Susilo Bambang Yudhoyono dan Trisakti Bung Karno

Susilo Bambang Yudhoyono dan

Trisakti Bung Karno (2001)

Bung Karno jangan jadi dogma! Wawasan-wawasan yang diwarisinya harus kita angkat sebagai pikiran terbuka – menjangkau dan menembus dimensi ruang dan waktu sebagai sebuah keniscayaan sejarah.

Napas dari uraian saya yang sederhana ini tentu bukan untuk membedah dan memotret kembali sosok besar Bung Karno yang telah mengukir sejarah Indonesia, dan akhirnya menjadi bagian dari sejarah itu sendiri, tetapi ingin saya arahkan pada memahami pikiran-pikiran besar Bung Karno – tentu hanya sebagian – yang begitu sentral dan fundamental dalam perjalanan kehidupan negeri ini, sejak proklamasi kemerdekaannya, 17 Agustus 1945. Ini tidak berarti bahwa kita, dan generasi bangsa Indonesia mana pun juga, boleh melupakan tokoh dan sosok besar Bung Karno sebagai pemimpin besar, yang bukan hanya seorang proklamator, pejuang dan Founding Father dari Indonesia merdeka, tetapi yang juga karena cita-cita dan pikiran besarnya yang turut membentuk falsafah, nilai dan konsep dasar kebangsaan kenegaraan Republik Indonesia. Ini semua telah menjadi bagian dari sejarah dan warisan nasional (heritage) yang akhirnya membentuk kepribadian dan jati diri bangsa Indonesia hingga sekarang ini.

Refleksi kritis dalam Era Reformasi

Setelah tiga tahun bangsa Indonesia berada dan melakukan reformasi, ada sebuah keharusan untuk melakukan perenungan dan refleksi kritis. Dari sejumlah pertanyaan kritis yang dapat dikedepankan, yang paling mendasar barangkali adalah apakah reformasi ini bergerak dan memi­liki arah yang benar sebagaimana yang menjadi semangat, cita-cita dan nilai dasar kita sebagai bangsa? Kalau jawabannya "ya", kita boleh bersyukur dan merasa lega, meskipun reformasi ini merupakan proses yang tidak ringan, kaya persoalan, serta penuh dengan rintangan dan tantangan. Tetapi jika jawab annya "tidak", berarti kita harus melakukan kontemplasi dan sekaligus koreksi, agar destorsi dan penyimpangan dalam reformasi ini dapat segera kita hentikan. Sesungguhnya reformasi adalah paduan dari kesinambungan dan perubahan (continuity and change).
    Hal-hal yang masih valid dan relevan, terlebih yang merupakan nilai dasar, fondasi dan pilar kehidupan bangsa Indonesia, mesti kita pertahankan dan teruskan, sedangkan yang keliru, menyimpang dan tidak cocok lagi harus kita buang, ubah dan perbaharui.
    Dalam keyakinan saya, sejumlah pikiran besar Bung Karno, baik yang masih berdiri sebagai pikiran pribadi, maupun yang telah menjadi bagian dari falsafah, nilai dan konsep dasar negara nasional Indonesia, menjadi bagian dari kontinuitas yang menyertai perjalanan bangsa abad ke 21 ini. Jikalau kita menyadari bahwa akibat krisis dan perubahan dramatis yang terjadi di negeri ini telah menghadirkan sejumlah ketidak pastian, kemunduran dan disorientasi, seminar ini sungguh tepat topik dan waktunya. Dalam hingar bingar dan eforia reformasi dewasa ini, semangat dan perilaku untuk menjebol, merombak dan mengganti jauh lebih tinggi dibandingkan kesadaran dan kapasitas untuk membangunnya kembali. Kesenjangan yang lebar antara proses dekonstruksi dan rekonstruksi inilah yang sungguh mencemaskan, karena boleh jadi perjalanan bangsa akan kehilangan arahnya yang benar, dan sekaligus menyimpang dari jati diri dan nilai-nilai dasarnya. Akhirnya kita dituntun untuk kembali memahami dan menghayati cita-cita kebangsaan, tujuan nasional dan ideologi nasional, untuk sebuah reaktualisasi menuju Indonesia masa depan abad ke 21. Mau tidak mau kita mesti kembali kepada semangat dan kandungan proklamasi 17 Agustus 1945, Pancasila dan Pembukaan UUD'45. Ambilah rumusan cita-cita kita sebagai bangsa yang tertuang dalam pembukaan UUD'45, yaitu : Merdeka, Bersatu, Berdaulat, Adil dan makmur, sudahkah cita-cita itu telah dapat diwujudkan dalam kehidupan bangsa yang dinamis dan terus berkembang ini? Hal-hal seperti inilah yang semestinya menjadi elemen kesinambungan dan benang merah falsafah, cita-cita dan konsep dasar ke bangsaan masa kini dan masa depan.

Trisakti dan Aktualisasinya

Sebagaimana yang menjadi topik seminar ini, yaitu telaah kritis Trisakti, yang selanjutnya dielaborasikan dalam tiga pilar utama : Berdaulat dan bebas dalam Politik, Berdikari dalam Ekonomi, dan Berkepribadian dalam Kebudayaan, saya ingin menyumbangkan pikiran bagaimana ketiga hal itu kita letakkan dalam perspektif yang kontekstual dan kontemporer. Wacana dan telaah ini perlu kita bangun, sekali lagi, agar proses rekonstruksi, perubahan dan kesinam bungan dalam reformasi dapat dilakukan dengan benar. Bagi saya, pikiran-pikiran dasar Bung Karno tidak boleh kita posisikan sebagai dogma, tetapi harus kita angkat sebagai pikiran terbuka dan menjangkau, menembus dimensi ruang dan waktu. Upaya untuk mengadaptasi dan mengemas saat kini pikiran-pikiran itu, termasuk Trisakti, adalah sebuah keniscayaan sejarah.
    Formulasi berdaulat dan bebas dalam politik, memang sarat dengan makna, dan sekaligus tantangan. Pikiran inilah yang sebenarnya memberikan Ruh dan tuntunan bagi politik luar negeri Indonesia yang bebas dan aktif. Pada periode yang lalu, sejak berakhirnya perang dunia II hingga berakhirnya perang dingin, di mana dunia terbelah menjadi dua kutub dan asosiasi besar, blok barat dan blok timur, keteguhan dan determinasi Indonesia dalam berdaulat dan bebas dalam politik ini menghadapi sejumlah persoalan dan tantangan.
    Masa kini pun, yang sesungguhnya sistem dan percaturan hubungan internasional tetap sarat dengan dominasi, keberpihakan, politik kekuatan, konflik kepentingan nasional, bahkan terkadang realitas "the winner takes all", menegakkan kedaulatan dan kebebasan politik tidak sepi dari tantangan dan permasalahan. Sementara itu, karakteristik hubungan internasional dewasa ini, yang amat dipenuhi oleh kampanye dan upaya sistematis untuk menyuntikkan nilai-nilai demokrasi, hak-hak azasi manusia, pasar bebas, lingkungan hidup dan supremasi hukum, yang sering dikenal dengan nilai-nilai universal, telah memaksa susutnya peran negara nasional (nation state). Dalam pikiran yang ekstrem, nasionalisme dianggap sebagai ideologi yang usang dan kehilangan legitimasinya, sedangkan humanisme dan inter nasionalisme diletakkan sebagai ideologi bersama yang mesti dipatuhi dan dianut oleh seluruh bangsa dan manusia di dunia ini. Inilah sebabnya, demi alasan kemanusiaan dan solidaritas global, intervensi internasional seolah mendapatkan legitimasi dan justifikasi apakah sebuah negara nasional dianggap melanggar aspek humanisme.
    Di sini Human Interest diletakkan lebih utama dari National Interest, dan humanisme, implisit dan selaras dengan internasionalisme, dianggap lebih penting dari nasionalisme. Di sini pula kedaulatan sebuah negara nasional menjadi tidak kebal dan dapat disisihkan. Inilah pergulatan yang kita alami dewasa ini ketika kita bicara berdaulat dan bebas dalam politik. Sebenarnya limapuluh enam tahun yang lalu, dalam pidato 1 Juni 1945 Bung Karno telah mengedepankan isu sentral ini, bagaimana menyelaraskan dan membangun keseimbangan antara nasionalisme dan interna sionalisme, atau antara kebangsaan dan kemanusiaan. Kalimat yang diangkat oleh Bung Karno bahwa "internasionalisme tidak dapat hidup subur kalau tidak berakar dalam buminya nasionalisme, dan, nasionalisme tidak dapat hidup subur kalau tidak hidup dalam taman  internasionalisme", sudah cukup jelas bahwa tidak perlu ada konflik di antara keduanya. Tetapi ingat sebagai mana kita telah diingatkan oleh Bung Karno bahwa internasionalisme adalah bukan kosmopolitanisme.
    Kosmopolitanisme meremehkan nasionalisme, sehingga tidak cocok untuk bangsa Indonesia. Dalam keniscayaan itu berdaulat dan bebas dalam politik adalah merupakan pilihan. Seberat dan sekeras apa pun tantangan yang kita hadapi dalam era globalisasi ini, harus tetap dipertahankan dan diperjuangkan implementasinya. Semangat untuk berdikari dalam ekonomi, tetap memiliki logika dan relevansi, sepanjang dimaknai dan diberikan penafsiran yang tepat. Berdi kari, atau dalam pergeseran terminologinya menjadi mandiri, tidak boleh diartikan mengisolasi atau menutup diri. Berdi kari atau mandiri, sebaliknya harus diartikan sebagai mencegah ketergantungan mutlak dan keharusan memiliki fundamental ekonomi yang kokoh. Kalau tidak, kita akan menjadi bulan-bulanan dalam percaturan ekonomi global yang kian diwarnai oleh kecenderungan dan realitas kapi talisme global baru (the new global capitalism) dan masyarakat terbuka (open society).
    Alangkah rawan dan berbahayanya jika 210 juta bangsa Indonesia ini tidak memiliki ketahanan ekonomi, tidak memiliki kecukupan memenuhi kebutuhannya sendiri pada komoditas tertentu, tidak memiliki fundamental yang kuat, tidak memiliki sumber daya manusia (human capital), produktivitas dan daya saing yang tinggi, dan tidak tahan terhadap goncangan ekonomi eksternal. Pengalaman krisis moneter dan ekonomi mulai tahun 1997 yang lalu memberikan pelajaran dan pengalaman yang amat berharga bagi bangsa Indonesia, bahwa di masa depan ketahanan dan kemandirian dalam bidang ekonomi perlu terus dikuatkan.
    Substansi terakhir dalam Trisakti adalah Berkepribadian dalam Kebudayaan. Domain dan dimensi budaya tentunya amat luas. Terkandung di dalam nilai dan perilaku; etika, moral dan budi pekerti, gagasan, pengetahuan dan teknologi, kepribadian dan jati diri, dan lain-lain. Telaah kritis berkenaan dengan kepribadian dalam kebudayaan ini dapat menyentuh isu-isu utama seputar bagaimana bangsa Indonesia terus dapat berkembang menjadi bangsa yang kian maju, stabil, demo kratis dan sejahtera, di atas landasan nilai, kepribadian dan jati dirinya, serta sosok masyarakat seperti apa yang hendak kita tuju (good society). Menghadapi kerasnya benturan dalam percaturan global serta menghadapi kuatnya gejala disintegrasi nasional, sebuah bangsa harus membangun sendiri kekuatan, ketahanan dan pranata persa tuan dan kesatuannya, agar bangsa yang bersangkutan tetap tegak, bergerak maju dan tampil terhormat. Upaya bangsa Indonesia untuk terus mempertahankan dan mengaktualisasikan sistem nilai, kepribadian dan jati dirinya dalam harmoni dan keselarasan dengan nilai-nilai universal, perlu diletakkan dalam konteks berkepribadian dalam kebudayaan. Adalah benar bahwa budaya itu adalah dinamis, terus berkembang dan "in the making", tetapi tidak berarti nilai, jati diri dan warisan nasional boleh dicabut dan ditinggalkan.
    Kontribusi saya berupa telaah umum, dan hanya membuat pokok-pokok pikiran dalam seminar penting ini tentulah tidak lebih dari suatu perspektif dan pendekatan dari banyak pikiran cerdas yang akan hadir, yang akan disumbang oleh saudara sekalian. Setidaknya kita telah memulai sebuah telaah dan refleksi kritis yang tepat topik dan tepat waktu. Menghadirkan idealisme dan pikiran-pikiran besar Bung Karno dalam proses "State, Nation and Character Building" yang memang belum usai di negeri ini nampaknya merupakan panggilan dan keniscayaan sejarah.
    Semoga partisipasi dan kontribusi kita semua menjadi bagian dalam upaya pembangunan menuju sosoknya yang makin maju, stabil, demokratis dan sejahtera di awal abad ke 21 ini.