Tiga Menguak Orde Baru

Tiga Menguak Orde Baru

Bonnie Triyana & Max Lane

Pada 20 April 2004, dalam sebuah malam gala yang diadakan di sebuah hotel bintang lima di New York, American PEN Center bersama Asosiasi Penerbit Seluruh Amerika menghormati seorang penerbit Indonesia, Joesoef Isak, dengan menganugerahkan penghargaan Jeri Laber Freedom to Publish Award.
      Penghargaan ini diberikan kepada Joesoef Isak sebagai pengakuan atas kerjanya yang dianggap amat berani selama dua dekade terakhir masa pemerintahan diktator Soeharto di Indonesia. Pada 21 Maret 2005 Joesoef kembali menerima lagi penghargaan dari Australian PEN, dan pada tahun yang sama 16 Desember 2005 kali ini ia dianugerahi penghargaan bersama Goenawan Mohamad, Wertheim Award dari Stichting Wertheim di Belanda. Joesoef dinilai sebagai tokoh yang secara terus menerus memerjuangkan kebebasan berpendapat.
      Penghargaan demi penghargaan diberikan kepada Joesoef Isak atas seluruh jasanya memerjuangkan kebebasan berekspresi di negeri ini. Terakhir Duta Besar Prancis untuk Indonesia, Renaud Vignal, atas nama Pemerintah Republik Prancis pada 21 September 2006 memberikan tanda penghargaan Chevalier dans l’Ordre des Arts et des Lettres kepada Joesoef Isak.
     Ironisnya Joesoef yang oleh rezim Soeharto dicap kiri komunis, justru dapat penghargaan dari “negeri-negeri imperialis”, tidak ada dari pemerintah atau institusi resmi Indonesia. Tetapi Joesoef bangga mendapat piagam dari pemuda dan mahasiswa (SMID) yang mengakui sumbangannya bersama para pejuang lainnya dalam gerakan menumbangkan Soeharto. Sejarah mencatat bahwa Joesoef Isak bukan hanya seorang penerbit yang pemberani, tetapi juga seorang penerbit di garis terdepan dalam perang gerilya kebudayaan untuk memenangkan kembali bagi generasi muda Indonesia sejarah yang terenggut dari mereka, sejarah yang telah dicuri dari mereka selama 32 tahun masa pemerintahan diktator.
      Joesoef Isak adalah satu dari tiga orang yang mendirikan perusahaan penerbitan Hasta Mitra pada 1980. Ketiga orang itu adalah bekas tahanan politik yang masing-masing telah dipenjarakan setidaknya selama sepuluh tahun di bawah rezim diktator Soeharto, dan ketiga-tiganya adalah cendekia terkemuka, penerbit, serta wartawan sebelum mereka ditahan. Saya mulai mengenal ketiganya saat menerjemahkan Bumi Manusia karangan Pramoedya. Sesudah itu saya juga menerjemahkan Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah dan Rumah Kaca.
      Joesoef Isak lahir di Kampung Ketapang, Jakarta Pusat pada 1928. Ayahnya bekerja di kantor telegraf Inggris di Pasar Baru Jakarta. Isak memulai pekerjaannya sebagai wartawan di Berita Indonesia, surat kabar republikein pertama yang didirikan oleh beberapa tokoh pers nasional, antara lain S. Tahsin. Pada 1949 BM Diah membeli Berita Indonesia dan menggabungkannya dengan koran Merdeka yang berdiri sejak 1 Oktober 1945. Otomatis Isak pun jadi wartawan koran Merdeka dan merintis karier di sana hingga mencapai posisi Pemimpin Redaksi.
 ***

Pendirian Hasta Mitra, yang berarti “tangan sahabat” (hands of friend­ship) dan penerbitan novel-novel Pramoedya merupakan tindakan penuh keberanian sekaligus merupakan pemberontakan terhadap pe­nguasa militer yang kemungkinan besar amat sulit maknanya dipa­hami kebanyakan orang sekarang ini. Joesoef, Pramoedya dan seorang lainnya, Hasjim Rachman, semuanya ditahan tanpa surat penahanan atau proses pengadilan, pada 1965. Joesoef ditahan beberapa kali an­tara 1965 hingga 1968 di rumah tahanan kesatuan-kesatuan intel yang bergerak sendiri-sendiri, tetapi akhirnya pada 1968 dia dijebloskan ke Penjara Salemba hingga 1977. Mereka adalah tiga dari ratusan-ribu orang yang dianggap kiri dan langsung ditahan sudah sejak awal Oktober 1965–1966. Salah satu Jenderal Angkatan Bersenjata, Soeharto, telah mengambil alih kekuasaan politik setelah terjadinya pemberontakan yang dilakukan oleh para petinggi militer pro-komunis dan pro-Soekar­no. Soeharto kemudian melancarkan perang terhadap orang-orang Kiri di Indonesia, target utamanya adalah pendukung-pendukung Soekarno.
      PKI dan organisasi massanya, juga sayap kiri dari PNI, telah menjadi semakin berpengaruh dalam dekade terakhir sebelum 1965, dan Soeharto memutuskan teror yang ia jalankan haruslah benar-benar total. Lebih dari 500.000 dan bahkan kemungkinan besar 2 juta orang dibantai. Ini tergantung pada laporan mana yang dipercayai seseorang. Joesoef, Pramoedya dan Hasjim adalah beberapa dari sekitar 15.000 orang yang “selamat”, survive, setelah dijebloskan di penjara antara sepuluh hingga 14 tahun.

Pada 1979 kelimabelas ribu orang ini dibebaskan dari penjara, tapi propaganda menentang pendukung Soekarno dan batasan-batasan yang mengekang ex-tapol tidak dikendorkan. Rezim Soeharto me­ngen­dalikan pers dan sekolah-sekolah dan melalui dua institusi ini, semua pendukung Soekarno, termasuk PKI dan simpatisannya, dikambinghitamkan. Propaganda rezim Soeharto mengidentikkan Kiri dengan kekejaman yang tidak berperikemanusiaan. Sebagai salah satu contoh adalah propaganda tentang mutilasi dari organ vital para jenderal yang terbunuh oleh para perempuan dari gerakan wanita Indonesia – sebuah tuduhan yang bulat-bulat bertentangan dengan laporan resmi otopsi oleh team kedokteran Angkatan Bersenjata sendiri.
       Mereka menjadi kambinghitam sejarah Indonesia, dan cerita resmi yang dikeluarkan pemerintah mengatakan bahwa ratusan ribu orang Kiri yang tewas pada 1965 dan 1966 dibunuh oleh tangan masyarakat awam yang mengutuk dan membenci “setan iblis” ini. Tentu saja, ini amat berkebalikan dengan kenyataan sesungguhnya. Pembunuhan massal dilakukan oleh Angkatan Darat, seringkali bekerjasama dengan kelompok pemuda yang kebanyakan berafiliasi dengan partai politik anti komunis.
      Tahun 1980 setelah lebih dari sepuluh tahun mendekam di penjara, dijauhkan dari masyarakat “baru” yang diciptakan oleh rezim diktator Soeharto, Joesoef, Pramoedya, dan Hasjim menjadi orang asing di negerinya sendiri, dikatakan sebagai musuh yang dibenci masyarakat. Sebagaimana semua tahanan politik, ketiganya diberi KTP khusus, ditandai dengan huruf-huruf ET, singkatan dari “Eks Tahanan Politik”. Mereka dilarang keras bekerja pada instansi pemerintah apa pun, juga yang dianggap perusahaan vital seperti perusahaan transpor, listrik, telkom dan pertambangan seperti misalnya Pertamina. Bekerja pada mass-media dilarang dengan ketat, juga majalah dan persuratkabaran dilarang menerima tulisan mereka. Mereka “bebas” dengan bermacam-macam restriksi, alias tetap jadi tahanan di luar penjara.
      Didirikannya Hasta Mitra dan penerbitan novel pertama Pramoedya, Bumi Manusia pada 1980 bukan hanya tindakan pertama yang menentang terbuka rezim Soeharto dan juga terciptanya suatu atmosfir yang khas, tapi ini juga merupakan tindakan satu-satunya yang dilakukan oleh para mantan tahanan politik secara terbuka. Joesoef, Pramoedya dan Hasjim merupakan para pejuang di garis terdepan dan mereka terus berada di garda terdepan dalam pertempuran ini hingga kejatuhan Soeharto pada 1998.

Pramoedya adalah penulis yang karya-karyanya menjadi bagian utama dari program penerbitan Hasta Mitra di tahun 1980-an dan tahun 1990-an, meskipun Hasta Mitra juga menerbitkan karya-karya lain. Sementara, Hasjim, wartawan merangkap direktur suratkabar penting sebelum 1965, Bintang Timur, adalah seorang manajer bisnis yang efektif bagi Hasta Mitra. Seorang pria tampan dan flamboyan, Hasjim adalah seorang pengusaha petualang dalam revolusi sejak masa mudanya. Ia kerap mengenang kembali bagaimana pada ma­sa perjuangan kemerdekaan, pemerintah republik yang baru ber­diri merencanakan memberangkatkannya ke India untuk belajar me­nerbangkan pesawat tempur, jauh sebelum RI memiliki pesawat tempurnya sendiri. Rencananya menjadi salah satu pilot pertama yang dimiliki Indonesia. Namun kemudian ia terdampar di Singapura dan oleh para pendukung perjuangan kemerdekaan di kota pelabuhan itu, ia diminta untuk menyelundupkan dan memasok senjata bagi para gerilyawan di Sumatra. Hasjim meninggal dunia pada Juli 1999, saat Pramoedya dan Joesoef berada di Hamburg setelah kunjungan mereka ke Amerika dan Kanada

Joesoef adalah editor naskah-naskah Pramoedya, juga otak di balik respons politis Hasta Mitra terhadap tindakan rezim yang merepresi usaha penerbitan mereka. Sebelum ditahan, Joesoef adalah seorang jurnalis. Ia dididik di dalam sistem pendidikan Belanda sebelum kemerdekaan. Sebelumnya ia bahkan tidak berbicara dalam Bahasa Indonesia, yang dikuasai adalah bahasa melayu pasar ala-kadarnya. Barulah pada tahun 1942 setelah Jepang menginvasi Hindia Belanda, ia tidak punya pilihan selain bersekolah di Sekolah Menengah Pertama yang menggunakan Bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar. Ia masih belum akrab dengan bahasa ini ketika untuk pertama kali menyaksikan Soekarno berpidato di hadapan “rapat raksasa” di Lapangan Ikada Gambir Jakarta pada 1943. Saat itu Jepang baru menduduki Indonesia. Joesoef yang tidak bisa menangkap pidato Bung Karno, terheran-heran apa gerangan yang diucapkan Soekarno sehingga mampu menggerakkan seratusribu orang menjadi histeris penuh antusiasme yang meluap-luap. Itu tidak berlangsung lama, semasa masih di SMP pun, Joesoef telah menjadi salah satu begawan bahasa Indonesia.
      Sebagai seorang jurnalis, ia memulai karir dengan menulis ulasan tentang musik klasik. Kecenderungannya pada genre

The Jeri Laber International
para Romantisi, mulai dari Bach, Handel hingga Mozart, Brahms seterusnya Beethoven. Ia bergaul dengan orang-orang yang dididik sistem pendidikan Belanda, terutama dengan mereka yang berhubungan dengan Partai Sosialis Indonesia yang pro Barat dan berbasis intelektual. Begitulah seluruh keluarganya dan itulah habitatnya di masa muda. Joesoef menguasai sastra Barat, urban dan amat pandai bicara. Ia berkembang pesat dalam dunia jurnalistik, dan dalam waktu yang tidak terlalu lama menjadi editor di salah satu surat kabar terbesar di Jakarta, Merdeka, yang diterbitkan oleh pasangan ideal jurnalis terkemuka, B.M Diah dan istrinya, Herawati Diah. B.M Diah adalah seorang nasionalis, tidak kiri, menganggap diri progresif tengah, a middle-roader. Di tahun 1960-an, Joesoef semakin jauh dari kelompok PSI karena kecewa istilah “sosialis” cuma jadi label kosong. Dalam pandangan Joesoef, kelompok ini terasingkan dari realitas masyarakat Indonesia yang berusaha bertahan hidup di kota-kota baru dan pedesaan yang miskin. Kebenaran pandangan Joesoef terbukti saat PSI, yang pada tahun-tahun awal berdirinya Republik berhasil menempatkan para pemimpinnya di posisi penting pemerintahan, seperti Perdana Menteri, hanya berhasil merebut 5% suara dalam Pemilu  1955.
      Tahun 1959, sebagai wartawan Merdeka ia dipilih dengan suara bulat oleh para koleganya yang berpaham kiri maupun kanan, untuk menjadi Ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) cabang Jakarta. Ketika pertumbuhan ekonomi dan politik Indonesia mengalami kemandegan di akhir 1950-an, Joesoef makin aktif mendukung kebi­jakan Soekarno yang berusaha membangun Indonesia yang lebih mengandalkan diri sendiri, mengambil yang terbaik dari Barat, tetapi tetap memprioritaskan kebutuhan pembangunan ekonomi dan budaya. Pada 1962 Soekarno menolak bantuan yang ditawarkan oleh World Bank dan mempersilakan Amerika Serikat “minggat ke neraka”, go to hell dengan tawaran bantuan Barat yang terikat dengan macam-macam syarat. Joesoef mengatakan pernyataan Bung Karno itu sama sekali bukan pernyataan mau bergabung dengan blok komunis. Pernyataan ini bukanlah semata-mata suatu statement politik, melainkan juga sebuah deklarasi kebudayaan. Soekarno, menurut Joesoef, mau mendidik negeri dan rakyat Indonesia tidak menjadi pengemis yang cuma bisa memohon bantuan dari “dunia bebas”. Diah yang menganggap Joesoef sudah menjadi terlalu kiri akhirnya menendangnya ke atas dari pimpinan redaksi menjadi ketua Dewan Perusahaan grup Merdeka, pekerjaan direktur yang lepas dari kerja jurnalistik. Yang penting Joesoef jangan lagi menulis editorial.
      Kehilangan jabatan sebagai pemimpin redaksi tidak membuatnya mati gaya. Ia terpilih menjadi Sekretaris Jenderal Persatuan Wartawan Asia Afrika. Menurut Joesoef boleh jadi fungsi sekjen PWAA lah yang menyebabkan dia tidak langsung ditahan seperti rekan-rekannya yang pada bulan Oktober 1965 semua sudah dijebloskan dalam penjara, masa di mana ribuan pendukung Soekarno mulai ditahan atau dibunuh. Mungkin penguasa masih mempertimbangkan implikasinya bila me­nahan seorang yang punya fungsi internasional seperti sekjen PWAA dan wapres IOJ (International Organization of Journalists). Antara 1965–1968, ia sempat beberapa kali keluar-masuk rumah tahanan pribadi berbagai unit-unit intel Angkatan Darat yang bergerak sendiri-sendiri.

***

Suatu kali ia pernah bercerita tentang bagaimana bersikap kalau mengalami siksaan oleh interogator. Kuncinya, orang perlu menyadari bahwa tubuh manusia kuat. Betapa pun menyakitkan disiksa sampai babak-belur, orang tidak cepat akan mati. Oleh karena itu Joesoef menganjurkan jangan takut apa lagi cepat menyerah hanya karena rasa sakit akibat pukulan cambuk berpaku atau ikan pari yang dikeringkan, atau sudutan rokok, atau bentuk siksaan lainnya. Pengalaman sering terjadi seorang tapol yang kesakitan disiksa, belum apa-apa sudah menyerah karena menyangka akan mati kalau tidak menyerah. Lantas sukarela mengkhianati teman-teman, membuka segala rahasia kepada interogator. Akibatnya teman-teman itu dicomot dan dijebloskan juga ke dalam penjara. Padahal tapol yang disiksa babak-belur itu dalam beberapa hari saja sudah sembuh. Sesama tapol membantunya dengan macam-macam obat seperti balsem, minyak kayu putih dan obat Tionghoa untuk sembuhkan luka-dalam namanya Yunan Payao. Tapol yang cepat menyerah itu tidak habis menyesal karena telah membongkar nama kawan-kawannya, bahkan dia bisa juga dianggap pengkhianat -– padahal sakit dan lukanya dalam satu minggu sudah sembuh.
      Joesoef terhindar siksaan selama sepuluh tahun masa pena-hanannya yang dimulai pada 1968. Selama jangka waktu sepuluh tahun itu, ia dipenjarakan di Rutan Salemba. Joesoef tidak dibuang ke Pulau Buru, karena dia dianggap golongan berbahaya yang diproyeksi untuk diseret ke pengadilan, disebut golongan A. Yang ke Buru adalah kategori berbahaya juga, akan tetapi tidak cukup bukti untuk diadili, itulah golongan B. Hal tersebut diceritakan teman-temannya sepenjara dan juga dari ceritanya sendiri tentang kehidupannya di Penjara Salemba. Besar kemungkinan ia bisa lolos dari siksaan adalah berkat keluwesannya yang cerdas. Luwes berarti fleksibel dan menarik hati. Dibutuhkan karakter untuk mempraktekan keluwesan. Hingga hari ini Joesoef masih memiliki keluwesan ini. Nyaris tidak ada jurnalis asing atau akademisi yang mengunjungi Jakarta yang tidak terkesan sekaligus tercerahkan dalam pertemuan-pertemuan yang diadakan di rumahnya.

Saat masih dipenjarakan di Salemba, dengan berbagai cara para tahanan mencoba menyelundupkan suratkabar dan majalah. Di dalam penjara Joesoef tetap jadi wartawan aktif. Oleh rekan tahanan lainnya ia dipilih untuk membaca suratkabar selundupan, kemudian menceritakan kembali isi suratkabar yang dibaca kepada tapol yang lain. Bahan bacaan dilarang keras di penjara Salemba, kecuali Al-Qur’an dan Injil. Menarik diceritakan bagaimana koran dan majalah selundupan bisa masuk ke penjara dan sampai ke tangan Joesoef.
      Setiap hari ada dua tapol yang statusnya dianggap ringan, bertugas menggotong keranjang besar anyaman dari bambu (isi kosong kurang lebih dua kubik) untuk pergi ke Pasar Gang Tengah yang terletak tidak jauh dari penjara Salemba. Dua tapol itu bertugas mengambil sampah pasar dan mengisi penuh keranjang besar tadi. Sampah itu diperlukan untuk pupuk kebun bayam yang ada di sekeliling penjara. Nah, setiap kali mengambil sampah, di dalam tumpukan sampah yang bau dan kotor, pasti selalu ada bungkusan plastik. Di dalam bungkusan plastik yang rapi itulah terdapat suratkabar Merdeka atau Kompas, kadang-kadang juga majalah Time dan Newsweek. Semua itu tentu sudah diatur sebelumnya pada saat ada pertemuan keluarga. Jadi ada satu keluarga yang bertugas menyisipkan bacaan koran itu ke dalam sampah di Pasar Gang Tengah, tanpa pengetahuan keluarga tapol lainnya. Semua serba hati-hati menjaga kerahasiaan.
      Jam 11 malam pada saat kontrol kunci sel terakhir, maka suratkabar dan majalah itu oleh tapol yang bertugas mendampingi juru-kunci dicemplungkan ke dalam sel Joesoef. (Joesoef ingat sekali tapol yang berjasa itu bernama bung Tan, seorang pemuda keturunan Tionghoa anggota Pemuda Rakyat). Semalam-suntuk Joesoef harus selesai membaca semua yang dia terima, dan pagi-pagi subuh sebelum sel dibuka, koran dan majalah itu sudah harus musnah. Caranya adalah merobeknya kecil-kecil dan merendam dalam ember air yang dibawa ke dalam sel. Robekan-robekan kertas diremas-remas sampai menjadi bubur-kertas. (Bubur kertas itu bisa dimanfaatkan untuk membikin patung). Esoknya pada sore hari para tapol biasanya berkumpul di pekarangan blok bagian belakang, ngobrol-ngobrol sambil menunggu masuk sel lagi. Pada saat kumpul-kumpul sebelum masuk sel itulah, maka Joesoef bertugas meneruskan semua informasi dalam dan luar negeri yang dibacanya kepada para tahanan seisi blok. Walaupun hidup terisolasi total, rupanya para tahanan yang satu blok dengan Joesoef tetap well informed mengenai situasi nasional dan internasional. Dari mulut ke mulut semua informasi kemudian menyebar ke lain-lain blok. Petualangan sangat berbahaya ini hanya terjadi di blok Q, blok yang dikatakan blok intelektual. Sitor Situmorang, Siauw Giok Tjhan, Mustahal, Soemarsono, Bakri Siregar, John Lumingkewas antara lain berada dalam blok itu. Berkat Joesoef dan beberapa teman terpercaya yang diajak berkonspirasi, maka para tapol tahu tentang kunjungan Nixon ke Peking tahun 1972, tentang embargo minyak Saudi Arab 1974, tentang peristiwa Malari, ketegangan antara dua jenderal Orde Baru, Sumitro gendut dan Ali Murtopo, dan banyak berita lainnya lagi. Tentu tidak ada yang menyangka kerja berbahaya ini dilakukan oleh Joesoef yang sangat pendiam dan low profile. Bahkan di penjara, dia tidak berhenti jadi wartawan yang melaporkan kejadian-kejadian penting. Cina komunis dan imperialis Amerika saling mendekat, gerakan anti perang Vietnam menggebu-gebu di seluruh dunia, kekalahan Amerika di Vietnam, munculnya gerakan teologi kiri di Amerika Latin, pendeknya macam-macam perkembangan dunia
      Semua kisah ini, redaksi mendengarnya dari tapol-tapol yang pernah satu blok dengan Joesoef. Selain “sumber berita” lewat sampah Pasar Gang Tengah, Joesoef juga dipasok oleh istrinya dengan guntingan koran berita penting yang dilipat-lipat kecil dan dibungkus plastik, lalu dimasukkan dalam sayur asam, kalio atau nasi pada saat mengirim makanan ke Salemba.
      Yang juga diceritakan para mantan tapol adalah bahwa tapol Orde Baru yang di Salemba sebenarnya harus membeayai penahanannya sendiri. Makanan tambahan harus datang dari keluarga, sebab kalau hanya makan apa yang diberikan penjara, pasti akan terjadi malnutrisi. Yang terjangkit malnutrisi dalam 3 sampai 5 bulan pasti mati. Tikar untuk tidur di lantai beton harus dipesan kepada keluarga. Tidur malam dalam sel harus dengan lampu terang, dan bola-lampunya pun harus diminta dari keluarga. Di malam hari masing-masing sel harus terang-benderang karena penjaga setiap waktu harus bisa kontrol bahwa sel masih ada orangnya.

Joesoef dilepaskan 1977, dua tahun sebelum Pramoedya dan Hasjim kembali ke Jakarta dari Pulau Buru, bersama-sama dengan 12.000 orang tahanan lainnya. Mereka bertemu pada 1980, ketika Hasjim membawa Pramoedya menjumpai Joesoef di rumahnya di Jalan Duren Tiga. Joesoef dan Hasjim sudah saling mengenal sejak keduanya aktif terlibat dalam Persatuan Wartawan Indonesia. Pramoedya adalah editor lembaran budaya di suratkabar Hasjim, Bintang Timur. Hasjim mengatakan pada Joesoef bagaimana ia dan Pramoedya semasa masih di Buru sudah berniat akan menerbitkan semua karya Pram yang dia tulis semasa di pulau pembuangan itu, walaupun mereka tidak pernah tahu kapan akan bebas. Ini cermin optimisme yang tidak pernah padam. Nama Hasta Mitra pun diciptakan oleh Pramoedya semasa masih di Buru. Dalam pada itu berangsur-angsur naskah-naskah novel besar itu sudah diselundupkan ke luar Buru dengan bantuan pastor dan domine. Hasjim meminta Joesoef agar bertiga mewujudkan penerbit Hasta Mitra yang sejak di Buru sudah dimimpi-mimpikan.
      Bumi Manusia diterbitkan pada 1980. Amatlah sulit menceritakan akibat dari penerbitan buku ini. Saya tidak bisa menemukan kasus serupa di negara mana pun di dunia, di mana sebuah novel sejarah, bersetting puluhan tahun sebelum masa penerbitannya, dapat memiliki dampak politik yang sedemikian besar. Segala hal yang berhubungan dengan penerbitan buku ini: siapa yang menerbitkannya, apa yang diterbitkannya dan bagaimana kemudian buku ini diterima oleh sebagian besar pembacanya, mengkristal menjadi semacam pemberontakan dan penolakan terhadap seluruh aspek yang diwakili Soeharto dan Orde Barunya.
      Bumi Manusia mengambil setting waktu di akhir abad 19 dan permulaan abad 20 di Pulau Jawa, Hindia Belanda. Di satu sisi cerita ini mengisahkan tentang seorang pemuda Jawa, dengan latar belakang aristokrasi, dan kisah cintanya pada seorang gadis Indo yang terkoyak oleh hukum kolonial yang rasis. Di sisi lain, cerita ini juga menjelaskan bagaimana salah satu pemuda Indonesia pertama, jenis manusia yang benar-benar baru menjalani kehidupannya di masa itu. Jenis manusia Indonesia tercipta dari kontradiksi antara ide-ide kemanusiaan dan ide persamaan Barat, juga rasisme dan represi kolonial. Tidak ada satir yang jelas mengenai rezim Soeharto atau komentar tersembunyi mengenai kondisi Indonesia kontemporer saat itu. Buku Bumi Manusia adalah permulaan dari sebuah pernyataan yang lurus, sekaligus brilian dan amat kuat tentang bagaimana generasi orang muda berpaling dari kebudayaan mereka di masa lalu, juga kelas sosial tempat mereka berasal, untuk kemudian mencari sesuatu yang benar-benar baru. Buku ini adalah permulaan dari sebuah penjelasan sejarah yang panjang, yang diikuti penerbitan tiga seri berikutnya dalam jangka waktu enam tahun selanjutnya.
      Cerita mengenai terciptanya kepribadian Indonesia yang baru, segera mendapatkan pujian. Ulasan demi ulasan memuji buku ini, dan memberikan sambutan hangat atas kembalinya Pramoedya ke dunia penerbitan. Sementara di lain sisi, bagi Joesoef dan Hasjim, sebuah bencana akan segera melanda. Kantor Hasta Mitra didirikan di rumah Joesoef. Sebuah rumah sederhana dengan tiga kamar tidur di bilangan Jakarta Selatan. Ruang tamu berubah fungsinya menjadi sekretariat Hasta Mitra. Dua puluh ex-tapol, semua tanpa kecuali amat membutuhkan pemasukan, bekerja dengan gaji kecil di kantor ini. Ada puluhan kotak kardus berisi buku. Semakin banyak mantan tahanan politik yang datang ke Jalan Duren Tiga dan meminta buku yang bisa mereka jual dari pintu ke pintu.
      Di bagian belakang rumah, seperti umumnya rumah-rumah kelas menengah di Jakarta, terdapat dua kamar yang disediakan untuk pembantu rumah tangga. Kamar-kamar ini digunakan sebagai gudang. Di samping dua kamar ini ada sebuah kamar lainnya, sebuah kamar yang telah menjadi simbol Joesoef di mata mereka yang mengenalnya, di mana saya juga telah mendapatkan banyak sekali pelajaran mengenai sejarah dan politik Indonesia. Kamar ini sejatinya adalah sebuah kamar mandi yang tidak lagi digunakan, sempit dan gelap, dengan hanya satu jendela kecil di bagian atas tembok di ujung ruangan itu. Di kamar inilah mesin set huruf pertama Indonesia yang namanya komputer disiapkan. Hasjim dan Joesoef ingin meng-set sendiri buku-buku yang akan mereka terbitkan dan berkeras bahwa mereka harus memiliki peralatan modern.

Kini, di tahun 2008, mesin setting tua (CrRTronic) itu sudah tidak ada, digantikan oleh sebuah Apple Mac dan PC tua. Ruangan masih di tempat sempit yang sama, tapi kini dengan lantai keramik, bola lampu yang pendar cahayanya lebih kuat dan pendingin ruangan. Dalam kamar kecil, seukuran 2,5m x 5 m, Joesoef dan seorang pembantunya, Subowo, telah mengetik, membuat tata-letak, mengedit dan mengedit ulang, lebih dari 20 karya Pramoedya Ananta Toer untuk Hasta Mitra, dan buku-buku lain yang dipesan penerbit lainnya. Termasuk banyak buku karya para ilmuwan Belanda yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Joesoef, yang kini berusia 80 tahun masih bekerja di kantor yang sama hingga hari ini, dan masih menerbitkan buku setiap tahunnya. Jelas tidak ada uang pensiun, sedangkan  larangan peredaran buku Hasta Mitra terjadi berulang kali, membuat Hasta Mitra tidak pernah punya pemasukan, jangankan meraup keuntungan. Tetapi Joesoef selalu dengan optimis penuh bahagia  mengatakan  “keuntungan aku, pekerjaan aku dibaca orang.”

Tahun 1981, Joesoef tidak hanya harus menghadapi tugas mengedit naskah dan menyiapkannya untuk dicetak. Kamar kecil bekas kamar mandi menjadi sekretariat sekaligus tempat untuk mempersiapkan jawaban atas serangan politis yang dilancarkan Soeharto. Pemerintahan diktator ini harus menunggu gelombang pujian dan dukungan mereda. Sebab, tidak hanya para kritikus, intelektual, dan pelajar yang memuji buku ini, wakil presiden Soeharto saat itu, Adam Malik, mengundang Joesoef, Hasjim dan Pramoedya untuk mengunjunginya di Istana Wakil Presiden. Adam Malik menyarankan setiap anak Indonesia dari sekolah menengah sampai universitas penting membacanya, buku itu harus jadi buku wajib. Malik punya cerita berbeda dengan Soeharto. Malik di usia remaja, telah berjuang melawan Belanda saat masih duduk di bangku sekolah menengah pribumi nasional. Sementara Soeharto di masa mudanya, secara sukarela bergabung dengan Tentara Kerajaan Belanda, alat menekan sesama orang Indonesia. Barulah pada 1945, Soeharto berubah haluan bertempur melawan Belanda dengan bergabung dengan Tentara Indonesia. Bagi Malik, Bumi Manusia adalah pengingat bagi generasi muda tentang asal-muasal Bangsa Indonesia.

Soeharto harus menunggu sekitar seminggu untuk memulai pro­pagandanya. Kampanye hitam untuk mendiskreditkan Hasta Mitra berlangsung selama beberapa bulan, dan setiap kali, adalah Joesoef yang bertanggung jawab untuk menjawab mewakili Hasta Mitra. Baik Joesoef dan Hasjim, dipanggil untuk dimintai keterangan oleh Kejaksaan Agung. Joesoef harus mundar-mandir ke kantor Jaksa Agung di Jalan Singamangaraja Kebayoran Baru selama sebulan, mulai dari pagi kadang-kadang sampai malam hari. Seorang interogator menginterogasinya selama berjam-jam tentang isi bukunya dan juga tentang Pramoedya. “Apa yang telah ditulis Pramoedya?” ia ditanya. Pertanyaan ini mengherankan Joesoef dan menyadarkannya sedang menghadapi kebodohan yang merajalela semasa Orde Baru. Pramoedya adalah salah satu penulis Indonesia paling terkenal di masa 1940-an, 1950-an sampai dengan 1960-an. Joesoef menjelaskan bahwa selain novel, Pramoedya juga menulis sebuah ensiklopedia. “Apakah ensiklopedia itu?” tanya interogator, “bagaimana mengejanya, tolong tulis untuk saya?”
      Di akhir interogasi setelah menyatakan bahwa Bumi Manusia dilarang, ia acungkan jempolnya di bawah meja supaya tidak kelihatan oleh rekan-rekan jaksa lainnya di dalam ruangan itu, “Tolong kirim satu buku ke rumah saya, istri saya harus baca buku hebat itu!” Joesoef heran, kalau tahu buku itu bagus mengapa dia galak sekali selama satu bulan ini? “Pak Joesoef harus ngerti dong, saya ‘kan jalankan tugas apa yang diperintah oleh...” telunjuknya menunjuk ke plafon. Memang di atas masih ada dua lantai lagi, tempat para bos sang interogator bekerja.
      Joesoef sempat merasa jengkel menjalani pemeriksaan itu, karena merasa tersiksa menghadapi kebodohan. “Sebenarnya jaksa yang menginterogasi juga tersiksa oleh atasan yang lebih tinggi tingkat kedunguannya,” kata Joesoef. Pemeriksaan itu terjadi tahun 1981, namun kembali membuat geger ketika Bersihar Lubis, wartawan senior, mengutip kalimat yang pernah diucapkan Joesoef di New York dan Paris tentang kedunguan kejaksaan agung, dan oleh Bersihar Lubis kata-kata Joesoef ditulis dalam artikelnya yang dimuat dalam Koran Tempo, 17 Maret 2007.
      Lubis membandingkan keputusan Kejaksaan Agung yang melarang peredaran Bumi Manusia dengan keputusan pelarangan peredaran buku sejarah yang tidak mencantumkan kata “PKI” di balik garis miring G.30.S. Joesoef dihadirkan sebagai saksi di dalam pengadilan Bersihar Lubis. Namun itu sama sekali tidak mengubah keputusan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Depok untuk menjatuhi Bersihar hukuman 1 bulan penjara dengan masa percobaan 3 bulan.
      Joesoef sering berkata bahwa dia sering merasa tersiksa karena melihat tingkat kebodohan yang menyebar luas semasa Orde Baru. “Kebodohan yang saya hadapi saat diinterogasi jauh lebih menyakitkan daripada jika dipukul,” ujarnya. Soeharto dan para jenderalnya tidak hanya meninggalkan krisis ekonomi dan korupsi yang merajalela, tetapi lebih buruk lagi, rezim ini mewariskan krisis intelektual yang lebih parah daripada KKN. Di mata Joesoef, Soeharto dan para jenderalnya menghabiskan waktu 30 tahun untuk menciptakan keseragaman berpikir massal, dan dengan kontinu menjalankan proses pembodohan. Joesoef menekankan pada setiap anak muda yang mengunjunginya bahwa, mayarakat kita patologis, sakit. Semua segmen masyarakat dijangkiti kerancuan kerangka berpikir akibat penyeragaman dan pembodohan itu – orang Belanda bilang telah terjadi “denkfout”. Bagaimana mau membangun masa depan, melaksanakan reform kalau kerangka berpikir bertolak dari kesesatan berpikir. Ini terjadi pada seluruh strata sosial masyarakat kita, mulai dari mereka yang berpendidikan rendah sampai pada intelijensia kita. Di dalam sejarah modern umat manusia di mana pun di dunia, kaum intelijensia menjadi agen pembaruan dan kemajuan. Apa yang bisa diharapkan kalau justru intelijensia kita selama Orde Baru rancu mind-setnya. Itu sebabnya Joesoef selalu mengatakan, kita berjalan di tempat, yang dicapai adalah kemajuan semu. Dia sering mengutip penyair Schiller: “Against stupidity even the gods themselves battle in vain.” Melawan kebodohan, dewa-dewa pun bertarung sia-sia, kewalahan.

Saat ditanya mengenai apa yang ia maksud dengan kerangka berpikir rancu? Secara ringkas ia menjelaskan dengan meminjam istilah sosio­logi, yaitu reifikasi. Reifikasi adalah sebuah proses, di mana produk kutak-katik otak manusia lama kelamaan diterima sebagai kebenaran bahkan dianggap sebagai kenyataan, sebagai realitas. Padahal semua asal-usulnya cuma rekayasa otak, ilusi, suatu abstraksi, kosong tidak konkret, bohong. Kalau pinjam istilah ilmiah sosial, berpikir ilusif dan abstrak itu disebut metode berfikir metafisis, subjektif – tidak objektif atau tidak dialektis. Itu bodoh, dan kalau sudah bodoh tidak-bisa-tidak dia bersaudara kembar dengan kekerasan. Apa Soeharto bukan begitu?
      Soeharto mulai membangun Orde Baru dengan kebohongan, katanya di Lubang Buaya para jenderal disilet-silet oleh Gerwani. Itu murni reifikasi, rekayasa otak Soeharto, tetapi seluruh intelijensia kita dengan mesin media-massanya menerima itu sebagai kebenaran, sebagai kenyataan. Seluruh kebijakan Orde Baru lantas selama 30 tahun berjalan atas “realitas” yang bohong itu, maka PKI harus ditumpas sampai ke akar-akarnya. Dengan sendirinya semua beleid politik Orde Baru/Golkar sejak awal berjalan atas dasar kebohongan yang diiringi dengan kekerasan.
      Produk reifikasi yang jelas tampak telanjang bulat -– menurut Joesoef -– adalah rekayasa pada setiap pemilu lima tahun sekali. Kelihatannya Soeharto seakan-akan demokratis karena teratur menyelenggarakan pemilu. Seluruh politikus dan pakar politik, intelektual dan mass media kita setiap lima tahun sekali menganalisis -– sebenarnya merekayasa -– bahwa Indonesia tidak bisa tanpa ABRI. ABRI anggotanya jauh lebih terpelajar dan berdisiplin daripada anggota parpol, maka Indonesia perlu dan tidak bisa tidak penting sekali dipimpin ABRI... ujung-ujungnya tiap kali pemilu mutlak muncul tokoh ABRI sebagai Presiden, dan tokoh itu tidak lain adalah Soeharto.
         Menurut Joesoef, ironisnya Soeharto sendiri yang membuktikan bahwa semua itu omong kosong. Ketika lengser dia serahkan kekuasaan kepresidenan pada seorang tokoh bukan ABRI -– kok bisa tokoh sipil? Selama tigapuluh tahun Orde Baru, Indonesia hidup dalam mind-set rancu, serba rekayasa: reifikasi. Tidak-bisa-tidak harus dipimpin ABRI.
      Tema reifikasi, tema kerangka berpikir rancu yang dia anggap mutlak harus dibenahi lebih dulu, menjadi tema khas Joesoef kalau ngobrol dengan anak-anak muda. Dia sering mengulang sebuah metafora: kalau suatu rezim otoriter/represif hancur turun panggung, maka dia tinggalkan tumpukan sampah bau berpenyakit dalam onggokan tinggi. Apakah mau membangun masyarakat baru di atas tumpukan sampah busuk? Mutlak, tumpukan sampah bau harus dibersihkan dulu. Era Reformasi mau membangun di atas sampah busuk, kata Joesoef
      Juga tema “kemandirian” versus “ketergantungan”, selanjutnya meninggalkan segala kesalahan mubasir masa lalu untuk membangun masa depan lebih baik, adalah “hobi” tema-tema Joesoef Isak saban hari.

Pada Oktober 1980, Joesoef ingat betul pada hari Jumat pada hari Bumi Manusia untuk pertama akan diterbitkan, Joesoef menerima telepon dari kejaksaan agung yang menyatakan bahwa buku Bumi Manusia tidak boleh diedarkan sebelum mendapat izin lebih dulu dari kejaksaan agung, katanya mereka mau periksa dulu apa isi buku Bumi Manusia. Tetapi Hasjim dan Joesoef justru pada hari itu mulai menerbitkan Bumi Manusia, langsung terus mengedarkannya lewat perorangan (para tapol) maupun lewat toko-toko buku kecil. Memang sengaja diterbitkan hari Jumat dengan perhitungan para pejabat sensor tidak akan bekerja pada hari Sabtu dan Minggu, jadi paling kurang dua-tiga hari buku sudah bisa mencapai masyarakat.
      Pada hari Senen, telepon di Duren Tiga berdering lagi, suara yang sama dari kejaksaan agung membentak-bentak “saya sudah bilang buku jangan diedarkan sebelum ada izin dari kami! Mengapa tetap diedarkan?” Joesoef menjawab selama belum ada perintah resmi tertulis hitam di atas putih, kami akan tetap terbit. Kami sebagai warganegara yang baik pasti akan taat, kalau kami terima di tangan surat resmi seperti itu. Hasjim dan Joesoef sebagai tapol yang baru keluar tahanan, tidak tahu atau tidak mau tahu bahwa sudah lama terbiasa berlangsung “kebudayaan telepon”. Jaksa, polisi, pejabat instansi pemerintah, gampang saja angkat telepon menghubungi redaksi suratkabar dan memerintahkan berita apa yang boleh dan mana yang tidak boleh ditulis. Hasta Mitra tidak mengindahkan perintah lisan lewat telepon. Telepon tidak punya kekuatan hukum, ujar Joesoef. Akhirnya baru enam bulan kemudian pada 23 Oktober, sebuah surat perintah resmi Kejaksaan Agung tiba juga, menyatakan bahwa buku tersebut dilarang dengan alasan berisi propaganda ajaran Marxis Leninis yang terlarang. Sebagai warganegara yang baik, Hasta Mitra mentaati perintah resmi tertulis tersebut, tetapi kemudian tidak pernah berhenti menerbitkan buku-buku berikutnya, karena perintah larangan hanya menyangkut satu judul saja yang tercantum dalam surat larangan resmi bersangkutan.
     Hasta Mitra tidak pernah berhenti menerbitkan buku, pembredelan juga tidak pernah berhenti. Kerugian finansial besar sekali, modal tidak pernah bisa kembali. Hasjim tidak berhenti mencari uang, kalau perlu meminjam uang untuk mecetak buku berikutnya. Hasta Mitra tidak pernah mengakhiri perjuangan mereka. Riwayat Hasta Mitra menjadi cerita bersambung terbit–bredel, terbit–bredel, terbit–bredel. Hasjim sampai menjual rumahnya di Jalan Plaju (dibeli Mochtar Lubis untuk Yayasan Obor) dan juga mobil Hondanya terpaksa dijual. Dengan sendirinya penerbitan ini harus mengencangkan ikat pinggangnya. Satu demi satu karyawan terpaksa mulai dilepas karena sudah tidak mampu membayar gaji mereka.

Pada masa-masa itu pula, Joesoef menjadi satu-satunya tahanan politik dari generasinya yang ditahan sekali lagi setelah bebas dari penjara Salemba. Putranya, Verdi Yusuf, diberi nama seperti komposer opera Italia, seorang mahasiswa di Universitas Indonesia atas nama senat mahasiswa FIS-UI, mengundang Pramoedya untuk berbicara di kampusnya. Putra Joesoef beserta tiga mahasiswa lainnya langsung dipecat atas perintah Menteri PDK Daoed Joesoef dan ditahan di Markas CPM Guntur kemudian juga di Satgas Intel Kodam V Jaya di Kramat Lima, dikenal oleh para aktivis sebagai “Kremlim”. Dan Joesoef juga ditahan selama empat bulan dituduh dalang di belakang para mahasiswa itu. Semua tuduhan omong kosong, kata Joesoef, dia bersama Hasjim menghadiri ceramah Pram, karena Pramoedya yang undang. Kalau bukan Pram yang undang, Hasjim dan Joesoef tidak akan tahu mengenai ceramah di FIS-UI itu. Hanya Joesoef dan empat mahasiswa yang ditahan, Hasjim dan Pram tidak diapa-apakan.

Oleh karena itu, penghargaan seperti PEN Jeri Laber Award sudah lama pantas diberikan. Tapi ini belumlah terlambat. Hasta Mitra, yang masih berjalan di sebuah bekas kamar mandi, tetap menjadi salah satu penerbitan paling penting. Saat ini setelah diktator tumbang, Joesoef sedang berusaha memenangkan kembali sejarah Indonesia untuk generasi pembaca yang lebih muda. (Baca makalahnya di International Writers Festival di Ubud yang kita muat dalam Bab V buku ini–ed.). Sementara buku-buku Pramoedya kini diterbitkan oleh perusahaan keluarga Pramoedya sendiri.
      Pemalsuan sejarah Indonesia oleh rezim Orde Baru Soeharto saat ini menjadi isu besar di Indonesia. Selama 32 tahun masa pemerintahan Soeharto, penulisan ulang sejarah Indonesia dilakukan oleh Badan Sejarah Angkatan Bersenjata, yang juga turut menentukan kurikulum sekolah dasar dan sekolah menengah. Versi resmi sejarah kepulauan Indonesia sejak masa pra-sejarah berada di bawah kendali seorang Brigadir Jenderal. Sementara versi lainnya dilarang.
Hasta Mitra telah menjadi pelopor dalam proses sejarah yang masih tetap berjalan sejak beberapa tahun terakhir. Joesoef menerbitkan seleksi terbaik dari esai-esai tentang Soekarno dari Amerika, Australia, Belanda, dan Indonesia, pada peringatan 100 tahun Soekarno tahun 2001. Masih ada biografi lain sosok-sosok penting dalam sejarah yang telah terlupakan. Ia juga menerjemahkan sebuah proyek besar lainnya dokumen kenegaraan Amerika dan CIA setebal 800 halaman. Dokumen ini berisi catatan reaksi Amerika atas peristiwa 65, sebuah dokumen yang akan membukakan mata banyak generasi muda Indonesia. Hasta Mitra juga menerbitkan catatan komprehensif Peristiwa 1965, yang ditulis oleh seorang Indonesia, G30S, Sejarah Yang Digelapkan.
      Tidak ada yang bisa mengalahkan (kenikmatan berdiskusi) dengan Joesoef sembari makan saté di warung pinggir Jalan Duren Tiga atau sambil menyesap segelas anggur merah dalam sebuah perjamuan, atau sambil bersesak-sesak di ruangan kantor Hasta Mitra di belakang rumahnya. Kisahnya, yang masih harus diceritakan secara penuh, adalah bagian dari cerita yang lebih besar yang belum pernah diceritakan, kisah tentang orang-orang Indonesia “lain” yang secara sengaja telah dikubur oleh Soeharto. Kisah orang-orang seperti Joesoef Isak dan generasi muda yang menganggap Hasta Mitra sebagai ikon perlawanan terhadap otoritarianisme, saat ini sedang berusaha ditemukan kembali. 
      Joesoef bukanlah kategori wartawan kuli yang hanya bekerja untuk sekadar atau bekerja “dalam rangka”. Ia adalah wartawan dengan kesadaran politik; wartawan yang menjalani profesinya sebagai “laku hidup”. Ketika tidak lagi bekerja sebagai wartawan, ia masih merasa bahwa profesi utamanya adalah tetap wartawan, kendati tanpa suratkabar. An old journalist never die, katanya memodifikasi pemeo tentang perajurit tua yang tidak pernah mati. Walaupun tidak punya koran, namun sebagai penerbit, Joesoef bisa terus menuliskan gagasan-gagasannya di dalam kata pengantar pada buku-buku yang diterbitkannya, seperti kita bisa baca pada Bab V di buku ini.
      Satu hal yang tidak kalah menariknya dari pemikiran Joesoef adalah gagasan tentang periodisasi sejarah Indonesia modern menjadi dua: era kemandirian dan era ketergantungan. Ia menilai periode 1945–1965 adalah dua puluh tahun masa kemandirian, di mana tidak sembarang negeri lain bisa menginjak-injak harkat dan martabat bangsa Indonesia. Tentu saja hal seperti itu yang berlaku mengingat pada era itulah terlontar ucapan Bung Karno yang menegaskan harga diri bangsa Indonesia, “go to hell with your aid ”. Kalimat yang sama agaknya dijadikan aksi nyata oleh Hugo Chavez di dalam membangun kemandirian bangsanya.
      Berkat keteguhan mempertahankan cita-cita itu pula Bung Karno tidak mau menggadaikan begitu saja kekayaan sumber daya alam Indonesia. Dalam sebuah pidato di penghujung kekuasaannya Bung Karno menceritakan alasan kenapa ia tidak segera memanfaatkan kekayaan alam Indonesia. “Tunggu sampai kita punya sarjana-sarjana teknik sendiri,” ujar Bung Karno.
      Memang benar, karena pada era itu pemerintah Soekarno banyak mengirimkan pemuda Indonesia ke luar negeri untuk belajar. Seperti apa yang dilakukan oleh Kaisar Meiji pada saat restorasi Jepang, yang membuat Jepang menjadi negeri maju-digdaya sejajar dengan bangsa maju lainnya. Tapi harapan itu punah ketika terjadi peristiwa G30S 1965, yang kemudian digunakan oleh Soeharto sebagai dalih untuk menggeser posisi Bung Karno.

Soeharto menjadi presiden. Kemandirian yang dirintis oleh Bung Karno punah. Pemerintah Soeharto, atas nama kepentingan rakyat, membuka keran penanaman modal asing di Indonesia. Tahun 1967 Freeport masuk ke Indonesia, mendulang emas dari bumi Papua. Beragam industri berdiri, rakyat pun dibuat hidup “berkecukupan.” Tapi seperti dalam cerita Rumah Kaca, pemerintah Orde Baru mengawasi ketat gerak-gerik warganya. Penguasa tidak segan menjebloskan para pembangkang ke balik jeruji besi. Bahkan karena mengedarkan buku Tetralogi Buru terbitan Hasta Mitra, seorang pemuda aktivis dan dua mahasiswa UGM Yogya pun dijatuhi hukum penjara 8 sampai 9 tahun.
      Indonesia tidak lagi mandiri pada periode Soeharto. Indonesianya Soeharto adalah suatu masa di mana keberhasilan menaikkan taraf hidup rakyat hanya diukur sekadar dari perut yang kenyang dan atap rumah tidak lagi bocor. Keberhasilan pembangunan bersifat semu karena mengandalkan utang luar negeri. Sistem birokrasi yang gembung dan korup mencerminkan ketidakberesan manajemen pemerintahan Orde Baru. Tentara diberi peran berlebih untuk melanggengkan dan memperkukuh akar kekuasaan Orde Baru. Penulisan sejarah disentralisir demi kepentingan monopoli kebenaran. Itulah Orde Baru yang kerapkali membuat Joesoef “greget” untuk menebarkan semangat berlawan pada generasi muda.
     Pembagian periode sejarah itu justru menjadi tantangan bagi para sarjana, terutama sejarawan untuk mengadakan sebuah penelitian dan penulisan sejarah Indonesia modern yang baru, yang jauh dari aksi klaim kebenaran sepihak. Penguasaan Joesoef Isak terhadap sejarah bukan saja karena dia pelaku sejarah, melainkan pula karena ia seorang cendekiawan, mengutip Soedjatmoko, yang memiliki historisch-leven gevoel atau rasa penghayatan terhadap masa lalu.
      Rasa hayat sejarah itu membangkitkan kesadaran pada diri Joesoef bahwasannya problematika yang kini dihadapi oleh bangsa Indonesia bukan sekadar hasil dari kekinian itu sendiri. Apa yang dihadapi pada hari ini merupakan hasil dari perbuatan kemarin, dan apa yang akan kita hadapi esok hari tergantung apa yang kita perbuat di hari ini. Namun masih ada satu hal yang perlu dilakukan Joesoef, sebagaimana diminta oleh Daniel S. Lev almarhum, yakni menulis memoar. Daniel S. Lev menganggap Joesoef Isak banyak tahu tentang periode Soekarno dan Peristiwa G30S. Masih banyak “untold stories” pada bung Joesoef yang perlu diungkap.
      Demikianlah Joesoef Isak, seorang figur wartawan-cum-intelektual yang memiliki wawasan historis yang luas. Ia berhasil membetot pengalaman hidupnya menjadi sebuah erudisi yang perlu dipelajari oleh seluruh generasi muda. ***