Soekarno dan Pancasila masih tetap memimpin Indonesia masakini


Soekarno dan Pancasila masih tetap memimpin Indonesia masakini

Peter Dale Scott

Uraian di bawah ini ditulis oleh Peter Dale Scott khusus untuk ikut meraya­kan Peringatan Seabad Bung Karno. Profesor Peter Dale Scott adalah seorang mantan diplomat Kanada dan juga seorang penyair, kini men­jadi pengajar sastra Inggris di Universitas Berkeley. Dia dikenal di Indo­nesia dengan hasil kajiannya tentang kon­spirasi CIA bersama klik militer Suharto dalam penggulingan Presiden Soekarno pada tahun 1965. 
    Tentang Pancasila Bung Karno, ke­­pada editor Hasta Mitra ia menulis: “.... I must say it was inspiring to read Soekarno's speech, which carries a very rich intellectual content.” Menurut Peter Dale Scott, Pancasila tetap valid bukan saja buat Indonesia, tetapi juga bagi Dunia – ed.

Pada saat Indonesia sekarang ini mengalami lagi krisis kepemim­pinan nasional, sangatlah berguna mengenang kembali pemi­kir­an nation-building Soekarno. Seperti juga Nehru di India, U Nu di Birma, Soekarno merupakan bagian dari suatu arus baru mun­cul­­nya pemimpin-pemimpin pasca-imperialist yang men­janji­kan suatu dunia dengan fondasi dan arah baru dalam membenahi dunia seusai Perang Dunia ke-II. Kini, pada saat harapan di tahun-tahun semasa Soekarno seakan sedang menyusut di mana-mana, kepemimpinan dan pencerahan Soekarno yang istimewa itu tetap masih bermanfaat untuk bangsanya mau pun bagi dunia.
     Tantangan bagi para pemimpin Dunia Ketiga adalah meme­lihara persatuan mereka sebagai nasion sesudah tentara penjajah angkat kaki, dan memberdayakan rakyat-rakyat mereka yang sekian lama tidak dipenuhi kebutuhannya, selanjutnya juga membuat rakyat yang kurang berpengalaman agar memiliki rasa tanggung-jawab.
     Melihat ke belakang di masa-masa lalu, prestasi Soekarno nampaknya luar biasa, walau pun tidak selalu hasil-hasil itu terjamin kelestariannya. India terpecah dan kebanyakan negeri-negeri Asia Tenggara mengalami pemberontakan parah atau perang saudara yang berkepanjangan. Tetapi Soekarno dengan kombinasi ajarannya, kepemimpinannya dan kharisma pribadinya, mampu memelihara persatuan dan kesatuan Indonesia hampir sepanjang zamannya. Yang terjadi hanyalah gangguan-gangguan bawaan berupa kekerasan relatif kecil yang lazim terjadi di tempat-tempat lain di kawasan itu, hal-hal itu terjadi bersamaan pada saat negeri-negeri kerajaan sebagai penjajah terpaksa di sana-sini melakukan penyesuaian.
     Soekarno dalam menerapkan kepemimpinannya menghadapi tantangan besar dari dalam dan luar negeri. Untuk menghindari perpecahan antara kekuatan religius dan sekuler -– yang masih mengganggu tetangganya di Filipina -– Soekarno pada tahun 1945 mengucapkan pidatonya yang termasyhur: Pidato Pancasila. Di situ dia mem-balans kekuatan nasionalisme, humanisme, dan demokrasi-permufakatan dengan beriman kepada Tuhan Yang Maha Esa. Dengan cara itu ia memberlakukan toleransi kemanusiaan di suatu negeri yang didominasi oleh kaum Muslim, suatu prestasi yang sangat berhasil dan tetap masih valid di Indonesia walaupun menghadapi berbagai tantangan dan kegagalan berkali-kali. Kenyataan ini tidak ada duanya, bila dibandingkan dengan negeri Muslim di mana pun di dunia.
     Sungguh luar biasa –- bahkan setelah penggulingan Soekarno –-, musuh-musuhnya di kalangan militer Orde Baru tetap terpaksa secara munafik mengunyah-ngunyah Pancasilanya Soekarno. Kenyataan seperti itu rada memudahkan para pembela Pancasila sejati -– seperti PDI sekuler pimpinan anak Soekarno, Megawati Soekarnoputri, dan golongan Islam dari Nahdatul Ulama –- untuk diam-diam bekerja­sama me-restorasi demokrasi pada saat kekuatan Suharto melemah. Bahkan Golkar, manifestasi basis kekuatan Suharto, harus meng­emban komitmen untuk mewujudkan tujuan-tujuan Pancasila. Jadi, dalam arti sesungguhnya dan dalam kenyataan konkret, Soekarno dan Pancasila masih tetap memimpin Indonesia masakini.
     Pancasila memberikan suatu point of no return –- tidak ada jalan mundur selain maju ke depan –- bagi persatuan dan kesatuan nasional Indonesia, sebagaimana juga Konstitusi Amerika menjadi point of no return setelah bencana perang saudara Amerika yang mengerikan (dan sebenarnya belum pernah usai secara tuntas). Orang di Amerika pun berharap kata-kata bersayap Roosevelt tentang The Four Freedoms (Empat Kebebasan) juga sama menjadi point of no return setelah usai Perang Vietnam. Tetapi sekarang orang sudah jarang mendengar tentang Empat Kebebasan Roosevelt itu, kecuali dari mereka yang ingin menunjukkan betapa Amerika sudah jauh melèncèng dari cita-cita Roosevelt itu. Kebalikannya sangat kontras: Pancasila malah masih kiprah berkembang terus. 
     Toleransi kemanusiaan Soekarno mempersembahkan suatu dasar program politik tentang bagaimana harus memimpin negara dan bangsa, bukan saja bagi Indonesia tetapi bagi semua negeri Dunia Ketiga. Dimulai dari Konperensi Kolombo 1954 dan berlanjut ke Kon­perensi Bandung 1955, cara pendekatan dan appeal pribadi Soekarno merangkul suatu front yang luas, telah memberikan sumbangan besar bagi bangsa-bangsa Asia-Afrika untuk menyadari akan kekuatan yang dimilikinya. Soekarno juga membantu menye­lesaikan berbagai problema penting dalam macam-macam masalah yang bisa mengeruhkan dan secara serius berhasil memecah problema  hubungan-hubungan Indonesia-Tiongkok.
     Apa yang dibangun dan dicapai oleh Soekarno itulah yang menye­bab­kan Soekarno atau siapa pun, tidak mungkin menyelesai­kan ketegangan yang meningkat antara Indonesia yang merdeka dengan Amerika Serikat. Amerika Serikat memang senang mendu­kung kemerdekaan Indonesia lepas dari Belanda, bahkan membantu memulihkan kembali Irian Barat yang terpisah ke dalam wilayah kesatuan Indonesia di tahun 1961. Tetapi politik Amerika, lebih-lebih di bawah Dulles bersaudara, kemudian mengembangkan suatu sikap yang tambah lama tambah tidak toleran terhadap Soekarno, itu gara-gara Soekarno melancarkan politik bebas aktif tidak berpihak dalam usahanya untuk hidup damai dengan semua kekuatan adikuasa di dunia yang terpecah ini.
     Dari instruksi pertama Menlu John Foster Dulles kepada Duta Besar Amerika di Indonesia di tahun 1953 menjadi jelas, bahwa Dulles mengingini dihentikannya sikap Indonesia yang condong kepada komunisme. Operasi rahasia CIA untuk menggarap Indonesia lalu disahkan dan diberi wewenang resmi, selanjutnya mulai diterapkan pada tahun berikutnya. 
     Soekarno dan banyak pemimpin Indonesia lainnya mencurigai CIA mem­bantu pemberontakan Darul Islam di Aceh yang terus membesar, suatu kawasan di mana terdapat investasi besar minyak Amerika Serikat. Adalah sesuatu yang pasti bahwa CIA bersama perusahaan-perusahaan Amerika, aktif mendukung pemberontakan lain yang lebih luas lagi, yaitu pemberontakan PRRI-Permesta melawan pemerintahan pusat di Jawa. Di saat itulah, Soekarno mengambil dua langkah penting, tetapi dua-duanya pada akhirnya diguna­kan untuk menjatuhkannya. 
     Pertama adalah demokrasi terpimpin dalam bulan Oktober 1956. Penolakan Soekarno atas dominasi mayoritas parlemen (DPR), asal-usul pembenarannya terdapat dalam pemikiran tradisional Indonesia, juga pada konsep praktek pendidikan Taman Siswa, dan dalam semangat musyawarah-mufakat Pancasila. Sejak 1956 menjadi sangat jelas bahwa sistem parlementer Barat memiliki kelemahan. Tetapi demokrasi terpimpin gagal memberikan pertanggungan-jawab publik dalam peralihan proses institusional untuk mengganti­kan sistem parlementer Barat itu. Legitimasi pemerintahan tambah lama tambah terfokus pada Soekarno sebagai pemimpin. Di sekeliling Soekarno, parpol-parpol yang tak habis-habisnya berdebat kemudian berubah menjadi klik-klik yang berintrik tak habis-habisnya pula. Kaedah-kaedah proses hukum dan keuangan, tak pernah sempat terjamin dalam kehidupan bernegara, dan ketidak-tertiban tambah lama tambah meningkat. Sampai sekarang pun keadaan seperti itu masih terus diwarisi.
     Inisiatif Soekarno kedua yang penting adalah memberlakukan SOB (keadaan darurat perang) pada bulan Maret 1957. Ini adalah suatu taktik menghadapi pemberontahan PRRI-Permesta. Dalam jangka pendek deklarasi SOB itu sukses untuk menumpas pembe­rontakan, tetapi mulai menyusupnya militer dalam pentas politik, ekonomi dan kehidupan sosial, di belakang hari membuktikan bahwa kebablasan itu sudah tidak bisa diubah lagi.
    Dengan munculnya dua fenomena itu -– demokrasi terpimpin dan SOB -– maka keaneka-ragaman dan pluralisme Indonesia yang tradisional mulai pecah-belah. Dalam alam demokrasi terpimpin yang sebenarnya bagi parpol-parpol tidak pernah dirasakan nyaman, dominasi PKI menjadi terus meningkat. Parpol-parpol kanan terpacu meningkatkan kerjasama konspiratif dengan tentara. Pola­risasi ini dengan sadar disambut baik oleh Amerika Serikat dan CIA, dan di atas segalanya CIA terutama memperluas kontak-kontak mereka dengan angkatan darat Indonesia.
     Jadi, dengan demikian tata-letak panggung untuk pertarungan besar 1965 sudah disiapkan, yaitu tipuan khianat kup militer yang dibantu CIA. Kemudian segenap lima sila Pancasila sementara dilupakan dalam masa pertum­pahan darah terorganisir yang mungkin berlang­sung pa­ling kejam, dan yang tak pernah terjadi di mana pun dunia setelah Perang Dunia ke-II.
     Lantas debat berkepanjangan terus berjalan untuk mencari kambing hitam siapa berdiri di belakang peristiwa September 1965. Apakah harus kita persalahkan perpecahan tak henti-hentinya dan kekerasan tersembunyi yang ada dalam budaya Indonesia, sebagaimana dikatakan oleh para pakar Amerika? Ataukah harus kita tuding peran Amerika Serikat dan kekuatan asing lainnya dalam menyiapkan apa yang terbuka dikatakan seorang pejabat CIA sebagai: “likwidasi kekuatan politik ... tentara” komunis? 
     Semua kekuatan yang pernah aktif bergerak semasa dua dekade kepemimpinan Soekarno, sampai sekarang masih ikut menyumbang pada krisis yang sedang berlangsung masakini. Kesatuan dan persa­tuan nasional terancam seperti di tahun 1945, di satu pihak oleh gerakan separatis kedaerahan dan juga oleh sementara kekuatan Islam yang fanatik ngotot menganggap Indonesia dengan mayoritas muslim seharusnya menjadi Negara Islam. Gerakan fanatik itu bahkan juga memecah golongan Islam sendiri.
     Di lain pihak, dua warisan ­-– pertumpahan darah 1965 dan berlanjutnya kekuasaan militer Orde Baru -– menghambat proses keterbukaan politik untuk menyelesaikan krisis, untuk mengatasi masalah perpecahan dan berbagai masalah lain yang membahayakan Repu­blik. 
     Sekarang masih saja terus hidup suatu nostalgia agar Indonesia kembali pada pola militer guna memaksakan stabilisasi keamanan dan ketertiban, nos­tal­gia yang kadang-kadang didengung-dengung­kan secara mengerikan oleh pers Amerika. Jelas sekali sekurang-kurangnya berbagai peristiwa perpecahan dan kekerasan yang terjadi dua tahun bela­kangan ini –- terutama terhadap orang-orang keturunan Tionghoa –- telah dijadikan pola untuk berdalih diperlu­kan­nya intervensi militer baru.
     Berbagai problema ini betapa pun seriusnya, hendaknya jangan sampai membutakan mata kita terhadap hasil prestasi Soekarno yang abadi. Indonesia tetap survive sebagai nasion yang bersatu, sekali pun terdapat keragaman budaya yang tiada bandingnya di atas planet kita ini. Walaupun belum sempurna, wawasan Soekarno menguasai masa depan politik dan ekonomi Indonesia. Di tahun limapuluhan kebanyakan orang mungkin tak percaya bahwa justru sekarang ini wawasan Soekarno mempunyai peluang lebih besar untuk direalisasi.
     Paling penting adalah bahwa para pendukung Pancasila dan proses politik harus mampu mewujudkan suatu peralihan relatif damai dari kediktatoran militer ke suatu masyarakat yang lebih terbuka, dengan esensi suatu pemilihan umum yang bebas. Realisasi proses politik seperti itu akan mempermalukan orang-orang pessimis yang selalu meramal bahwa proses itu tidak mungkin bisa terjadi.
     Konsensus politik antara golongan menyangkut Pancasila dan proses politik menuju ke masyarakat terbuka, menjadi titik temu yang baik untuk disepakati bersama daripada mencari konsensus di bidang-bidang lain yang di dalamnya masih saja terdapat perbedaan pandangan yang tajam. Seperti misalnya mengenai masalah syariat dan negara Islam, masalah ekonomi dalam hubungannya dengan IMF, atau masalah diskriminasi terhadap keturunan Tionghoa. Bila masalah-masalah itu sekarang agak berkurang gawatnya ketimbang dua tahun yang lalu, maka itu semua adalah berkat Pancasila. Kita harus antusias menyambut Pancasila karena berkat jasa Pancasila, Indonesia mampu memper­tahankan kelangsungan hidupnya melewati berbagai krisis yang berkesinam­bungan, dan dengan pertumpahan darah yang minim (meski masih cukup banyak jumlah korban daripada apa yang kita harapkan terjadi). Juga kita harus serius mengamalkan Pancasila, karena situasi krisis sekarang masih cukup gawat –- tanpa Pancasila keadaan malah bisa bertambah parah. Hal-hal ini mem­punyai makna tersendiri bila dibandingkan dengan sejarah mutakhir yang dialami tetangga-tetangga Indonesia. Apa yang dicapai Republik Indonesia, dua-duanya: Pancasila dan proses peralihan ke masyarakat terbuka, berikut segenap masalah yang tercakup di dalamnya, merujuk pada satu tujuan yang sama.
     Dalam memperingati seabad kelahiran Soekarno, patut sekali kita akui peranannya sebagai Pembangun dan Pemersatu utama Negara Indonesia. Lebih penting lagi, Pancasila sebagai pemikiran Soekarno paling cemerlang, sekali lagi harus diakui dan ditegas-tegaskan kembali agar ia menjadi dasar kontrak Republik Indonesia, ilham serta sumber terbaik untuk melakukan pembaharuan.***

related post
Soekarno dan Pancasila masih tetap memimpin Indonesia masa kini
Sukarno
Amanat Presiden Soekarno "Tahun Vivere Pericoloso"
Yo sanak yo kadang yen mati malah aku sing kelangan
PANCASILA Pidato Bung Karno 1 Juni 1945
Ajaran Bung Karno
Penggulingan Presiden Soekarno
Soekarno Bapak Indonesia Merdeka
Pidato Bung Karno pada Kongres Baperki VIII
Bung Karno Korban Perang Dingin USA vs USSR
DEKON-Deklarasi Ekonomi Pidato Presiden Republik Indonesia Sukarno
Aliran sesat, bejat, dan bobrok terhadap  Sukarno
Demokrasi Terpimpin
Demokrasi Terpimpin Soekarno
Peninggalan Bung Karno dan kajian biografinya