G30S - Sejarah yang Digelapkan

Dua Warisan Soeharto

Joesoef Isak
 


G30S 1965! – Siapa otak perencana? Siapa-siapa jadi pelaksana? Siapa berada di belakang penggulingan Bung Karno dan penghancuran PKI? Mengapa sampai terjadi pem­bantaian massal di tahun 1965? Berapa jumlah korban? Bagaimana latar-belakang dan duduk-soal peristiwa itu sebenarnya?
       Jawaban yang pasti benar, boleh-jadi tidak pernah akan muncul atau paling tidak masih akan tetap remang-remang untuk waktu cukup lama. Versi paling dekat ke duduk-soal yang sebenarnya mungkin akan muncul ber­angsur dikit demi dikit bagai rembesan air, keluar tetes demi tetes.

          Kita catat di sini beberapa sebab mengapa demikian:
– Pertama-tama bukan saja satu pihak menjadi aktor intelektualis dalam peristiwa G30S. Suatu konspirasi besar nampaknya sudah direncanakan dan sudah berjalan lama oleh beberapa pihak – CIA, Angkatan Darat, PKI, Intel Inggris, KGB, Intel RRT, masing-masing dengan skenario sendiri-sendiri yang tumpang-tindih berjalan seiring-sejalan dan diledakkan bareng dalam waktu yang sama, sedangkan kita belum mampu menjawab tuntas skenario mana yang dominan pemberi arah dan pemegang kendali.
– Selama 35 tahun lebih kita sulit mendapatkan dokumen-dokumen otentik yang merekam peristiwa G30S itu pada saat kejadian sedang berlangsung – termasuk prolog mau pun epilognya.
     Untuk banyak kejadian penting bahkan sama sekali tidak bisa didapatkan bukti-bukti untuk mengkonfirmasikannya, terutama dokumen tertulis dari pihak yang menjadi korban atau yang kalah.
– Baru sekarang terungkap fakta-fakta penting setelah State Department Amerika Serikat tahun lalu dengan resmi membuka kepada publik dokumen-dokumen otentik intelijen yang populer disebut sebagai DOKUMEN CIA*, itu pun masih tetap ada informasi yang tidak dilepas kepada publik. Dan kita semua tahu bahwa dokumen intelijen Inggris sampai hari ini masih tetap tertutup, padahal dari jurusan itulah kita harapkan akan bisa menutup luang-luang yang masih menganga lebar dalam mendudukkan penulisan sejarah secara lebih objektif.
– Pihak-pihak yang langsung terlibat sengaja bungkam atau dengan paksa membung­kam sasaran yang menjadi korban. Kategori pihak yang menimbulkan korban ini, malahan suka sekali ­memoralisir argumen­tasi agar masa lalu dilupakan saja agar tidak membuka luka-luka lama – jadi dengan sadar memang mau memblackout sejarah.
– Berbagai kajian para pakar ilmu sosial berpretensi netral, namun terlalu jelas bahwa mereka tidak selalu bebas dari “warna-politik”. Kecen­de­rungan pada golongan ini bukanlah untuk melacak kebenaran melain­kan mencari pembenaran hipotesa yang jadi acuannya.
– Para pakar sejarah yang mengklaim menemukan kebenaran dengan alasan secara ilmiah sudah memenuhi syarat-syarat metode penulisan sejarah, sudah melakukan cross-check dan seterusnya, mereka pun sebenarnya pada akhirnya sangat tergantung pada data info dan nara-sumber pihak-pihak lain yang pada gilirannya juga tidak selalu bisa dipercaya penuh, kontraversial satu dengan lainnya; lagi pula data penting yang diperlukan tidak pernah cukup memadai untuk menutup luang-luang yang masih kosong. Para pakar sejarah ini pun rentan warna-politik, meski seakan berusaha menutupinya.
– Cukup banyak beredar “cerita” yang sebenarnya merupakan karangan setelah peristiwanya terjadi, kisah-kisah post factum, justifications after the facts – achterafpraat kata orang Belanda, fiksi mungkin sekali di­gam­bar­kan sebagai fakta. Para pencatat oral-history memerlukan saringan halus sekali bila mendengarkan kisah-kisah yang umumnya berasal dari memory yang péka berkontaminasi rekayasa.
– Satu hal lagi perlu ditambahkan di sini sebagai faktor yang aktif menyumbang bagi kekisruhan dan pengaburan penulisan sejarah tentang peritiwa G30S. Berbagai kajian oleh pakar, wartawan sampai kepada para awam terlalu percaya pada referenties, bangga bisa merujuk pada nama-nama orang tertentu untuk melegitimasi uraiannya, sebab itulah cara presentasi yang rupanya dianggap “ilmiah”. Sumber-rujukan padahal tidak lain adalah rekayasa, tetapi dikunyah-kunyah, dikutip-kutip dan yang mengutip pun dikutip lagi. Kutip-mengutip seperti itu berjalan bertahun-tahun sampai-sampai dipercayai sebagai kebenaran; akhirnya tidak ada lagi yang merasa perlu memper­soalkan asal-usul sumber-rujukan yang sebenarnya bulat-bulat omong kosong.
     Di luar negeri ada seorang jurnalis mendapat predikat ilmuwan, dia meraih gelar PhD dengan disertasi orijinal sekali – lain daripada yang lain – sebab dia bisa menjawab siapa penyebab peristiwa G30S. Ternyata menurut sang jurnalis-ilmuwan: bukan PKI, bukan Angkatan Darat, bukan CIA, tetapi Sukarno-lah biangkeladi G30S. Sumber-rujukan paling otentik bagi sang ilmuwan-anyaran itu ternyata tidak lain adalah hasil sebuah intero­­gasi produk rejim Orde Baru di bulan-bulan awal sesudah September 1965. Yang ber­sangkutan sendiri adalah seorang perwira tidak berdaya apa-apa yang kemudian menanggung beban batin berat dalam sisa usia hidupnya gara-gara “kesaksian” yang pernah dia ucapkan atas “permintaan” interogator­nya. Sebagai seorang pencinta Bung Karno, sebelum meninggal dengan pendek dan malas dia cuma bisa berkata kepada penulis: “Sudahlah, tidak perlulah mem­perpanjang-panjang lagi; memang begitu maunya interogator!”
     Butir-butir seperti diuraikan di atas itulah menjadi kabut yang tebal me­nyelimuti penulisan sejarah peristiwa G30S. Yakin pada prinsip demokrasi, kita dengan sendirinya mengakui sepenuhnya hak se­seorang untuk menulis dan menyatakan pendapat dengan bebas, termasuk pendapat yang paling ngawur sekali pun. Semua tulisan dan kajian terpulang tanggung-jawabnya pada pemegang copyright masing-masing, juga terpulang kepada pembaca bagaimana me­nanggapinya – menelan mentah-mentah, kritis menyaring memilah-milih, atau melempar apa yang di­bacanya ke keranjang sampah. Tetapi dalam satu hal di sini kita tegas, semua analisis tentang peristiwa G30S tanpa melihat realitas semasa – yaitu Perang Dingin (baca Soebadio Sastrosatomo, 1995) – apriori kita anggap mengandung kelemahan serius, punya nilai sangat rendah bila tidak mau dikatakan mengkorup fakta. Sebab Perang Dinginlah menjadi faktor penentu dan mengambil peran dominan mengubah Indonesia mendadak berjalan ke arah lain. Pada tahun 1965 terjadi arus-balik yang bukan saja mengubah konfigurasi politik Indo­­nesia secara mendasar, tetapi juga telah mengubah pentas politik dunia.
     Sesudah menerbitkan buku DOKUMEN CIA kita sekarang melun­curkan buku yang disusun oleh Harsutejo berjudul “G30S – Sejarah Yang Digelapkan”. Buku ini tidak berpretensi sebagai hasil penelitian atau suatu discourse ilmiah; dengan rendah hati penulisnya menyebut diri sebagai penyusun. Uraiannya merupakan sebuah kompilasi yang di­rangkum dari berpuluh-puluh sumber literatur dan interview yang berkaitan dengan peristiwa G30S – lihat saja daftar kepustakaan yang dia gunakan di akhir buku ini. Kerajinan membaca dan ketekunan luar biasa telah meng­hasilkan sebuah buku-bacaan – reading-book atau leesboek – dengan narasi yang lancar dan enak dibaca, meski bahan bakunya sangat kompleks de­ngan macam-macam versi dan berbagai sudut-pandang. Buku ini memang bukan mau menjadi text-book (buku-pelajaran) yang berpamrih “melurus­kan sejarah”, namun bila pembaca merasa menjadi lebih mengerti tentang peristiwa G30S yang ruwet itu setelah membaca bahan-bahan informatif lewat terbitan ini, maka kelahiran buku ini sudah bisa dianggap berhasil. Ini memang me­rupakan buku-bacaan umum, konsumsi positif bagi segenap segmen masya­rakat. Dengan sendirinya ini tidak harus berarti bahwa Hasta Mitra mengukuh­kan, membenarkan atau menyanggah apa yang dijabarkan oleh penulis, sebab penyusun naskah maupun pembaca berada di wilayah bebas menulis dan bebas berpendapat yang sama-sama kita hormati. Namun di sini kita ingin tegaskan, bahwa kita menghargai dan menyetujui sikap penyusun yang dalam penggarapan materinya tidak bersikap netral – dia memihak!
     Hasta Mitra yang dikuyo-kuyo semasa rejim Soeharto berkuasa, perlu men­jelaskan di sini bahwa kita bersikap terbuka bagi semua versi yang menulis dan menyatakan pendapat tentang peristiwa G30S, isi uraian boleh-jadi sangat baik, mungkin saja setengah baik, atau pun nonsens sama sekali. Silakan saja – boleh-boleh saja, karena kita berasumsi versi-versi itu dilatar-be­lakangi entah maksud baik, entah ketidak-tahuan/ignorance, entah ke­bodohan. Tetapi kita dengan tegas dan terbuka menyatakan apriori versi Soeharto tidak bisa kita terima, tidak bisa kita tolerir. Kita tidak bisa terima rekayasa sebagai fakta. Absolut kita tolak kebohongan sebagai kebenaran! Sebab semua itu adalah sampah, kebo­hongan yang direkayasa dengan canggih sehingga menjadi suatu sistem lengkap dan utuh yang diberlakukan dengan paksa sepanjang kekuasaan rejim Soeharto. Versi Orde Baru tentang G30S itulah narasi resmi satu-satunya yang me­nguasai kehidupan sosial-politik Indonesia selama 30 tahun – artinya: meragukan versi resmi penguasa berarti anti Pancasila dan anti Soeharto.
     Sudah sejak hari pertama sepanjang 32 tahun dia berkuasa, Soeharto berangkat dengan kebohongan. Para jenderal yang terbunuh, yang patut sekali dihormati dan dikenang dengan segala chidmat, dengan lihay dia gunakan menjadi dalih paling effektif untuk naik ke atas singgasana kekuasaan. Dia sebar cerita rekayasa lewat seluruh suratkabar yang dadakan jadi pendukung Soeharto tentang perempuan-perempuan Ger­wani yang menari-nari telanjang menyayat tubuh para jenderal dengan pisau silet. Terlalu jelas itu satu kebohongan otentik. Begitukah cara menghormati para jenderal yang gugur? Bukankah itu malah merendahkan para jenderal yang patut dihormati? Dia umumkan 1 Oktober sebagai Hari Kesaktian Pancasila – lagi-lagi satu perzinahan politik khas gaya Soeharto meng­gunakan gugurnya para jenderal dan Pancasila untuk me­legitimasi kepemimpinan­nya. Kita perlu ingatkan di sini suatu pertanyaan : apakah yang di­lakukan Soeharto pada 1 Oktober 1965 pada saat kolonel Latif mem­beri-tahukan kepadanya tentang gerakan perwira muda yang akan bergerak menjelang Hari ABRI 5 Oktober 1965?
     Bukankah justru Soeharto yang mengkhianati Pancasila, meng­khianati Saptamarga dan para jenderal rekan-rekannya sendiri dengan membiarkan semua gerakan itu ber­langsung? Kita semua baru tahu be­la­kangan sesudah rencana konspirasi meledak – rupanya informasi kol. Latif itu berkaitan dengan gerakan letkol Untung terha­dap jenderal Yani cs –, tetapi apa yang dikerjakan Soeharto yang sudah tahu beberapa hari sebelum kejadian berlangsung? Mencegahnya? Dia lapor kepada atasan tentang informasi yang dia terima dari kol. Latif?
     Kisah Soeharto dan rejim kekuasaannya adalah kisah-ber­sam­bung tentang kebohongan, pengkhianatan dan keserakahan. Gu­gurnya para jen­deral pendukung Presiden Sukarno menjadi terminal awal keberangkatan kendaraannya menuju ke puncak kekuasaan. Terminal-terminal berikutnya adalah memelintir makna Supersemar, memanipulasi komposisi MPRS, lantas secara “konstitusional” mengkhianati Sukarno. Semua dikerjakan sambil membantai dan menjebloskan ratusan ribu orang­ yang tidak sepikiran dengan dia ke dalam penjara, termasuk Sukarno. Lalu sekarang tinggallah lagi memastikan Golkar menang mayoritas mutlak pada setiap pemilu guna menjamin kemantapan kekuasaannya. Itu kerjaan kotor biasa, Soeharto mahir dan sudah rutin mengorganisir penipuan publik skala besar-besaran secara sah dan konstitusional.
     Dalam rekayasa kebohongan menjadi kebenaran sampai kepada menyelingkuh­ jalannya sejarah, Soeharto didukung penuh oleh para ilmuwan, para pejabat dan jenderal, politisi di parpol dan politisi di DPR/MPR, para pengusaha dan seluruh mesin-indoktrinasi seperti P4/P7, lembaga pendidikan mulai SD sampai universitas, juga seluruh aparat yudikatif kehakiman dan kejaksaan. Para wartawan berikut seluruh surat­kabar dan pers elektronik pun tanpa kecuali semua membantunya. Semua pen­dukung dan para penggembira yang mengelu-elukan Soeharto tidak bekerja sia-sia, bagi mereka peluang emas terbuka untuk naik-pangkat dan mendapatkan jabatan “basah” di pemerintahan, ABRI maupun BUMN. Semua pengusaha pendukung Soeharto pun kiprah bisnisnya. Bermilyar dan trilyunan rupiah mulai mengalir ke kantong-kantong pribadi. Maka lahirlah satu lapisan baru masyarakat, suatu elit baru, elit penguasa berikut pendukung­nya yang dadakan makmur, sejahtera bergemerlapan, kaya-raya tidak ketolongan. Itulah yang dipuja-puja sebagai sukses ekonomi bapak pembangunan Soeharto yang gilang-gemilang.
     Kita selalu berpendapat bahwa kejahatan, kebohongan, keserakahan bisa berlangsung lama, tetapi tidak mungkin untuk selama-lamanya. Di tahun 1998 riwayat Soeharto berakhir, tetapi seluruh rakyat Indonesia sekarang menanggung beban bertrilyun rupiah yang sampai detik ini masih tetap ada di kantong-kantong keluarga Soeharto dan para penggembira­nya. Yang harus disesalkan, kita tidak selalu sadar bahwa yang lèngsèr cuma Soeharto seorang diri saja sebagai pri­badi, sedangkan seluruh perangkat lunak dan perangkat keras kekuasa­an­nya tetap utuh dan terus berfungsi. Ada dua warisan Soeharto yang serius kita abaikan, padahal dua warisan itulah yang berperan menentukan sehingga membuat kita di era reformasi ini berjalan terseok-seok.
     Mau memberantas KKN Orde Baru Soeharto? Kita tentu saja setuju sekali, tetapi kekuatan reformasi terlalu sering melupakan bahwa lebih parah, lebih jahat, lebih serius daripada KKN bukanlah cuma menguras dan mengkorupsi kekayaan bumi tanah-air Indonesia, melainkan menguras dan merusak SDM anak bangsa, sumber-daya-manusia generasi muda rakyat Indonesia. Yang dikuras dan dikorup selama tigapuluh tahun adalah sumber-daya intelektual bangsa, inteligensia kita. Terutama para politikus kita sampai sekarang menjadi terbiasa dan canggih terlatih berekayasa, menganggap abstraksi-abstraksi se­ba­gai fakta, kebohongan sebagai kebenaran. Sebagai warisan yang ditinggalkan Soeharto, inteli­gensia kita di era reformasi ini sampai sekarang masih terus rentan pada konstruksi berpikir yang rancu. Soeharto dan seluruh mesin kekuasaanmya – Golkar sebagai kendaraan politik­nya – sistematis dan efektif menye­leng­gara­kan penyeragaman berpikir alias pembodohan. Jadi bukan saja kris­mon yang kita hadapi, akan tetapi terutama krisis intelektual! Itulah yang kita sebut sebagai lebih parah daripada KKN, bahkan lebih parah daripada pembantaian massal. Itulah warisan pertama dari dua warisan Soeharto yang kita anggap serius dan sangat berbahaya, tetapi terlalu diabaikan.
     Di samping itu, karena terlalu terfokus pada KKN dan mau menyeret Soeharto ke Pengadilan (omong-omong apakah berhasil?-ed), kita pun lupa pada warisan kedua Soeharto. Jenderal militeris dengan Orde Barunya itu, bukan saja merusak kerangka berpikir inteligensia dan politisi kita tetapi juga dengan parah menginfeksi masyarakat awam, suatu segmen masyarakat yang lebih cenderung memakai keyakinan emosi daripada rasio. Manifestasinya adalah: kelahiran fanatisme pada golongan masyarakat tersebut yang pada akhirnya berbuntut pada perilaku terorisme. Kerancuan dan korupnya struktur berpikir politisi kita sekarang dan teror yang merajalela di tanah-air kita, adalah hasil dua pro­duk warisan rejim Soeharto! Celakanya kita terlalu enteng menganggap aparat politik Soeharto yang potensial berbahaya itu, seperti misalnya Golkar, yang justru masih dipersilakan berperan besar dalam era reform pada saat kita mau membangun Indonesia Baru.
     Kita berdosa berat bila kita melupakan semua itu, kita berdosa kepada para jenderal yang gugur, pada ratusan-ribu jiwa yang melayang sepanjang masa kekuasaan Soeharto bila tidak kita reparasi tuntas kerusakan berat itu. Di sini ingin kita tegaskan bahwa kita tidak bisa dan tidak mau terus-menerus menyalah-nyalahkan Soeharto yang sudah lèngsèr, tetapi kita justru mencari kesalahan itu pada diri kita sendiri – pada kekuasaam yang sekarang bertènggèr atas nama Reformasi.
     Apa yang sudah dilakukan barisan reformasi untuk membersihkan dua sampah warisan Soeharto itu? Bagaimana melawannya bila eksistensi dua warisan Soeharto itu saja tidak disadari, tidak mampu men-detectnya dan karenanya tidak di-agendakan dalam kerja mereformasi masya­rakat membangun Indonesia Baru? Padahal di situlah letak akar-masalah kerancuan berfikir dan teror kekerasan di era Reformasi sekarang ini.
     Kita teringat pada peringatan musibah 11 September minggu lalu di tempat kejadian di New York. Seperti diketahui, tahun sebelumnya dalam satu hari gedung kembar WTC yang megah runtuh, tigaribuan orang tewas – spanduk besar membentang di tempat kejadian : “WE WILL NEVER FORGET”.
     Tentulah lebih-lebih lagi Indonesia, musibah bukan terjadi satu hari tetapi 30 tahun lamanya, korban bukan ribuan tetapi berjuta dibunuh dan menderita di penjara-penjara. Kita pun berkata, we will never forget, malah kita tambahkan: we will never forgive, karena yang kita alami bukan sekedar kerugian jiwa dan materi melainkan krisis nalar yang sangat parah.
     Amerika sekarang yang dipimpin George Bush tidak pernah akan melupakan musibah 11 September, dia lalu membalas kekerasan dengan kekerasan, dia membalasnya dengan kebiadaban, dengan teror oleh aparat resmi negara. Kita pun tidak akan pernah melupakan dan memaafkan musibah 30 September 1965, tetapi berbeda dengan Bush kita tidak akan balas dendam, tidak akan membalas kebiadaban dengan kebiadaban. Memang kita pun punya rasa dendam, tetapi bukan dendam untuk melancarkan tindakan tak beradab, tetapi dendam untuk mencegah manipulasi alam penalaran inteligensia kita, mencegah sadisme kekerasan berdarah, mencegah rekayasa kebohongan menjadi kebenaran, mencegah tuntas semua produk biadab rejim Soeharto. Dengan sadar kita akui: kita belum berhasil menghapus produk dua warisan haram Soeharto itu.
     Untuk itulah musibah G30S akan selalu kita peringati. Buku yang kita terbitkan ini sekedar satu sumbangan dalam menangani tugas besar yang ada di hadapan kita. ***

Jakarta, September 2002