Soemarsono, Revolusi Agustus, catatan penerbit

Soemarsono, Revolusi Agustus

Catatan Penerbit

“Peristiwa Madiun” pada hakekatnya bukan konflik antara Soe­karno dan Soemarsono-Amir Sjarifuddin, melainkan merupakan gelanggang pertunjukan aplikasi paradigma perang-dingin: adikuasa anti-komunis dengan darah dan kekuatan senjata menumpas kubu kaum kiri....
    Dia seorang tokoh kontroversial. Begitulah tanggapan yang bisa kita dengar dari pihak lawan maupun kawan Soemarsono sendiri. Dia sendiri tidak pernah menutup-­nutupi, malah terbuka di hadap­an publik mengatakan bahwa dia Kristen sekaligus Komunis, anggota PKI. Bersama seluruh keluarga, istri dan anak-anaknya dia taat pada kekristenannya dan berkunjung ke gereja. Secara pribadi Soemarsono loyal dan sepenuh hati mengabdi pada tanah air Indonesia dan kepada Partainya, sedangkan keluarganya sama sekali tidak berurusan dengan PKI.
     Sosoknya berkepribadian mandiri, kuat sikap kebebasan individualnya. Sesuai watak jawa­timuran, dia terbiasa ceplas-ceplos menggunakan kata-kata keras terhadap lawan bicaranya. Dia berbicara lantang tanpa basa-basi terhadap Suharto, tetapi sekaligus juga tanpa tedeng aling-aling mengkritik pimpinan partai, bahkan menuding kawan partainya sendiri sebagai pengkhianat. Sikap seperti itu boleh saja dianggap subjektif, tetapi begitulah konsekuensi seorang yang mandiri, seorang yang sudah terbiasa menggunakan kebebasan individunya tanpa niat bersikap tidak etis. Untuk itu dia sanggup dan bersedia mempertanggung-jawabkan pendapat dan segala ucapannya dalam forum apa pun.
     Kita angkat topi menghormati sikap Komisi Tulisan Soemarsono, sebuah Team di Eropa yang teliti mencatat segala ucapan Soemarsono tanpa mencampuri apalagi memanipulasi substansi apa yang diuraikan. Dengan menjunjung tinggi prinsip demokrasi, Team tersebut mengakui hak Soemarsono untuk bebas mempunyai pendapat dan bebas bersuara, dulu maupun sekarang. Penerbit Hasta Mitra pun menghormati pendapat Soemarsono dan meng­endorse sepenuhnya sikap “Komisi Tulisan Soemarsono” di Eropa itu. Bebas berpendapat dan bebas bicara kita akui sebagai hak azasi manusia yang harus berlaku bagi segenap warganegara Indonesia tanpa kecuali. Yang tidak kita akui adalah hak monopoli berbicara, hak memonopoli kebenaran, apalagi hak menggunakan kekerasan untuk memberangus pihak-­pihak lain yang berbeda pendapat. Sudah terlalu lama – lima-puluh tahun lebih – Soemarsono dibungkam tanpa diberi kesempatan membuka mulut atau menangkis segala fitnah dan tuduhan sepihak yang dilempar ke kepalanya.
     Ini kali Soemarsono bebas berbicara.
***
“Sejarah ditulis oleh Pihak Yang Menang”, oleh Pihak Yang Berkuasa. Adagium ini berjalan dalam praktek, walaupun sebenarnya tidak harus mutlak demikian. Seperti misalnya semasa Periode Bung Karno, dalam era Demokrasi Terpimpin yang serba mandiri, pihak yang kalah pun bisa ikut menulis sejarah, paling kurang masih bisa buka mulut. Contoh: “Peristiwa Madiun 1948”.
     Semasa Bung Karno, PKI sebagai pihak yang kalah, diwakili D.N. Aidit sebagai Ketua, bahkan bisa buka suara mempertahankan kebenaran me­nurut versinya sendiri di forum resmi DPR, juga terbuka berargumentasi di mass-media dan menerbitkan Buku Putih. Sudah tentu, versi pihak yang menang bagaimana pun tetap dominan menguasai opini publik, dan prilaku masyarakat biasanya melahap versi resmi pemerintah sebagai versi yang benar. Itu tidak jadi soal, selama tidak berlaku kekerasan pembungkaman sepihak.
     Contoh sebaliknya: semasa rejim Golkar Suharto – adagium “Sejarah ditulis oleh Pihak Yang Menang” menjadi hukum-besi. Versi sejarah yang ditulis rejim Golkarnya Suharto sebagai pihak pemenang menjadi kebenaran mutlak satu-satunya yang wajib dipercaya, wajib diterima-baik oleh seluruh masyarakat tanpa kecuali. Kita semua mengalami sendiri, hukum­-besi jendral Suharto berlaku bagi versi “Peristiwa G30S/PKI” dalam buku-buku pelajaran maupun dalam versi filmnya, begitu pula mengenai versi “Peristiwa Madiun” sampai-sampai termasuk versi kisah heroik “Serangan Yogya”, dan berbagai legenda kepahlawanan kreasi benak sang pemenang sendiri. Berpikiran lain daripada pendapat Yang Berkuasa akan menghadapi risiko diberangus atau dipenjara. Pendapat berbeda disumbat sebungkam-bungkamnya, tidak ada tolerasi polemik bagi pemikiran lain, titik! Begitulah tatatertib jaman orbanya Golkar.
     Penyeragaman berpikir menjadi kebijakan sistematis yang diterapkan pada anak-anak bangsa meliputi dua generasi. Pembodohan dilegitimasi dengan undang-undang yang berlaku selama tigapuluh tahun lebih dan berlanjut sampai hari ini. Sekarang ini dalam “era-reformasi” pun, Penguasa tetap mendominasi opini publik dan mendikte apa yang boleh apa yang tidak boleh dibaca oleh anak-anak sekolah kita bila soalnya menyangkut sejarah. Proses membodohkan bangsa berjalan terus, anak-anak sekolah tidak perlu dilatih membiasakan berpikir kritis dan mandiri, Pemerintahlah yang akan berpikir untuk seluruh warganegara, terutama bagi kawula muda bangsa. Dalam urusan sejarah di era reformasi sekarang ini, banyak pejabat eksekutif, legislatif dan yudikatif, dengan dukungan aparat kejaksaan tetap memberlakukan hukum­-besi Suharto. Konsep hidup berdemokrasi, semangat reform, wawasan pencerahan untuk kemajuan, bertoleransi menghormati kebebasan individu, sikap mandiri dan kritis, tidak tembus ke benak kebanyakan pejabat meski Suharto sudah lama lengser. Lebih-lebih parah lagi, mind-set yang rancu itu juga menjangkiti bagian besar kaum intelektual kita. Warisan Suharto masih tetap digendong-gendong terus. Benar sekali bila dikatakan bahwa aparat pemerintahan era pasca-Suharto – era yang katanya “era reformasi” – pada hakekatnya hanya kelanjutan era Orde Baru Golkar Suharto dengan jubah baru.
     Kita tahu bahwa Soemarsono dikenal sebagai Tokoh Peristiwa Madiun, tetapi dalam buku ini dia berbicara mengenai berbagai topik selain Peristiwa Madiun, antara lain pengalaman sekitar 10 November 1945 di Surabaya, penilaiannya terhadap Suharto berikut aparat Orde Baru, juga tidak luput kritiknya terhadap pimpinan PKI maupun beberapa anggota Partainya sendiri.
     Team Penyusun telah berusaha optimal memelihara otentikitas uraian Soemarsono yang kesemuanya dikemukakan dalam bentuk uraian lisan selama lawatannya di Eropa. Editing oleh Team Penyusun dilakukan sangat minim sekedar mengubah bahasa lisan agar tidak terlalu jauh menyimpang dari kaedah bahasa tulisan. Mengenal pribadinya dengan baik, penerbit yakin Soemarsono tanpa ragu bersedia terbuka dalam forum apapun mempertanggung-jawabkan apa yang diucapkan maupun mengenai keterlibatannya dalam semua kejadian. Sebaliknya kita juga mengakui hak semua pembaca untuk bebas menilai apa yang dikatakan Soemarsono atau siapa pun yang mau ikut berkomentar. Keadilan sejarah harus berlaku bagi semua orang termasuk bagi seorang Soemarsono yang selama ini tidak berkesempatan mengemukakan pendapat dengan terbuka dan bebas.
***
Kita mencatat dua argumentasi paling pokok dalam pertanggungan-jawab Soemarsono.
     Argumentasi pertama dan argumentasi kedua bisa dibedakan akan tetapi tidak bisa dipisahkan, karena dua argumentasi itu jelas kait-mengait. Soemarsono menolak keras segala tuduhan bahwa dia telah melakukan perebutan kekuasaan di Madiun. Tegas dia menyatakan tidak ada coup d’etat di Madiun dalam bentuk apa pun. Coup d’etat tidak, coup de la ville – perebutan kekuasaan kota – pun tidak! Soemarsono menganggap perebutan kekuasaan negara, pembangkangan atas kekuasaan pemerintahan pusat, atau merebut kekuasaan pada tingkat kelurahan sekalipun, pada prinsipnya adalah perbuatan makar, dan justru itu yang tidak dia lakukan.
     Apa yang sungguh-sungguh dia lakukan adalah membela diri terhadap serangan dari luar. Itulah argumentasinya yang pertama; sedangkan argumentasi kedua menjelaskan bahwa yang terjadi di Madiun sebenarnya adalah akibat – dia berlawan untuk bela diri – karena ada sebab yang dimulai lebih dulu dari Solo. Yang dia maksudkan dengan sebab atau pemicu adalah kejadian-kejadian di Solo ketika unsur-unsur kekuatan kanan menangkapi kekuatan kiri. Soemarsono sendiri sampai hari ini pun seperti sudah kita kemukakan di atas, tidak pernah menutup-nutupi diri bahwa dia komunis – dan dengan sendirinya dia bersikap solider dan membela sesama kawan-kawan politiknya yang diperlakukan tidak adil oleh siapa pun. Pidato Bung Karno terkenal “Pilih PKI-Muso atau pilih Soekarno-Hatta” yang disusul pengerahan pasukan TNI ke Madiun, juga oleh Soemarsono dikatakan sebagai penyebab atau pemicu yang mengakibatkan dia angkat senjata untuk membela diri. Semua akibat terjadi karena ada sebab – dan menurut Soemarsono fakta berbagai kejadian yang menjadi sebab – dan berbagai kejadian yang menjadi akibat jangan hendaknya sampai diputar-balik.
     Soemarsono, sebagai seorang pelaku, menjelaskan semua itu sampai ke detail, tetapi di sini kita saripatikan hanya yang menyangkut isi pokok pembelaan Soemarsono saja. Wajar saja bila banyak pihak mendukung, sebaliknya juga banyak tidak membenarkan versi Soemarsono. Entah membenarkan, entah menyalahkan, fakta rieel yang ada adalah bahwa versi pihak yang menang menguasai opini publik. Betul sekali adagium yang mengatakan, pihak yang menang mendikte penulisan sejarah.
     Pengantar penerbit ini tidak bermaksud meninjau terbatas hanya pada persoalan Madiun, melainkan ingin menjangkau scope yang jauh lebih luas. Kita tidak mengkaji siapa benar siapa salah dalam Peristiwa Madiun saja. Fokus kita terpenting adalah mencari inti sebab-musabab pecahnya berbagai konflik nasional yang dialami dalam sejarah modern bangsa, kita ingin menelusuri pengalaman bangsa sejak mulai memperjuangkan kemerdekaan melawan kolonialisme di tahun 20-an sampai hari ini. Fokus utama Hasta Mitra adalah meneliti dan mencari akar-masalah tragedi konflik nasional di masa lalu yang sampai detik ini masih kita gendong-gendong terus.
     Dalam rangka itu, kita mantap berkesimpulan bahwa: inti akar-masalah adalah produk konflik yang merupakan komoditi impor dari luar yang sadar atau tidak sadar dioper oleh kaum intelektual kita menjadi milik nasional; dan sangat tragis sampai hari ini pun produk impor itu permanen hadir di tengah-tengah kita dan berkesinambungan dari waktu ke waktu meledakkan bencana antar sesama bangsa kita. Yang kita maksudkan dengan produk konflik impor, tidak lain adalah kubu anti-komunis yang tidak mentolerir sama sekali eksisnya kubu komunis. Kubu anti-komunis yang mengklaim berazas demokrasi justru memperkosa demokrasi dengan cara membenarkan menggunakan kekerasan senjata – fisik dan mental – untuk membasmi punah pihak-pihak yang berpendapat lain. Dua kubu itu latent hadir dalam kehidupan manusia, di dunia mana pun termasuk juga Indonesia yang ikut-ikutan menjadikan konflik permanen itu menjadi miliknya sendiri, dan diwarisinya dari generasi ke generasi berikutnya.
     Konflik dua kubu yang tidak saling mentolerir berjalan visa-versa, tetapi di dalam praktek tentu kubu yang dominan yang mendikté situasi dan mampu mempunahkan lawannya.
Apakah yang disebut dua kubu itu? Macam-macam nama dapat diberikan – gampangnya untuk entity berpasangan itu kita menyebutnya: kubu kanan – kubu kiri. Varian lain: kapitalis –­ komunis, reaksioner – progresif, konservatif – liberal, dogma-agama – sekuler, moderat – radikal, kontrev – revolusioner, elitis – populis, kaya – mis­kin, dst. Dua kubu itu hadir dalam seluruh strata kehidupan kita, sampai-sampai orang awam pun bisa mengenali koruptor–patriot, penguasa otoriter – penguasa demokratis.
     Begitulah perjalanan sejarah modern dunia yang lebih jelas wujud bentuknya sejak muncul Aufklärung, wawasan-wawasan pencerahan, kemudian berpolarisasi lebih tajam setelah tampil Marx. Sejarah mutakhir Indonesia pun demikian adanya, konfrontasi antagonistik berkelanjutan tidak henti-hentinya. Lantas fakta apa yang dihasilkan konfrontasi dua kubu itu? Pada umumnya sampai hari ini kubu pertama, yaitu kubu kanan the old established forces masih selalu menang alias dominan atas kubu kiri – the new emerging forces. Di dunia begitu, di Indonesia pun begitu.
     Peristiwa Madiun pun pada hakekatnya adalah konflik dua kubu tersebut – dan karena kubu kanan yang menang dengan sendirinya versi pemenanglah menguasai opini publik. Idem dito Peristiwa G30S, “pemberontakan 1926”, peristiwa Tanjung Priok, Poso, Ambon, Lampung, peristiwa HAM/kampus Trisakti, BLBI, kasus Lumpur panas Lapindo, pendeknya di seluruh strata kehidupan masyarakat sosial-politik-budaya; versi yang berkuasa yang identik dengan kubu kanan adalah versi yang diterima sah oleh masyarakat dan mass media.
***
Menghadapi dan mengharapkan suatu masa depan yang lebih baik, dengan dibimbing positive thinking, kita berusaha optimal mengubah yang negatif menjadi positif, segala musibah menjadi hikmah, mempositifkan tragedi menjadi keuntungan bagi terutama rakyat dan negeri. Semua konflik berdarah pada hakekatnya merupakan ulah elite politik, rakyat jadi instrumen adu-domba bagi elite yang semata-mata mengejar kepentingan sendiri berjargon bekerja demi kepentingan rakyat. Ujung-ujungnya selalu rakyat yang menderita, yang memikul seluruh beaya tinggi dari tragedi satu ke tragedi lain. Akibatnya: bumi Indonesia yang memiliki melimpah-ruah kekayaan alam dan potensi tenaga kerja, memiliki rakyat miskin yang jumlahnya besar di dunia, dan ironisnya Indonesia yang mayoritas rakyatnya miskin, ternyata paling banyak memiliki milyuner dolar! Tanpa keluar keringat mereka korupsi dalam skala besar-besaran, mereka menjadi multi-milyuner dolar gelap dengan lindungan Pe­nguasa. The very selective few atau elite pilihan itu dalam konflik apa pun tidak pernah tersentuh badannya, tidak kecubit secuil pun kulitnya, harta dan kekayaan mereka tetap utuh, nasibnya cuma bisa terus bertambah-tambah kaya dan nyaman saja. Elit itu pula yang menguasai trilyunan rupiah maju lagi dalam pemilu berikutnya.
     Sudah waktunya walaupun sudah sangat terlambat, segenap rakyat menyadari fakta keras tersebut. Fakta elite yang sukarela menjadi perpanjangan kekuatan asing, membuat negeri dalam status ketergantungan pada kapitalisme global, terjun dan main politik untuk kepentingan diri sendiri. Ini tidak berarti bahwa kita anjurkan rakyat agar jangan main-main politik, supaya takut politik, atau tidak berideologi. Justru sebaliknya, rakyat harus berideologi, sadar politik setinggi-tingginya agar mampu membaca situasi apa yang sebenarnya sedang, sudah dan akan terjadi.

Jangan serahkan politik
hanya kepada kaum elite

Cobalah pakai kalkulator menghitung-hitung matematis fondasi ekonomi negeri kita. Berandai-andailah elite-politik kita mengurangi korupsinya 10% saja, apalagi sampai sebesar 25% – bersih dari korupsi cuma khayal­an –, rakyat Indonesia yang sudah “merdeka” 60 tahun lebih dan memiliki bumi tanah-air yang kaya melimpah ruah, hari ini pastilah sudah hidup jauh lebih sejahtera ketimbang peringkat kemakmuran penduduk Singapura, tetangga kecil kita yang tidak punya sumber kekayaan seperti Indonesia. Yang mereka miliki cuma kebiasaan bekerja ­keras, berdisiplin tinggi di segala bidang dan minim mengkorup kekayaan negara.
     Sampai hari ini era-reformasi yang berumur 10 tahun seakan berjalan di tempat, tidak tahu konsep mana yang benar, tidak tahu kerja apa harus diprioritaskan, tidak juga tahu bagaimana dan dari mana harus memulai menembus kebuntuan dan membenahi situasi amburadul saat ini. Apa jadinya kalau kepentingan pribadi para elite politik diidentikkan sebagai kepentingan rakyat? Apa jadinya kalau maling besar justru paling keras berteriak “awas maling”. Per­ekonomian dikatakan maju padahal rakyat kecil paling merasakan makna “kiprah kemajuan ekonomi” dengan terus membumbungnya harga kebutuhan sehari-hari. Perlu dan pentingnya rakyat sadar politik dan berideologi, justru guna tepat mengdiagnosa penyakit dan menemukan terapinya.
     Lantas berpolitik dan berideologi yang bagaimana? Jelas bukan ideologi Golkar, rakyat serba manut ­diperintah dari atas, melainkan ber­ideologi persatuan dan kesatuan, berideologi jijik korupsi, berideologi keadilan demi kesejahteraan rakyat, berideologi meng­utamakan kepentingan rakyat, dan di atas segalanya ideologi nasionalisme modern, mandiri dalam semua aspek kehidupan politik. Dengan singkat-padat: berideologi Trisakti Bung Karno!!! Pancasila jangan sebatas wawasan saja, tetapi harus menjadi ideologi aksi dalam praktek.
     Dengan kesadaran politik tinggi kita ubah langkah dan segala pemikiran yang negatif menjadi positif, kemubasiran di masa lalu yang sia-sia menjadi kelebihan melimpah-limpah menguntungkan. Tragedi ke tragedi yang kontra-produktif ke kerja produktif sebagai bekal masa depan. Jelas merealisasi segala yang indah itu tidaklah segampang mengucapkannya, pasti berat dan banyak rintangan, akan tetapi bukannya tidak mungkin.
     Uraian Soemarsono, memancing kesan kuat bahwa dalam sejarah perjuangan kita telah terjadi kemubasiran yang sia-sia, kerugian maha besar – tiada lain cuma kemunduran bagi rakyat dan negeri. Oleh karena itu kita ingin dan harus bisa menarik pesan politik dan moral dari semua fenomena kemubasiran itu. Walaupun pengalaman yang serba pahit, kita jangan sekali-kali melupakan sejarah. Sangat penting kita tetap pelajari sejarah, bukan untuk melulu menggugat atau menyesali kesalahan para pemimpin kita di masa lalu, apalagi menjadikan konflik-konflik itu menjadi aktual kembali sebagai bahan diskusi pertengkaran politik hari ini. Justru sebaliknya kita jangan sampai mengulang berbagai kemubasiran serba negatif itu, karena kita sedang menghadapi tantangan masa-depan. Itulah isi kredo kata-kata “jangan melupakan sejarah” pada saat membaca versi penulisan sejarah apa pun.
     Dari generasi masa kini dituntut harus mampu menangani tugas – tugas masa depan dengan lebih baik, lebih pintar dan lebih kreatif. Generasi masa kini sudah pada waktunya sadar jangan jadi instrumen elit politik berjubah ideologi pseudo bela rakyat. Generasi masa kini perlu kematangan politik, supaya bisa aktif mencegah segala bentuk kemubasiran sosial ­ekonomi-politik. Galanglah kebersamaan barisan progresif guna menegakkan kembali ideologi mandiri di segala bidang. Negeri harus keluar dari situasi amburadul – berpisah dari semua warisan Golkarnya Suharto dan terbebas dari segala bentuk ketergantungan.
     “Peristiwa Madiun” pada hakekatnya bukanlah konflik Soekarno di satu pihak dan Soemarsono-Amir Sjarifuddin di lain pihak, melainkan merupakan gelanggang pertunjukan aplikasi paradigma perang-dingin: adikuasa anti-komunis menumpas dengan darah dan kekuatan senjata kubu kaum kiri (kemudian menyusul kubu Islam dan selanjutnya semua pihak yang berpikiran lain).
     Sudah waktunya politisi dan kaum intelektual Indonesia mengoreksi mind-set mereka selama ini, bebaskan diri dari distorsi alam pemikiran politik yang merugikan dan memecah potensi bangsa.
     Kembalilah pada Trisakti Bung Karno, bersikaplah mandiri untuk selalu mendahulukan dan menguntungkan kepentingan rak­yat – bebas dari ketergantungan bangsa dan negeri lain.
     Terimakasih kepada “Team Penyusun” di Eropa dan penghargaan setinggi-tingginya untuk Pengantar bung Wilson, sejarawan muda alumnus Universitas Indonesia, yang jernih, tajam dan komprihensif menjabarkan bagi kita sejarah sebenarnya dari apa yang dinamakan “Peristiwa Madiun”.
Joesoef Isak