Pramoedya Ananta Toer
Hikayat Siti Mariah
Hikayat Siti Mariah
mbah sghriwo
Minke berkiprah aktif menerbitkan Medan Priyayi (Medan Prijaji) dengan rubrik khusus bantuan hukum bagi rakyat kecil, dengan menyewa seorang ahli hukum kulit putih sangat efektif dalam rangka membantu kelas Pribumi yang selalu kalah melawan orang Belanda karena tidak mungkin Pribumi disidangkan oleh hakim khusus warga Belanda yang mendapat jaminan hukum kelas satu. Warga Pribumi hanya berhak mendapatkan keadilan dari pengadilan Pribumi rendahan. Sebuah badan hukum semacam suratkabar Medan Priyayi memiliki kesetaraan dengan satu orang Belanda di hadapan hukum Hindia Belanda.
Tidak cukup hanya bekerja di belakang meja redaksi, Minke sesekali turun ke bawah untuk mengetahui langsung masalah hukum orang-orang Pribumi yang dikeluhkan melalui surat yang ditujukan kepadanya atau ke meja redaksi Medan Prijaji.
Pada suatu hari selesai berkunjung ke suatu tempat sendirian Minke sedang bersantap di kedai sate milik Pribumi, tiba-tiba muncul seorang Belanda Indo memasuki kedai yang sama dan langsung duduk di sampingnya, "Tuan datang juga akhirnya, apa yang sangat tuan perlukan dari saya?" sambut Minke sambil mengingat-ingat kemudian mengawasi Indo yang agak gelisah terus itu.
Mereka berjabatan tangan terlebih dulu sebelum si pendatang memperdengarkan suaranya.
"Tuan Minke, maaf sejenak saya ingin berseloroh, saya benar-benar punya banyak bukti bahwa golongan Indo lah yang menjadi selalu yang pertama. Tuan belum percaya? Coba tebak siapa penulis Nyai Dasima itu, Tuan?"
Benar penulisnya seorang Indo.
"Satu lagi Tuan, si pendiri Partai Indisch itu tuan juga tahu, kan. Dia indisch."
Minke terdiam, mulai tertarik dengan penuturan kata-kata tamu ini.
"Bang, tolong buatkan tamuku ini hidangan, ya." Minke mencoba mengingat-ingat kapan pernah bertemu sebelumnya dengan tamunya ini, tapi rasanya kepalanya buntu tak mau diajak sekongkol, tapi rasa-rasanya sangat meyakinkan memang yakin pernah berjumpa sebelumnya.
Pemilik kedai itu bergegas mulai menyiapkan hidangan yang dipesan oleh pelanggannya.
"Saya benar-benar meminta bantuan Tuan Minke..." tiba-tiba orang yang tidak menyebutkan dan tak ingin dikenal namanya itu menyerahkan sebuah bungkusan rapi dan menyerahkan ke tangan Minke.
"Apa ini Tuan...." Minke cepat-cepat meraih bungkusan itu. Agak berat juga.
"O, itu titipan seseorang yang tidak ingin disebutkan namanya. Ambillah Tuan!"
"Apa pekerjaan Tuan...?" Minke menerima makanan pesanan dan segera menyantapnya. Satu porsi hidangan lain kini sudah mulai diserbu tamunya.
"Tadinya saya menjadi kelasi kapal. Pada suatu kali kami merapat di Jeddah, Saudi Arabia. Di sana kebetulan dengan bantuan seorang kenalan saya bisa bekerja di konsulat Belanda."
Tuan itu melanjutkan keterangannya, "Jeddah adalah kota pelabuhan di Laut Merah, ramai sekali seperti Rotterdam atau Shanghai."
"Oh, itu luar biasa. Pekerjaan yang sangat baik, Tuan." Minke tersenyum sedikit karena tamunya itu semakin ramah, "Tentunya kantor itu ikut juga mengurus haji yang datang dari Hindia."
Ia mengangguk, tamu itu tampak sekarang sudah agak menjadi lega. Tidak lagi gelisah.
"Sekali lagi saya pesankan yang ada dalam bungkusan itu amanat untuk Tuan." Katanya sambil terus menyantap hidangannya cepat-cepat, dan tanpa membuang waktu lagi ia segera mohon pamit.
Setelah tinggal sendirian di tempat itu Minke segera membongkar isi bungkusan. Di dalamnya terdapat catatan tulisan yang rapi dan tersusun sangat baik. Dalam bungkusan itu berisi sebuah naskah milik seorang yang menamakan dirinya Haji Mukti. Judul naskah atau ceritanya Hikayat Siti Mariah. Sekilas Minke mengebat halaman demi halaman secara cepat kemudian setelah Minke membaca baik-baik pada bagian tertentu akhirnya dapat menyimpulkan tamu itu sendirilah sebenarnya yang menyebut dirinya Haji Mukti dan cerita yang ada di dalamnya mengisahkan pengalaman hidup pribadinya sendiri yang dituangkannya ke dalam naskah Hikayat Siti Mariah tersebut.
Sekilas isi Hikayat Siti Mariah mengisahkan seorang anak yang kehilangan ibunya dan terus-menerus tanpa kenal putus asa berusaha menemukan asal-usul dirinya.
Untuk mendukung usahanya itu ia memilih menjadi kelasi kapal dan setiap kali dapat berpindah-pindah dari negeri satu ke negeri yang lain. Dengan gigih ia akhirnya berhasil mengumpulkan informasi mengenai orangtuanya hingga akhirnya dapat mengetahui siapa sebenarnya orang tuanya. Drama yang berlangsung di Hindia itu bergeser ke bagian dunia lain yakni di Timur Tengah.
Minke memang pada akhirnya suatu hari kelak menerbitkan naskah itu sebagai cerita bersambung dalam surakabarnya Medan Priyayi, tentu saja dengan mencantumkan nama penulis aslinya Haji Mukti.