
menerima mentah-mentah apa yang dikatakan Penguasa tidaklah mengherankan, karena dalam masyarakat berjalan proses pembodohan secara efektif
dalam bentuk penyeragaman berpikir dalam segala posisi dan dalam segala hal.
Praktek bersih lingkungan tetap berjalan konsisten, memang agak berbeda namun dalam esensinya apa yang dialami oleh Wilson berikut
kawan-kawannya ketimbang yang dialami tapol-tapol tua sebelumnya adalah tetap
sama. Keluarga pengurus teras PRD di pusat mau pun daerah rupanya ikut
terseret-seret mengalami musibah gara-gara anak mereka dianggap komunis berbahaya.
Budiman keluarganya didatangi Korem, orangtua Putut
di Purwokerto diinterogasi kasospol setempat, ibu Garda
Sembiring dijadikan tersangka, Petrus keluarganya diteror, keluarga para intelektual muda ini -- termasuk Dita Sari -- ikut
menderita akibat kebijakan bersih lingkungan khas rejim Orde Baru itu.
Hampir semua dari para tapol muda yang sebenarnya calon sarjana pada putus
kuliah, mereka dipecat oleh pimpinan universitas
yang dalam praktek sepenuhnya seragam menjalankan kebijakan
bersih-lingkungan pimpinan Orde Baru.
Menarik adalah
narasi Wilson
tentang pergaulan mereka sehari-hari di dalam penjara -- interaksi perorangan
dan kelompok yang berbeda pandangan, keserasian
yang secara wajar tumbuh di antara mereka yang berlainan keyakinan politik dan
ideologi. Hal ini saya anggap sebagai faktor plus di penjara, sesuatu yang positif dan produktif. Mereka saling lebih mengenal, saling tolong-menolong, Wilson bahkan membantu
beberapa tapol lansia menuliskan memoar masing-masing. Tumbuh solidaritas
sependeritaan, mereka lebih mengerti satu sama lain
meski berbeda pandangan. Sebenarnya "kakak generasi" Wilson sudah mengalami hal
yang sama duapuluh tahun sebelumnya. Di tahun 1974 rejim Orde Baru menjebloskan
ke dalam penjara para pemuda dan mahasiswa yang dituduh makar dalam Peristiwa
Malari. Faktor plus penjara ketika itu adalah bahwa mereka berkesempatan jumpa
dengan para tapol komunis yang oleh Penguasa dianggap sangat berbahaya. Mereka
sempat membaur dan dengan sendirinya sempat berdiskusi dengan Syam Kamaruzaman, Munir, Sudisman, Nyono, Supardjo, Subandrio, Omar
Dhani dan masih banyak lagi. Tapol-tapol muda itu jelas tidak menjadi komunis, akan tetapi bertambah kaya pengalaman, berwawasan lebih luas, matang
politik. Dan kematangan politik itulah membuat mereka sadar pada suatu
kenyataan, bahwa orang-orang yang semula dianggap musuh berbahaya, ternyata
sama sekali bukan musuh -- sebaliknya mereka dengan rasional menjadi tahu siapa
musuh mereka sesungguhnya yang harus dilawan bersama. Perkembangan positif yang
sama berlangsung juga dengan generasi yang lebih muda lagi, Wilson
dan kawan-kawan di Penjara Cipinang.
Tanpa Keppres, tanpa Undang-undang, tanpa DPR/MPR
dan tanpa elit pimpinan parpol, berlangsung
proses rekonsiliasi secara wajar antara mereka yang berbeda keyakinan
sebagaimana sudah lama diidam-idamkan masyarakat untuk hidup rujuk dalam alam
kerukunan nasional. Sudah tentu rekonsiliasi di dalam penjara dalam satu
komunitas terbatas dan juga wilayah terbatas, tidak bisa
berlangsung dengan sendirinya dalam masyarakat luas dan dalam kehidupan politik
di luar penjara di mana terdapat pihak yang berkuasa dan pihak yang dikuasai,
kwantitas tentu mempengaruhi kwalitas dengan warga-negara yang jumlahnya
melebihi duaratus juta orang. Jadi syarat apakah yang diperlukan untuk
mewujudkan rekonsiliasi yang betul-betul berjalan dan berfungsi, agar menjadi prilaku politik semua aktor dan kekuatan sosial
dalam masyarakat?
Pada akhir kajian
tentang buku Wilson
ini, saya ingin kembali kepada ucapan niat
luhur Jusuf Kalla untuk menyelenggarakan rekonsiliasi setelah pihak-pihak
bersangkutan cukup lama sejak 1965 berseteru berhadap-hadapan.
***
Kita lihat banyak
inisiatif positif dilakukan oleh perorangan mau pun lembaga-lembaga seperti LSM
untuk mewujudkan rekonsiliasi nasional. Anak-anak korban G30S dan anak-anak
para Pahlawan Revolusi telah memberikan contoh konkret, mereka mengubur masa lalu dan sepakat bersama mau membangun masa
depan yang lebih baik dalam semangat rekonsialisi sejati. Ada yang bergabung dengan kelompok anak-anak
korban tersebut, dan berpikir sejalan dengan seruan
Kennedy "forgive but never forget", sikap seperti
itu pun bolehlah kita terima sebagai sikap positif. Ada pula yang mengatakan "tunggu dulu, jangan gampang-gampang saja menuntut rekonsiliasi. Harus lebih
dulu dilakukan katarsis total, fisio -- mau pun
psycho-catharsis", komplet pembersihan soul and mind, rohani dan pemikiran. Yang berpendapat seperti itu biasanya
menganggap pihak lain yang harus membersihkan diri, sedangkan dirinya sendiri tak perlu mawas-diri karena merasa
tidak punya kesalahan apa-apa, melainkan hanya jadi korban semata-mata.
Walau tuntutan katarsis seperti itu cuma lalu-lintas searah, itu pun boleh saja kita perhatikan untuk dikaji dan ditemukan
pemecahan permasalahannya.
Namun inti permasalahan
rekonsiliasi bukan terletak di situ. Terwujudnya rekonsiliasi nasional pasti
tidaklah cukup hanya dengan segudang niat baik, tidak
cukup hanya dengan katarsis jiwa dan pikiran oleh satu pihak atau pun kedua
pihak yang berhadapan, juga tidak cukup dengan banyaknya
inisiatif perorangan atau kelompok. Realisasi rekonsiliasi bukan semata-mata
urusan perorangan yang memiliki niat baik, tetapi
rekonsialisi paling hakekat adalah masalah kekuasaan -- lebih dipertajam lagi :
masalah watak kekuasaan yang mutlak harus memiliki kemauan politik tegas
untuk menegakkan hukum.
Orang-orang di Indonesia
yang mendambakan rekonsiliasi nasional telah kontan-kontan nyontek rekonsiliasi
yang terjadi di Afrika Selatan. Tetapi orang-orang dengan niat luhur ini
mengabaikan sama sekali satu faktor sangat penting, yaitu bahwa syarat menentukan untuk berhasilnya rekonsiliasi itu
memang tersedia di Afrika Selatan, sedangkan di Indonesia
sama sekali tidak. Di Afrika Selatan telah terjadi perubahan kekuasan secara
kwalitatif, suatu metamorfosa signifikan terjadi
dalam watak kekuasaan, yaitu : peralihan resolut radikal dari kekuasaan
apartheid de Clerck ke kekuasaan anti-diskriminasi Nelson Mandela. Kekuasaan
reaksioner represif beralih ke tangan kekuasaan berwatak progresif. Itulah yang
saya namakan perubahan kwalitatif.
Bagaimana di
Indonesia? Adakah terjadi perubahan? Betul, Suharto sudah
turun pentas tetapi
kekuasaannya -- lebih tepat watak-kekuasaanya -- sama sekali tidak berubah,
bahkan seluruh aparat lama Suharto masih tetap utuh, in tact.Watak kekuasaan
Suharto sejak dari awal mulai1965 dengan berencana mengobrak-abrik kerukunan
nasion, etnik dan agama yang dibangun oleh Bung Karno. Sampai hari ini pun
tidak terjadi perubahan kwalitatif sama sekali, bahkan banyak dari warisan
Suahrto dengan sadar mau dipelihara dan dilestarikan. Perubahan yang ada
hanyalah pada kulit di permukaan saja.
Setelah Perang
Dunia II beralih menjadi Perang Dingin, kita saksikan "dunia bebas"
menggunakan "komunis" sebagai bahan-bakar penyundut untuk membenarkan
penggunaan senjata melawan momok yang sangat menakutkan dunia itu. Kita lihat
apa yang telah terjadi dengan Vietnam
dan "teori domino" McNamara di masa lalu, tetapi di sana
"dunia bebas" gagal total, sebaliknya di Indonesia mereka berhasil gilang-gemilang.
"Dunia bebas" yang mempunyai basis kuat di Indonesia sukses menggulingkan Bung
Karno dengan bahan-bakar bahaya komunis yang sama. Sekarang bahan-bakar
penyundut agak menggeser, di samping komunisme kini terdapat juga bahaya baru :
teror Islam fanatik. Kita lihat sekarang, Indonesia terimbas terorisme
sehingga harus melawan terorisme itu, akan tetapi di samping itu masih saja
sistematis kita dengar : "awas bahaya latent komunis jangan sampai
dilupakan!" Kita sudah total sama dan sebangun, sepikiran sebahasa dengan
Amerikanya-Bush. Apa lagi bedanya dengan Bushnya-Amerika? Apa yang dianggap
bahaya oleh Bush, menjadi juga bahaya bagi Indonesia. Indonesia masakini bukanlah lagi Indonesianya
Bung Karno, sadar atau tidak sadar bulat-bulat Indonesia sekarang bernaung bersama
"dunia bebas".
(Menyimpang
sebentar : Saya sengaja menyebut Amerika dengan Amerikanya-Bush, karena tidak
mau me-jeneralisasi Amerika seluruhnya jelek [the ugly America]. Di Amerika cukup banyak
terdapat orang Amerika yang baik, unsur-unsur yang bisa dinamakan the New
Emerging Forces Amerika. Akan tetapi kentara jelas sekali bahwa The Old
Established Forces di Amerika Serikat masih sangat dominan.)
Kita memerlukan
kajian psycho-history untuk membaca peta politik nasional dan internasional
secara jernih guna membebaskan diri dari segala warisan konflik yang serius mau
pun yang artifisial. Tewasnya lebih dari 3.000 manusia tak bersalah dalam
kekerasan terkutuk 9/11 terhadap gedung WTC New York, menjadi
"berkah" bagi Bush karena dia merasa mendapatkan alasan sah untuk
meng-invasi Irak -- lalu dia pun mau menegakkan demokrasi bagi rakyat Irak. Apa
yang kemudian terjadi adalah kekerasan tidak henti-hentinya yang menelan ribuan
korban rakyat Irak. Misi Bush berkelanjutan terus sampai hari ini tanpa kita
tahu kapan akan berakhir. Empatpuluh tahun sebelumnya, Suharto pun mendapat
"berkah". Gugurnya jendral Yani cs, para pahlawan revolusi kita dalam
kekerasan terkutuk di tahun 1965 menjadi "berkah" bagi Suharto yang
dipakai sebagai alasan sah untuk membantai dan memenjarakan berjuta warga
Indonesia yang tidak sepaham dengan dia guna membuka jalan ke tampuk kekuasaan
tertinggi. Lantas Suharto pun mau menegakkan demokrasi pancasila yang murni dan
konsekwen. Jenazah jendral Yani cs yang patut dihormati, dimanfaatkan
oleh jendral Suharto sebagai tempat berpijak untuk mengangkat dirinya ke puncak
kekuasaan. Suharto tidak pernah menghormati para jendral yang gugur sebagaimana
mestinya selain demi kepentingannya sendiri. Selama tigapuluh tahun berkuasa, ahli-waris
para jendral yang gugur pun tidak pernah dia urus atau perhatikan.
Dan hari ini para
pendukung Suharto di era reformasi lagi-lagi memanfaatkan "berkah"
berupa warisan ingatan bahaya komunis yang ditinggalkan Suharto. Warisan dendam
yang terus dipupuk agar hidup subur selama-lamanya. Sekali lagi timbul
pertanyaan: lantas apa bedanya Indonesia
dan Bushnya-Amerika -- dulu ada bahaya komunis untuk tidak dilupakan
selama-lamanya, sekarang ada bahaya Islam fanatik yang harus dibasmi dengan
tuntas. Di lain pihak, para anggota PKI dan pendukung Soekarno yang langsung
atau tidak langsung tidak ada urusan apa-apa dengan G30S, mereka pun punya
warisan ingatan bagaimana orangtua dan sanak-saudara mereka dipenjarakan dan
dibantai. Mereka pun tidak pernah akan lupa bagaimana Bung Karno dipenjarakan
di Wisma Yaso sampai pada akhir hayatnya. Bedanya dengan para pendukung Orde
Baru, mereka yang terimbas peristiwa G30S menjadi underdog dalam masyarakat dan
tidak mampu berinisiatif apa-apa kecuali berusaha bisa tetap eksis dan survive
dalam hidup sehari-hari.
Dari gambaran
yang dipaparkan di atas kita lihat betapa pelik dan rumit situasi yang kita
hadapi untuk menyelenggarakan suatu rekonsiliasi nasional yang betul-betul
workable -- berfungsi efektif dalam masyarakat, menjadi prilaku kita berbangsa
dan bernegara.
Prakarsa
anak-anak Yani dan Aidit dengan maksud luhur dan tujuan baik jangan menjadi
hanya terbatas semacam silahturahmi "kita-sama-kita", sebuah klub
onder onsje, tidak lebih luas gemanya dari sebuah pertemuan arisan. Kendala
paling serius untuk rekonsiliasi justru datang dari kubu para pendukung Orde
Baru yang dengan sadar memelihara, bahkan menyubur-nyuburkan "warisan
ingatan konflik", warisan ingatan bahwa PKI dan komunisme berbahaya,
walau pun sekarang sudah hadir pula bahaya Alqaeda, kekuatan Islam fanatik.
Padahal yang disebut warisan ingatan berbahayanya komunisme, tidak lain adalah
sebuah abstraksi, rekayasa yang diterima dan dianggap sebagai kebenaran, bahkan
dianggap sebagai kenyataan. Dalam kenyataan kita lihat bahwa kekuatan Orde Baru
yang melawan "bahaya komunisme" itu (juga kekuatan Bush-nya Amerika
yang mau menegakkan demokrasi di Irak), dalam praktek telah menghasilkan
warisan kemiskinan, kesengsaraan, pembodohan, korupsi, pembantaian dan
pemenjaraan warga Indonesia
berjuta lipat-ganda daripada korban yang jatuh pada 30 September -- 1 Oktober
1965. Demi terus mempertahankan kenikmatan kekuasaan dan kekayaan yang diraih
selama tigapuluh tahun, maka warisan ingatan yang rancu itu oleh para pewaris
Orde Baru terus dibakukan, dipupuk, dipelihara dan dibesar-besarkan.
Jadi bagaimana
mau menyelenggarakan rekonsiliasi? Legitimasi kekuasaan negara di tangan
lembaga eksekutif dan legislatif berikut perundang-undangan memang merupakan
pra-sarana yang diperlukan untuk menyelenggarakan rekonsiliasi nasional, tetapi
semua pihak yang terlibat terlebih dulu mutlak menyadari dan harus tahu
menangani duduk- soal dari seluruh masalah yang dihadapi.
Menangani duduk-soal yang dimaksud tidak lain adalah pembenahan lebih dulu
kerancuan kerangka berpikir selama ini mengenai rekayasa warisan ingatan
tersebut. Warisan ingatan apa pun yang ada dalam benak setiap warga Indonesia,
apalagi warisan ingatan sebuah abstraksi yang direkayasa, adalah sulit untuk
dihapus. Oleh karena itu, yang harus jelas terlebih dulu bagi semua orang
adalah bahwa rekonsiliasi bukanlah bahwa pihak-pihak yang berseteru
politik harus menghapus warisan ingatan konflik mereka, bahwa yang berseteru
politik harus bersalam-salaman dan rangkul-rangkulan, harus melakukan katarsis
dan sebagainya.
Rekonsiliasi
dalam inti dan pada hakekatnya adalah MENEGAKKAN HUKUM! Ini berarti bahwa
institusi Pengadilan yang jujur dan adil mutlak harus menghukum orang yang
bersalah, menghukum orang yang jelas-jelas terbukti melakukan tindak pidana
hukum. Jadi sekali-kali tidak menghukum orang-orang yang tidak melakukan tindak
pidana hukum -- tidak ada dalam hukum apa yang disebut dosa-kolektif. Selama ini
dan sampai hari ini, tigapuluh-delapan
tahun lamanya berlangsung situasi hukum seperti itu di Indonesia.
Buku bung Wilson,
dan buku-buku lain seperti "Menggelapkan Sejarah" oleh Harsutejo,
memoar "Perjalanan Hidup Saya" oleh Umar Said (refugee poltik yang
terdampar di Paris), dan masih banyak lagi buku-buku lain dengan tema yang sama
mengenai pengalaman penjara dan pembuangan politik, saya mengharapkan agar
mengajak kita semua berpikir mengenai rekonsiliasi, mengenai menegakkan hukum
dan bukan melestarikan penyelewengan hukum atau impunity. Bahwa perlu
diberlakukan amnesti nasional itu adalah masalah lain.
Jakarta, Oktober 2004