Soemarsono Revolusi Kemerdekaan RI





Soemarsono Revolusi Agustus 1945

mbah sghriwo

Soemarsono satu-satunya orang yang jantan gagah-berani menulis biografi mengakui dirinya seorang anggota Partai Komunis Indonesia. Tak ada bintang gerilya apalagi  lencana veteran RI baginya dianugerahkan oleh Republik Indonesia. Perjuangan dan kiprah seorang Soemarsono dalam era kemerdekaan yang lolos dari hukuman mati berkali-kali, sekali dari militer Belanda yang tidak mengenalinya saat berhasil menangkapnya  -- dia memasuki daerah yang dikuasai Tentara Belanda karena menghindari kejaran Siliwangi yang telah memburunya sejak kota Madiun. Dan yang kedua saat saat pemerintah RI dipimpin M. Hatta sebagai Perdana Menteri secara diam-diam memerintahkan Jenderal Gatot Subroto untuk mengeksekusi semua pimpinan tertinggi Partai Komunis Indonesia. Nama Soemarsono salah dimengerti oleh pasukan pemburu orang-orang komunis menjadi Ronomarsono seorang anggota partai biasa.
    Dalam peristiwa Madiun Soemarsono bersama kawan Musso dan pasukan brigade 29 diikuti rakyat biasa yang bersimpati melakukan Long March dalam menghindari dan membela diri terhadap pasukan Siliwangi yang dikirimkan oleh Kabinet Hatta. Rute long march dimulai kota Madiun - Dungus - Magetan - Sarangan - Randu Blatung suatu jarak hampir dua gunung yang berbeda Dungus dekat Gunung Wilis dan Sarangan dekat Gunung Lawu.
    Soemarsono memang memiliki nyawa lebih karena berkali-kali lolos dari maut padahal pimpinan Partai Komunis yang lain tumpas bersih antara lain Mr. Amir Sjarifoeddin.  Jimat apa yang dimiliki oleh pemeluk Kristen yang saleh ini dan dia berasal dari Kutoarjo, Jawa Tengah. Mungkin karena dia setiap kali berangkat ke medan perang untuk mempertahankan Republik Indonesia ia berkata, "Bu, aku mau berangkat lagi. Jangan pernah tunggu kapan aku pulang. Relakan diriku andai tidak pulang ke rumah misalnya karena gugur di medan juang." Sang isteri pun mengangguk dan tidak mengeluarkan kata-kata selain daripada tersenyum dan tentu saja berdoa dengan sungguh-sungguh bagi keselamatan orang yang dicintainya.
    Jenderal  Soeharto pada 1948 masih berpangkat perwira menengah menemui Soemarsono di Madiun dalam rangka meminta bantuan informasi situasi seperti yang diberitakan koran Yogya telah terjadi perebutan kekuasaan di Madiun. Hasil yang dibawa oleh Soeharto ialah berupa sepucuk surat untuk Presiden Soekarno yang ditulis atas nama Gubernur Militer Jawa Timur dan informasi bahwa pemerintah sementara Madiun menunggu instruksi lebih lanjut dari pusat.
    Bahu-membahu Soemarsono mengibarkan tinggi-tinggi panji-panji Partai yakni dengan membela diri terhadap serangan pasukan Siliwangi-Hatta bersama Musso yang terhormat itu sampai menemui ajal di medan laga dengan cara terhormat. Yang terhormat Musso telah mewanti-wanti kepada kawan-kawannya, "Daripada tertangkap musuh dan menjadi pengkhianat bagi kawan-kawannya karena siksaan musuh yang sangat kejam lebih baik tewas dalam pertempuran...."
     D.N. Aidit marak menduduki takhta Comite Central Partai Komunis Indonesia sekitar tahun 50-an. Soemarsono yang memiliki "nyawa lebih" masih segar-bugar di tengah gelanggang politik Indonesia. Dia menjadi ganjalan bagi perkembangan Partai karena pernah berseteru dengan kabinet Hatta tahun 1948, demi eksistensi Partai dalam perkembangannya maka Soemarsono mendapat perintah khusus dari D.N. Aidit, "Bung, saya perintahkan untuk menjauhi Pulau Jawa bung sudah tahu alasannya, kan?"
    "Untuk berapa lama saya mendapatkan hukuman itu, bung?" sahut Soemarsono yang sangat mengagumi dan menghormati sang kamerad.
    "Sampai saya menentukan pembebasan, bung! Atau keadaan genting yang bisa membebaskan bung dari hukuman itu. Pilihlah ke mana bung akan berangkat pergi."
    "Aku akan memilih ke pulau Sumatera ujung Utara, bung." sahut Soemarsono dengan alasan punya sanak di sana.
    "Setuju, bung. Bung cepat pergi semakin baik." Demikianlah kamerad Aidit yang disegani itu memutuskan hukuman pembuangan bagi Soemarsono karena hal itu dapat membuka jalan kebesaran Partai.
    Di Sumatera Soemarsono menjadi pimpinan Partai yang disegani dan didengarkan setiap kata-katanya baik oleh masyarakat setempat maupun anggota Partai dalam suasana konflik meletusnya pemberontakan Dewan Gajah, Dewan Banteng dan tentu saja Kolonel Simbolon yang terang-terangan menentang pemerintah pusat dengan alasan tertentu. Bahkan atas instruksi Soemarsono yang juga terjun langsung memimpin pagar desa guna menghalau kaum pemberontak maka pemerintah seharusnya menganugerahkan penghargaan, dalam hal ini tentu saja pemerintah pusat. Saat itu Soemarsono berhasil mengumpulkan seluruh senjata pemberontak di bawah kekuasaannya bersama pemuda yang berhimpun dalam pagar desa. 
    Hal itu rupanya tidak disetujui oleh pimpinan Pusat Partai. Soemarsono pun yang selalu tunduk pada Partai menyerahkan senjata yang dikuasainya kepada Tentara Nasional Indonesia.
    Gonjang-ganjing gerakan september 1965 Soemarsono sekali lagi menjadi korban Orde Baru, maka pada suatu hari begitu ada peluang ia memutuskan meninggalkan tanah air tercinta dan memilih tinggal di Australia. 

***