Soekarno + Demokrasi Terpimpin = Diktator?


Soekarno + Demokrasi Terpimpin = Diktator?

Mengibas fitnah dan kerancuan berpikir

Joesoef Isak

Prof. Bob Hering dalam waktu dekat akan mem­perkaya kepustakaan dunia dengan dua jilid bio­grafi Bung Karno dalam bahasa Inggris; jilid per­tama direncanakan sudah bisa diluncurkan pada bulan-bulan akhir tahun 2001 ini juga. Walaupun karya Bob Hering belum sampai di tangan, tetapi dia sudah meng­umumkan bahwa pen­dekatan­nya dalam menyu­sun biografi Bung Karno akan sepe­nuh­nya bersifat ana­litik dan interpretatif, bebas dari kultus individu, mitos dan romantisme yang selama ini dia anggap selalu menge­lilingi so­sok Soekarno. Kita berpendapat bahwa semua orang tentu bebas menulis me­ngenai Bung Karno, bebas juga memi­lih pendekat­an yang akan dipakai – kita ha­nya ingin menambahkan bahwa Bung Karno bukan saja dikelilingi pengkultusan individu, mitos dan romantisme, tetapi juga dikepung oleh salah-tafsir dan kerangka berpikir rancu, permu­suh­an dan pra-sangka, bahkan kebencian yang tidak ketolong­an. Dalam Liber Amicorum yang se­derhana ini ­– kumpul­an tulisan para sahabat menge­nang seorang manusia langka Indonesia –, kita ingin berhadap-hadap­an dengan pra-sangka dan pikir­an rancu itu yang selama ini tersebar berserakan di dalam mau pun luar negeri tanpa res­ponse yang memadai.
     Fokus serangan paling utama terhadap dosa Soekarno adalah bahwa dia dengan konsep Demokrasi Terpimpinnya menjadi se­orang diktator; lengkap de­ngan macam-macam adjektif se­perti: dia melin­dungi PKI, dia kejangkitan megalomania, dia tidak urus ekonomi, dia anti-Barat dan se­terusnya. Beberapa ‘ABG’ yang baru meraih gelar aka­demik, politici ingus­an yang baru saja dapat predikat “MP” – Member of Parliament, (anggota DPR/MPR) –, semua epigon kecil itu pada terburu-buru tidak ingin ketinggalan mendapatkan predikat “intelektual” se­perti para patron mereka, tak mau dianggap tidak mengerti demokrasi kalau tidak ikut-ikutan mengkritik Soekarno dan memamah-biak kredo “Soekarno diktator!”, “Demokrasi Terpimpinnya Soekarno otoriter!”

***
Sekarang baiklah kita letakkan terbuka di atas meja barang yang nama­nya “Demokrasi Terpimpin” itu. Digelar terbuka maka langsung kelihat­an dengan gamblang bahwa di atas meja bukan cuma ada satu barang – ter­nyata ada lebih dari satu barang, demokrasi terpim­pin rupanya ada macam-macam. Di sini kita catat beberapa saja yang pa­ling kentara, bahkan sangat mencolok karena tampil dengan telanjang bulat. Barang-barang itu tak mungkin ditutup-tutupi – walau­ pun tampak tum­pang-tindih seakan kusut me­nyatu –, namun masing-ma­sing me­nge­luarkan bu­nyi dan memperlihatkan diri sendiri secara transparan.
     Kusut tum­pang-tindih tidak peduli – para pakar politik yang tak suka pada Bung Karno dengan cara simpel saja menggantungkan satu label dengan satu nama saja bagi macam-macam barang yang masing­-masing sangat berbeda itu: “Demokrasi Terpim­pin”. Mereka merasa tidak perlu mengkaji lebih dalam atau mena­nya-nanya lebih lanjut: demo­krasi terpim­pin yang bagaimana, konsep siapa? Siapa yang diktator sesung­guh­nya? Rupa­nya biarlah dipikul oleh Soekarno saja semua itu! “Demokrasi Terpimpin” menjadi suatu nama kolektif, sebuah verzamelnaam, istilah tempat dikumpulkan segala macam yang jelek untuk digantungkan pada leher Soekarno. Tetapi marilah kita lihat apa yang ada di atas meja.

1. Demokrasi Terpimpin dalam Abstraksi

Yang pertama kita lihat adalah “Demokrasi Terpimpin” sebagaimana dipa­hami, diyakini dan ditafsirkan oleh para cendekia yang meng­anggap Soekarno diktator. “Demokrasi Terpimpin” dalam persepsi kategori pertama ini jelas diametral bertentangan dengan ke­yakinan “demokrasi” yang mereka sendiri anut. Menurut pemahaman kate­gori pertama ini, demokrasi adalah dunia bebas dan pasar bebas. Di luar itu, semua paham dan ideologi – komunisme, Islam fundamentalis atau bukan, netralisme, non-blok, Pancasila, pendek kata semua itu harus dikelompokkan dalam sejenis iblis yang wajib ditumpas.
     “Demokrasi Terpimpin” se­perti yang mengendap dalam benak kate­gori golongan pertama ini, jelas tidak ada urusan sama sekali de­ngan Soekarno. Sedikit pun tidak ada titik-singgung de­ngan wawasan demokrasi terpimpin sebagaimana dicita-citakan dan didambakan berjalan dalam praktek oleh Soekarno. “Demokrasi Terpimpin” yang dide­ngung-de­ngungkan oleh golongan kategori pertama ini tidak lain ha­nya suatu abstraksi. Tidak lebih daripada suatu reïfikasi, suatu produk kutak-katik otak mereka sendiri yang kemudian mereka anggap, mereka percayai, bahkan mereka terima seakan sebagai ke­nyataan yang ber­ada di luar eksistensi mereka. Meski abstrak, tetapi begitu­lah tuduhan yang ngotot dilempar ke muka Presi­den Soekarno, hujatan yang dikena-kenakan ke­pada konsep-konsep politik Soekarno yang sama sekali bukan konsep Soekarno. Peme­gang copyright Demokrasi Terpimpin sendiri sama sekali tidak pernah membayangkan demokrasi seperti yang ada dalam persepsi orang-orang dalam golongan pertama ini. Orang-orang ini dan semua kelompok anti-Soekarno tanpa kecuali, tidak tahu dan tidak mau tahu bahwa demokrasi terpimpin yang mereka kutuk itu sebenarnya ada­lah kreasi mereka sendiri.

2. Demokrasi Terpimpin Angkatan Darat

Kategori kedua yang juga tampak jelas dalam kekusut­an itu adalah “Demokrasi Terpimpin” yang didukung dan diupayakan dengan se­gala cara oleh militer/TNI, lebih khusus Angkatan Darat di bawah jenderal Nasution semasa periode Bung Karno, terutama sejak 1952 sampai 1965, kemudian dilanjutkan dengan mantap dan sukses gemilang oleh jenderal Soeharto semasa rejim Orde Barunya. Demokrasi Terpim­pin konsep Ang­katan Darat ini bukan fiktif, tidak abstrak tetapi nyata berjalan dalam praktek dan “100 persen mendukung Soekarno”, Pre­siden/Panglima Ter­tinggi/Pemimpin Besar Revolusi. Memang terdapat titik-singgung de­ngan Demokrasi Terpimpin konsep Bung Karno, akan tetapi tidak lebih daripada sebatas permainan semantik saja, sebab sama-sama dua barang yang total berbeda itu memakai satu nama yang sama: “demokrasi terpimpin”. Dari segi substansi, hakekat dan semangat, dua macam Demokrasi Terpimpin ini sepenuhnya sa­ling berten­tangan. Mekanisme pelak­sanaan atau kendaraan yang dipakai guna mereali­sasi konsep demokrasi à la Angkatan Darat ini, ada­lah garis hiëarki skala nasional dari pusat sampai ke daerah, mulai dari markas besar, kodam, kodim, koramil, dan babinsa – itulah yang dinamakan konsep pengua­saan teritorial. Semua berjalan sepenuhnya sejajar dengan mekanisme kekuasaan birokrasi sipil dalam skala nasional, mulai dari pusat pada tingkat propinsi, turun ke kabupaten, kecamatan dan kelurahan.
     Jenis demokrasi terpimpin yang didukung Angkatan Darat dengan Demokrasi Terpimpin Bung Karno sesungguhnya merupakan dua tubuh, dua roh ber­beda. Soekarno dan Angkatan Da­rat sebagai insan, sebagai wacana, sebagai state of mind ada­lah dua entity yang saling bertentang­an. Pada titik itulah kekisruh­an mulai muncul: orang-­orang yang tidak menyukai Soekarno di sini mulai menggunakan kriteria ganda. Mereka tidak prinsipiil menentang demokrasi terpim­pin, asal saja dalam konsep demokrasi seperti itu yang memimpin adalah Angkat­an Da­rat, bukan Soekarno. Asal demokrasi terpim­pin seperti itu mengga­nyang atau pa­ling tidak menghambat komunisme dan PKI, maka demokrasi terpimpin seper­ti itu absah dan halal sekali ada­nya!
     Kita tidak usah jadi pakar politik dengan gelar PhD untuk mengetahui bahwa siapa yang sebenarnya berkuasa semasa Soekarno jadi Presi­den. Soekarno memang oleh militer ditolerir pegang kekuasaan formal, tetapi kekuasaan rieel selalu berada di ta­ngan kekuatan yang memang betul-be­tul rieel berkuasa sesungguhnya, yaitu: Angkatan Darat. Angkatan Darat yang pegang kekuasaan konkret dengan senjata di tangan, de­ngan landasan legal yang mensahkan konsep “pengua­saan teritorial” untuk me­ngontrol seluruh kegiatan masya­rakat si­pil. Kita akan memerlukan bebera­pa bab untuk mengurai struktur kekuasaan dan mekanisme kekuasaan yang berjalan semasa periode-periode tertentu Soekarno, sejak 1945 sampai 1950, mulai 1950 sampai 1957, dan lebih-lebih lagi sesudah 1957 sampai 1965. Kita perlu sekali mengajukan satu pertanyaan kunci: betulkah Soekarno berkuasa apalagi sangat berkuasa untuk berbuat kesewenangan bagaikan seorang diktator?
     Uraian pengantar ini bukanlah suatu discourse ilmiah, tetapi penga­lam­an nyata jurnalistik yang ingin menjelaskan masalah di sekitar “demokrasi terpimpin” yang segala­nya mau digeser pada tanggung-jawab Soekarno. Untuk itu kita catat di sini beberapa butir kejadian saja yang telah menentukan perjalanan sejarah Republik kita. Para pembaca ingin kita ajak melacak le­bih dalam dan le­bih serius siapa yang sebenarnya pegang kekuasaan rieel dalam Repu­blik kita ini. Bagaimana pro­ses Demokrasi Terpimpin konsep Ang­katan Da­rat tahap demi tahap menjadi terealisasi dalam praktek. Bagaimana oposisi diberangus, penang­kap­an an­tara lain Pramoedya Ananta Toer dan Sutan Sjahrir dkk., pengekangan pers, bahkan pada akhirnya menamatkan riwayat kekuasaan Soekarno.

– 1945-50. Pemberlakuan sistem kabinet parlementer, yang jelas bertentangan dengan Konstitusi R.I. yang menganut azas kabinet presi­densial. Demi demokrasi, demi persatuan dan kesatuan, Bung Karno merelakan melepas kekuasaannya sebagai Presiden. Pesta demokrasi liberal se­perti itu ujung-ujungnya sempat melahirkan sampai 50 partai politik lebih.

– Peristiwa 17 Oktober 1952: tuntutan terbuka Angkatan Darat untuk membubarkan parlemen. Ketika itu Bung Karno masih menolak karena dia tetap setia pada Konstitusi.

– Pemberontakan PRRI/Permesta, pemberlakuan SOB, keadaan darurat pe­rang, dalam kaitan perjuangan merebut kembali Irian Barat. Siapa diuntungkan dengan pemberontakan PRRI/Permesta dan SOB ini?

– Nasionalisasi perusahaan-perusahaan raksasa Belanda (The Big Five), awal masuknya Angkatan Darat ke bidang ekonomi, mulainya jenderal-jenderal jadi direktur utama perusahaan negara, mula-mula di bidang niaga, meningkat ke industri sampai menguasai ladang-ladang mi­nyak dan mine­ral lainnya.

– Dekrit 5 Juli 1959 kembali ke UUD-45, dengan Ang­katan Darat menjadi pendukung dan motor penggerak utama. Maka kesempatan terbuka luas untuk melansir demokrasi terpimpin versi Angkatan Darat de­ngan label konsepsi Soekarno. Jangan dilupakan juga peng­angkatan Soekarno sebagai Presiden seumur hidup oleh Soksi sebagai komponen kekuatan Angkatan Darat. (Sesudah 1965, gunjingan politik beredar bahwa semua itu menunjukkan ambisi Soekarno yang gila kekuasaan dengan dukung­an PKI).

– Konfrontasi Irian Barat dan Konfrontasi Malaysia – kesempatan emas bagi Angkatan Darat yang mengontrol seluruh negeri lewat konsep pengua­saan teritorial, untuk lebih leluasa lagi menguasai anggaran belanja dan meme­gang mandat-blanko untuk mengadakan pembelian senjata besar-besaran.

Belum lagi kita lihat bagaimana Angkatan Darat menunggangi budayawan, sastrawan dan wartawan dengan konsep Manikebu dan BPS; semua itu dalam satu grand scenario Perang Dingin yang mengemban missi menying­kirkan PKI sampai kepada Soekarno. (Baca: Peter Dale Scott, hal. 278 buku 100 tahun Bung Karno). Kita tidak mempersoalkan di sini sikap politik atau sikap budaya para sastrawan dan wartawan yang menentang doktrin-doktrin komunis, karena hal itu menjadi hak mereka yang sah-sah saja. Masalahnya terlalu jelas sekali bagaimana Angkatan Darat menunggangi – bila tidak mau dikatakan mendalangi – quote unquote peristiwa kebudayaan ini. Begitu PKI bubar dan Soekarno jatuh, Manikebu dan BPS (Barisan Pendukung Soekarno) sebenar­nya bisa hidup aktif kembali bila memang mempunyai missi mengemban suatu konsep kebudayaan, tetapi rupa­nya Mani­kebu dan BPS sudah tidak diperlukan lagi sebab PKI dan Soekarno sudah hancur. Mission Accomplish!
     Begitulah kiprah Demokrasi Terpimpin versi Ang­katan Darat yang berlangsung dengan sukses besar. Setiap orang yang peduli demokrasi bersikap benar bila menolak tegas demokrasi terpimpin se­perti itu! Yang keliru sama sekali di sini adalah bahwa segala kutukan dan sum­pah­-serapah menjadi salah alamat, sebab semua itu dilemparkan kepada Soekarno yang secara konsepsional sama sekali tidak ada kaitan dengan demokrasi terpim­pin terkutuk itu. Orang-­orang yang à priori anti Soekarno tidak bisa atau tidak mau membedakan antara konsep-konsep sosial-politik Soekarno dan manuver-manuver so­sial-politik militer cq Angkat­an Darat yang jalin-menjalin dengan konsep-konsep Soekarno itu, karena militer memang selalu “loyal mendukung” Presiden dan Pang­lima Tertinggi­nya. Soekarno di satu pihak dan Nasution/Soeharto sebagai militer di lain pihak sama-sama mendukung demokrasi terpimpin dan wawasan persatuan/kesatuan bangsa dan negeri. Tetapi ke­­samaan itu cuma me­nyangkut kulit, sama sekali berbeda dalam isi dan motivasi. Soekarno melansir demokrasi terpimpin untuk membela rakyat yang selalu dikalahkan oleh mayo­ritas politisi di DPR (Parlemen); militer juga mendukung demokrasi terpimpin tetapi karena memerlukan kepemimpinan ketat demi mengontrol pe­nguasaan teritorialnya. Soekarno menganjur-anjurkan persatuan dan kesatuan untuk menggalang kekuatan dan memberdayakan segenap rakyat memba­ngun dan mewujudkan cita-cita sosial-politiknya. Militer juga berwawasan persatuan dan kesatuan, tetapi beda­nya lagi-lagi untuk me­ngontrol seluruh wilayah Indonesia yang mereka anggap sebagai lahan sumber kekayaan yang perlu mereka kuasai. Ini sudah berjalan sejak SOB pertengahan 50-an, dan menjadi terbuka tanpa malu-malu lagi semasa Orde Baru sesudah Soekarno di­singkirkan.

3. Demokrasi konsep PKI

Kita tahu bahwa sebelum 1965, dua organisasi besar paling kuat dan terorganisir paling baik adalah Angkatan Darat dan PKI – bila memin­jam nomenklatur Bung Karno, dua organisasi itu mestinya sama-sama positif merupakan komponen potensi nasional – namun dua kekuat­an itu justru bersaing sengit dengan niat akan merasa senang sekali bila mereka berhasil mematahkan batang leher saingan­nya. Angkat­an Darat dan PKI yang saling bersaing, sama-sama menjadi “pendu­kung” Presiden/Pemimpin Besar Revolusi/Panglima Tertinggi. Bila diterjemahkan de­ngan bebas, itu berarti masing-masing punya skenario sendiri-sendiri tetapi sama-sama mencoba meng­ambil hati Pre­siden, atau lebih tepat: sama-sama menunggangi wibawa Presiden Soekarno untuk mencapai keuntungan politik. Dalam praktek, Ang­kat­an Darat berada dalam posisi menang yang jauh lebih meng­untungkan ketimbang PKI yang sebenar­nya kelebihan ber-wishfulthinking bahwa mereka sudah mencapai hegemoni politik dalam pertarungan se­ngit itu. Ekonomi sama sekali tidak di tangan PKI, sebaliknya Ang­katan Darat punya akses terhadap roda perekonomian dan mereka lebih leluasa menggunakan aparatur dan mekanisme birokrasi; yang terpenting tentulah bahwa Angkatan Darat pegang senjata dan mengontrol seluruh teritorial Indonesia, di kota mau pun di desa.
     PKI seperti juga Angkatan Darat mendukung Demokrasi Terpim­pin, dan sebagai partai yang percaya bahwa revolusi harus diusahakan bertahap dan me­ningkat, maka mereka secara teoretis cenderung memilih suatu bentuk demokrasi yang cukup progresif tetapi tidak radikal. Rujuk­an PKI mengarah pada suatu pola “demokrasi nasio­nal”, pola pengalih­an kekuasaan bertahap dengan mendudukkan tokoh nasionalis progresif sebagai penguasa/pimpinan pemerintahan. Rujukan di sini mengarah kepada peng­alihan kekuasaan pola Czekoslowakia dari Masaryk kepada Gott­wald, pola Kuba dari Batista kepada Castro dan terakhir pola Aljazair dari Ben Bella kepada Boumediènne. Ben Bella semula diteri­ma sebagai seorang revo­lu­sioner, tetapi dianggap kemudian mengalami dekadensi borjuis. Sebagai wacana teoretis, wawasan “demo­krasi nasio­nal” tersebut memanglah menarik tetapi tidak relevan dalam praktek, karena dalam kondisi Indonesia pimpinan nasionalnya berbeda sekali dari tiga negeri yang disebut sebelumnya. Presiden Soekarno bukanlah pim­pinan yang perlu digeser, dia bahkan bukan sekedar nasionalis tetapi nasio­nalis kiri yang membela rakyat-rakyat tertindas Asia-Afrika menentang kolonialisme dan imperialisme.
     Kita sekedar memberikan gambaran di atas agar menjadi jelas, bahwa Soekarno dengan konsep-konsepnya – termasuk Demokrasi Terpimpin – menghadapi 1965 tidak berjalan mulus sendiri tanpa intervensi dan macam-macam gangguan dari kanan dan kiri.

4. Demokrasi Terpimpin yang sebenarnya

Yang ada di atas meja walaupun tertindih bermacam barang rongsok­an adalah Demokrasi Terpimpin yang sebenarnya, yang asli atau demokrasi sebagaimana dimaksudkan dan dicita-citakan Soekarno, bapak rohani­nya sendiri, sang author pemegang copyright yang sah. Ini pun berlangsung lewat proses dan kurun waktu yang panjang. Sejak Soekarno muda terjun ke dunia politik di akhir tahun 20-an dan awal 30-an, dia sudah punya wacana tentang demokrasi sebagaimana yang dia idealisasi. Sudah jelas demokrasi Barat atau demokrasi liberal sejak semu­la dengan tegas dia tolak. Sebutlah masa itu sebagai periode “meraba-raba”, sebab Soekarno muda tegas tahu apa yang dia tolak tetapi di lain pihak belum jelas merumus demokrasi bagaimana yang dia ingini. Sepanjang mengikuti karier politiknya, Soekarno dalam tulisan dan pidatonya yang berjumlah jutaan kata, nyaris kita tidak jumpai istilah “demokrasi terpim­pin”, juga tidak kita jumpai istilah itu dalam pidato puncak­nya sebagai pemikir dan pemimpin nasion ketika dia meng­ucapkan Pidato Pancasila pada 1 Juni 1945. Sebagai istilah politik, mulai kita kenal “demo­krasi terpim­pin” (guided democracy, geleide democratie, democracy with leadership, dsb.) menjelang Soekarno terpaksa meng­adakan sane­ring atas inflasi 50 lebih partai politik; itu pun tidak dibabat sampai tiga partai se­perti yang dilakukan Soeharto, melainkan masih sebelas parpol di­biarkan hidup.
     Mempelajari konsep-konsep dan wawasan pemikir­an Soekarno secara utuh dalam totalitasnya, maka kita lihat bahwa konsep demokrasi Bung Karno erat sekali berkait dengan suatu wawasan dwitunggal, yaitu perjuangan di satu pihak dan persatuan dan kesatuan nasion di lain pihak. Demokrasi dianggap kosong tak ada gunanya bila tidak bisa memperjuang­kan kemerdekaan, keadilan dan kesejahteraan rakyat, selanjutnya perjuang­an pun akan sia-sia bila tak mampu menyelenggarakan kesatuan dan persatuan yang sangat diperlukan untuk menggalang kekuatan yang akan mampu mewujudkan kemerdekaan, keadilan dan kesejah­tera­an rakyat itu.
     Seorang penulis biografi politik Soekarno dari Jerman keliru sekali ketika ia mengatakan bahwa kesalahan besar Soekarno yang menyebabkan kejatuhannya adalah karena ia coûte que coûte anti Barat. Tetapi pakar Jerman itu akan benar sekali bila dia mengatakan bahwa Soekarno digulingkan dari kekuasaannya karena dia tidak berpihak ke kubu kapitalisme Barat, tegas menolak sistem demokrasi Barat. Soekarno tidak percaya bahwa sesudah mekanisme demokrasi berjalan, sesudah 50% tambah satu anggota di Parlemen meng­ambil keputusan, maka jutaan rakyat yang tertindas harus senang dan puas menerima nasib mereka yang sudah diputuskan secara demokratis oleh mayo­ritas di dewan perwakilan rakyat itu. Soekarno sama sekali bukan anti Ba­rat, tidak pernah capèk ia membangkitkan kesadaran politik massa sebelum dan sesudah Indonesia merdeka dengan membesar-besarkan makna revolusi Prancis dan Amerika, founding fathers kemerdekaan Amerika seperti Abraham Lincoln dan Thomas Jefferson yang dia puja. Soekarno secara terbuka tegas mengakui sumbang­an pencerahan para pemikir Barat itu bagi kemerdekaan nasional dan hak inidividu atau hak-hak azasi manusia. Tetapi Soekarno juga menyadari setelah menelusuri sepanjang sejarah politik modern di mana pun di dunia, bahwa rakyat tertindas yang ingin memper­baiki nasibnya umumnya selalu pada akhirnya berada di pihak yang kalah – kaum pemodal/kapitalisme selalu menang dan berhasil memulihkan kembali status quo kepada kondisi yang menguntungkan bagi­nya. Tetapi menurut Bung Karno rakyat pasti bisa menang, hanya apabila mereka dapat membangun kekuatan dengan menggalang persatuan dan kesatuan di an­tara mereka. Di sini kita lihat bahwa persatuan dan kesatuan nasion menurut konsep Bung Karno bukanlah suatu mega­lomania untuk mencapai kejayaan “Indonesia Raya”, tetapi memang merupakan prasyarat dan bagian dari konsep demokra­si Bung Karno dan perjuangan menegakkan demokrasi itu sendiri.

Konsep Demokrasi Terpimpin mana yang berjalan?

Apa yang dapat disimpulkan dari deskripsi bebera­pa wajah “demokrasi terpimpin” yang diuraikan di atas?

Yang berjalan dan terlaksana dalam praktek ada­lah demokrasi terpimpin yang otoriter dan represif, demokrasi terpimpin konsep Ang­katan Darat yang memakai label “Soekarno”. Fakta ini terbuka dan menjadi le­bih jelas pada saat Soekarno sudah berhasil disingkirkan. Demokrasi Terpimpin Angkatan Darat kemudian leluasa berkiprah dalam optima forma di bawah pimpinan jendral Soeharto, dan sekali lagi di sini terjadi permainan semantik. Demokrasi Terpimpin yang otoriter dan represif itu sekarang memakai nama baru: “Demokrasi Pancasila”, dan menurut dunia Barat yang menyebut diri “dunia bebas”, demokrasinya jenderal Soeharto itu sepenuhnya akseptabel karena dia sudah berjalan di garis yang benar: menying­kirkan Soekarno, menghabisi PKI dan semua kekuatan kiri.
***

Lantas bagaimana dengan Demokrasi Terpimpinnya Soekarno?

Pene­liti yang jeli dan jujur akan sampai kepada kesimpulan bahwa konsep Demokrasi Terpimpin Soekarno sebenarnya tak pernah ber­kesempat­an membuktikan diri kegunaan dan kebaikannya untuk masyarakat. Jangan­kan mencapai usia dewasa atau remaja, dia sudah mati dalam masa embrio­nya. Di situlah tragedi besar pejuang pembebas dan pemersatu nasion Indonesia itu. Demi demokrasi dan persatuan bangsa, sejak 1945 dia rela dan membiar­kan wewenang-wewenang formal­nya sebagai Presi­den dipreteli. Soekarno selama resmi jadi Pre­siden dari tahun 1945 sampai 1965 sebenarnya baru enam tahun terakhir memegang kekuasaan efektif secara formal, yaitu dalam kurun waktu yang disebut periode Demokrasi Terpim­pin. Itu pun “didampingi” oleh kekuasaan teri­torial militer yang efisien dan efektif, dan dikepung global oleh kekuatan Pe­rang Dingin yang berkepentingan menyingkirkan PKI sekalian berikut Soekarno sendiri.
     Pakar politik berikut epigon-epigon ingusan yang tidak bisa melihat fakta gajah di depan mata seperti itu, lantas tak berhenti-henti sampai sekarang menuding-nuding Soekarno diktator dengan konsep Demokrasi Terpimpinnya itu. Kebutaan seperti itu, tentu hanya bisa kita simpulkan disebabkan oleh beberapa kemungkinan: para pakar itu keliru kerangka berpikir­ mereka, terdapat “denkfout” pada ana­lisis mereka, atau memang bodohnya sudah tidak ketolongan, atau memang tahu semua ini tetapi sengaja memelintir kebenaran.
     Berbicara tentang memelintir kebenaran, patut kita catat di sini sesuatu yang luar biasa sekali sejak berdirinya Republik kita ini. Militerisme Indonesia yang dipimpin jendral Nasution dan dilanjutkan oleh jenderal Soeharto telah mewarisi kepada bangsa Indonesia suatu keterampilan sangat canggih dan pa­ling orijinal. Yaitu: bagaimana de­ngan cara yang sah, legal dan konstitusional merebut kekuasaan dan membungkam lawan guna melanggengkan ke­kuasa­an itu. Pakai peluru atau masukkan lawan dalam penjara tidak menjadi masalah, asal serba konstitusional. Itulah warisan militerisme Indonesia yang sampai sekarang masih sekali-sekali dipraktekkan.
     Setelah Presiden Soekarno menyampaikan pidato pelengkap Nawaksara-nya pada bulan Januari 1967, MPRS di bawah pimpinan jendral Nasution tetap memecat (impeach) Soekarno dari fungsi kepresidenannya. Presiden Soekarno dengan segala kemauan baik­nya tentu tidak bisa menduga politik dan mo­ral komplotan yang sedang dia hadapi ketika itu. Dengan atau tanpa pidato pelengkap Nawaksara, bahkan andai­kata Bung Karno bersedia meninggalkan prinsip-prinsip­nya sendiri dengan mendekritkan pembubaran PKI, dia tetap tidak punya jamin­an apa pun bahwa dia tidak akan dipecat dari fungsinya sebagai Presi­den. Sebaliknya kita sudah bisa melihat langkah tahap demi tahap bagaimana jenderal Nasution dan jenderal Soeharto mengerahkan segenap kekuasaan teritorial­nya untuk memani­pulasi konstituante dan konstitusi segera setelah mereka berhasil menum­pas gerakan 30 September letkol Untung. Dalam sejarah Repu­blik kita untuk selamanya akan tercatat satu Perio­de militerisme Indonesia, periode di mana perebutan kekuasaan, pelanggaran hak-hak azasi dan perkosaan kebebasan individu dan menya­takan pendapat, bisa berlangsung resmi, sah secara konstitusional, legal sesuai hukum dan prosedur; selanjutnya azas impunity berlaku juga bagi korupsi skala mil­yaran dan trilyunan.
     “Elit” kita yang vokal dan yang sekarang duduk di DPR  (Parlemen) rupanya menjadi pewaris sah dari para senior mereka di tahun 1966-1967 yang melancarkan makar/coup terhadap Presiden Soekarno dengan memperkosa konstitusi secara sah sesuai hukum dan prosedur. Walaupun begitu, yang diktator tetaplah Soekarno dengan konsep Demokrasi Terpimpinnya!
     Kita semua tahu Demokrasi Barat punya kesem­pat­an hidup dan praktek seabad lebih sebelum dia mantap dan mapan diterima sebagai sistem politik dan berlaku dalam tata hidup bernegara – tetapi dari Demokrasi Terpimpinnya Soekarno yang masih bayi merah dan dibantai pula dalam pembunuhan massal, oleh “para pakar demokrasi” diharapkan sudah bisa memberikan hasil instant seperti orang menyedu kopi tubruk. Karena tak mungkin memunculkan ke­ajaiban seperti itu, maka Soekarno adalah diktator ....
     Pada saat Presiden Soekarno menganggap fase pembenahan politik sudah selesai, Irian Barat sudah kembali ke pangkuan "Ibu Pertiwi", maka Soekarno menganggap sudah waktunya untuk membenah­i masalah-masalah ekonomi. Dengan bantuan antara lain para teknokrat PSI, pada 1963 disusunlah strategi pola pembangunan yang rumusannya dinamakan "Dekon" (Deklarasi Ekonomi). Dekon ini pun mati dalam masa janinnya, terminasi dadakan terjadi akibat Peristiwa 30 September yang di­susul oleh pembantaian massal, tetapi para pemfitnah tetap memaki Bung Karno tidak urus ekonomi. Rupanya mukjizat masyarakat makmur dan adil diharapkan harus bisa terwujud dalam masa dua tahun ....
     Sebenarnya lebih kejam daripada fitnah dan pembunuhan sekaligus, ada­lah kebodohan. Bagaimana berargumentasi dengan orang bodoh yang tidak mampu melihat bahwa Soekarno jelas-jelas tidak punya bakat menjadi diktator. Orang bodoh pun rupanya tidak bisa tahu apa artinya diktator, apa syarat-syarat menjadi diktator. Bukankah orang hanya bisa menjadi diktator bila dia tidak memiliki hati-nurani, bila dia tegar tanpa ragu mampu me­ngirim lawan-lawannya ke akherat, atau paling kurang mengeram mereka di penjara tanpa ada urusan pengadilan segala. Mampukah Soekarno melakukan kekerasan dan kekejaman seperti itu?
     Untuk ikut menjawab pertanyaan itu kita merujuk kepada Sitor Situmorang yang juga menyumbang tulisan dalam Liber Amicorum ini. Dalam perjalanan kehidupan politiknya, kita dapat mencatat apa yang dikatakan Sitor sebagai “Moments of Truth Bung Karno”. Di awal tahun 1966 berlangsung suatu adegan di istana Bogor yang patut dicatat sebagai puncak The Moment of Truth Soekarno. Dalam suasana genting dan berbahaya, Willem Oltmans, wartawan Belanda yang dekat de­ngan Bung Karno berkata kepada Bung Karno: “Bapak, keadaan berbahaya sekali bagi bapak. Penuhi sajalah tuntut­an para jenderal, bubarkan PKI!”, demikian ucapan sang wartawan de­ngan segala kemauan baik. Bung Karno dengan sinar mata yang tajam langsung menyambar pergelangan tangan Willem Oltmans, sambil berkata dalam bahasa Belanda: “Wim, kamu kira aku tidak tahu apa yang sedang terjadi sekarang? Aku belum ucapkan satu patah kata pun, sudah ribuan orang dibantai habis! Apa jadi­nya kalau aku omong bubarkan PKI?!” Kira-kira begitulah dialog yang terjadi antara Soekarno dan sang wartawan. Kisah yang sama bisa kita dengar juga dari Roeslan Abdulgani. Demi negeri dan nasion, bagi Bung Karno persatuan dan kesatuan menjadi di atas segala­-galanya! Bung Karno memi­lih jadi tumbal, meski punah sebagai pribadi dan hancur karier politiknya. Itulah yang kita sebut puncak The Moment of Truth of Soekarno, itulah Soekarno yang sebenarnya, utuh dalam totalitas kebenarannya.
     Walaupun hanya omongan post factum – bila Soekarno mau ber­lawan ketika itu –, pastilah Soeharto dan Kostrad mampu dilindas habis oleh massa rakyat bersama mayo­ritas prajurit TNI, KKO-ALRI, PGT-AURI, apalagi masih cukup banyak jenderal yang ketika itu tetap se­tia bulat kepada "Pemimpin Besar"/Panglima Tertinggi­nya. Tetapi kemenangan seperti itu pasti dicapai hanya sesudah lewat perang saudara dan pertum­pahan darah. Kalau ada setitik saja mengalir pikiran diktator pada Bung Karno, jalan sejarah tentu akan berbeda. Seperti dikatakan Sitor The Moment of Truth Soekarno memilih Kebenaran di atas keselamatan pribadi, memi­lih teguh pada prinsip persatuan dan kesatuan nasion di atas segalanya. Ke­kerasan dan pertumpahan darah coûte que coûte dihindari walaupun kemenangan jelas berada di depan mata – melihat semua kenyataan itu, apakah bukan fitnah rendah menuduh Soekarno diktator?
     Pramoedya Ananta Toer pernah mengucapkan kata-kata bersayap, dia berkata: “Bung Karno adalah politikus dan negarawan satu-satunya dalam sejarah politik modern dunia, yang menyatukan negeri dan nasion tanpa mengalirkan setetes darah pun!” Pramoedya lalu membandingkannya dengan “demo­krat pancasilais” Soeharto. Untuk memba­ngun Orde Barunya, jenderal Angkatan Darat itu membantai dan menjebloskan ke penjara tanpa proses pengadilan berjuta warga-negara­nya sendiri! Sulit berargumentasi dengan orang-orang yang tak mampu melihat semua itu, tidak melihat srigala di depan matanya, apa­lagi melihat srigala itu sebagai kelinci.
     Di awal pengantar ini, kita sudah mengutip Prof. Bob Hering yang dalam biografi Bung Karno, in­­­gin membebaskan tulisannya dari sega­la pemujaan pri­badi, mitos dan romantisme yang dia anggap menge­lilingi Soekarno. Liber Amicorum ini pun dengan rendah hati ingin mengibas segala fitnah, kotoran dan ke­rancuan berpikir yang bukan saja menge­lilingi Bung Karno, akan tetapi melekat di tubuhnya karena dicampakkan kepadanya.
     Uraian yang agak panjang tentang “demokrasi terpimpin” ini tidak lain mau mengimbau terutama kepada mereka yang selama ini bersikap kurang kritis, hanya menelan mentah-mentah rujuk­an “para pakar, politikus, wartawan” yang kerjanya tidak lain hanya bertujuan mendiskreditkan Soekarno. Bila hal itu terjadi 50 atau 30 tahun yang lalu, barangkali kekeliruan sikap seperti itu masih bisa dimaklumi sebagai ketidak-tahuan, ignorance, atau latah takut dianggap tidak intelektual, takut tidak dihitung sebagai pendukung orde baru, bila tidak ikut-ikutan mengkritik Soekarno. Tetapi setelah meng­alami 32 tahun rejim Orde Barunya Soeharto, mestinya kesadar­an berpikir sudah harus timbul untuk bisa menentukan mana yang demokratis dan mana yang diktator – sudah cukup lama tersedia kesem­pat­an untuk bisa membanding-banding, bukan? Setelah melihat prilaku jenderal Soeharto, anak-anaknya dan kroni-kroninya menge­nai kekuasaan, me­­nge­nai kekejaman, mengenai kesera­kahan, masih ada yang sang­gup memfitnah Soekarno dengan demokrasi terpim­pinnya sebagai diktator? Masih tetap saja mau nyanyi lagu lama yang itu-itu juga? Tak sanggup berubah lagi karena membenci Soekarno sudah mendarah-daging, sudah terlanjur jadi hobby berat? Orang Belanda bilang: “het zelfde deuntje zingen en het stokpaardje be­rijden?”
     Sepertiga abad lamanya, Soekarno didiskreditkan dan dibakukan sebagai diktator dengan memobilisasi secara masif mesin propaganda Orde Baru, menggunakan seluruh potensi mass-media dan mencekoki segenap strata dunia pendidikan kita. Selama 30 tahun lebih ter­bangun dan ter­bentuk suatu public-opinion yang mapan tentang Soekarno, tanpa ada kesempatan sama sekali bagi Soekarno atau para pembela­nya untuk menya­takan pendapat yang lain. Hukum-kelambanan atau inertia kemudian berlaku di sini: kebanyakan sudah tidak sanggup lagi membebaskan diri dari kemalas­an berpikir yang sudah membeku itu.


Maka permanen Soekarno jadi diktator!


Soekarno dan Konsep-konsep
Sosial-Politiknya Sudah Barang Fosil?


Mengakhiri pengantar ini, kita masih menyampaikan di sini dua hal, butir pertama mengenai ucapan sementara intelektual kita bahwa “Soekarno dan konsep-konsepnya sudah jadi barang fosil”, butir ke­dua menyangkut manuver pemecah-belahan yang dilansir di antara founding fathers kemerdekaan dan Republik kita.
     Seorang dekan pada suatu universitas swasta di Jakarta, pernah berkata bahwa konsep-konsep pemikiran Soekarno sudah jadi fosil, sudah tidak re­levan, usang ketinggalan untuk zaman yang sudah jauh maju se­perti sekarang ini. Entah apa maksud ucapan seperti itu – apakah mau menunjukkan super intelektualitasnya yang maju sekali?
     Dengan pasti bisa kita katakan, dekan itu sendiri dan semua orang yang berpendapat sama dengan sang dekan, memiliki benak fosil yang tak mampu berpikir dinamis dan dialektis. Semua orang yang masih da­pat berfikir normal tentu tahu bahwa semua konsep dan teori ilmu sosial mana pun tidak akan benar – mandek – bila ditangani se­perti dogma­-dogma mati. Bukan saja Marx atau Keynes, Mao Tse Tung atau teori koperasi Hatta, bahkan agama apa pun menjadi fosil bila ditangani oleh para pemilik benak fosil.
     Kita tahu bahwa setiap molekul dalam darah-daging Bung Karno sampai ke ujung rambutnya yang pa­ling halus mengandung: gerak, dinamika, emansipasi dan revolusi! Dapatkah insan yang menerima wahyu Illahi seperti itu, melahirkan Pancasila yang fosil? Trisakti yang fosil? Berdaulat dalam politik, berdikari dalam ekonomi, berkepri­badian dalam kebudayaan – apakah semua itu barang fosil? Wawasan The New Emerging Forces kontra The Old Established Forces*, apakah itu juga fosil? Bukankah itu semua nilai-nilai universal yang tak terikat pada ruang dan waktu?
     Diskredit terhadap Soekarno memang dilakukan dengan macam-macam cara dan bergerak dari berbagai jurusan. Mula-mula kam­panye besar-besaran de-soekarnoisasi dan penggelapan sejarah oleh Soeharto, Orde Baru dan orang-orang se­perti Nugroho Notosusanto; lalu fitnah dan kerancuan berfikir sampai-sampai menu­ding Soekarno diktator, terlibat G30S; dan usaha kalap paling belakang ada­lah fo­silkan Soekarno dan konsep-konsep sosial-politiknya yang cemerlang. Barusan saja di bulan Juni, di seluruh pelosok tanah-air kita saksikan Bung Karno yang dikatakan fosil, yang dikurung, di­diskreditkan, dan dihina habis-habisan 30 tahun le­bih, bangkit kembali dalam segala kebesarannya.

Mana dan siapa sebenarnya yang fosil?

The Founding Fathers Republik: Asset Nasional Sangat Bernilai
Akhirnya ingin kita ingatkan pada kesempatan ini pada gejala atau manuver tertentu yang jelas dan sadar mempertentangkan founding fathers kemerdekaan dan Republik kita. Mempertentangkan founding fathers Republik kita di ujung-ujung jalan akhirnya akan berarti mempercepat pro­ses desintegrasi dan memecah persatuan dan kesatuan bangsa. Bila hal ini dilakukan oleh Van Mook, Van der Plas atau Joseph Luns di tahun-tahun revolusi karena mereka dalam bentuk apa pun tak bisa menerima ke­nyataan bahwa bekas jajahannya memproklamirkan diri merdeka dan membangun Negara Republik sendiri, maka hal itu wajarlah – sang majikan kolonialis tentu sulit menelan kekalahan mereka. Soekarno, Hatta, Sjahrir dan para bapak bangsa kita lainnya, oleh Belanda dengan segala cara dicoba diadu-domba dan dipecah-belah. Tetapi apabila adu-domba ini dikerjakan oleh bangsa kita sendiri – terutama dengan menggunakan mass-media –, yang notabene masih berjalan terus sampai hari ini se­telah kita merdeka lebih dari sete­ngah abad, maka ini adalah satu tragedi besar.
     Kita melihat gejala ini muncul dalam berbagai kesempatan. Orang­-orang Indonesia yang sudah berkarat anti-Soekarno pada saat terpaksa ikut memperingati 100 Tahun Bung Karno, yang mereka tulis, mereka ­per­ingati dan mereka sanjung-sanjung adalah justru kebesaran ­Hatta, sambil mengedepankan kelemahan Soekarno.
     Kita tahu betul bahwa Bung Hatta, Bung Sjah­rir, mempunyai kelebih­an dan keunggulan tertentu yang tak mungkin disamai atau dimiliki oleh Soekarno. Sebaliknya pun demikian! Bung Karno mempu­nyai keung­gul­an dan kelebihan yang tak mungkin diimbangi oleh Hatta dan Sjahrir berdua sekaligus. Mereka memang jelas mempunyai perbedaan, tetapi apakah sekarang ini hal itu masih relevan untuk dibesar-besarkan? Bahkan dipertentangkan untuk melecehkan yang satu terhadap yang lainnya? Apakah bukannya sudah tiba waktunya dibangunkan kesadaran baru pada peringatan 100 Tahun Bung Karno dan 100 Tahun Bung Hatta tahun depan ini, untuk menerima founding fathers Republik kita dengan kesadaran penuh sebagai asset nasional yang tak ternilai harga­nya, demi persatuan/kesatuan dan integrasi nasion Indonesia, demi memba­ngun dan mewujudkan cita-cita yang belum sempat diwujudkan oleh founding fathers kita itu : keadilan dan kemakmuran bagi segenap rakyat kita?
     Pada saat-saat seperti sekarang ini, penulis teringat kepada se­orang tokoh tua yang usianya masih di bawah generasi Soekarno-Hatta yang sa­yang sekali sudah lebih dulu mendahului kita semua, yaitu Soebadio Sastrosatomo. Semua kenal dia sebagai tokoh PSI, pengagum, pewaris, dan penerus cita-cita Sutan Sjahrir. Pada saat jenderal Soeharto masih berkuasa penuh, dia pernah berkata kepada penulis: Berhentilah melecehkan Soekarno! Berhenti melecehkan Hatta-Sjahrir! Bangkitkan strategi persatuan Soekarno-Hatta-Sjahrir untuk me­lawan fasisme Soeharto! Sebagai seorang Sjahririst dia berkata: “Soekarno adalah Presiden ku! Soekarno adalah Indonesia – Indonesia adalah Soekarno!” Pada saat Soebadio mengucapkan kata-kata bertuah itu, sedetik pun dia tidak bermaksud mengecilkan apalagi me­ning­galkan Hatta-Sjahrir. Yang terbayang di hadapannya mungkin adalah kawan-kawannya dalam partai, para Sukarnoist dan anggota-anggota PKI yang berjalan seakan tanpa arah.
     Wawasan Soebadio transcendental melintas zig zag di alam fikir­an founding fathers Republik kita, tidak ada lagi batas-batas pemi­sah apalagi pemecah – dia sudah tumbuh mengembang besar menga­tasi segala kedang­kalan dan kekerdilan berpikir. Kaum intelektual kita, terutama para cendekia muda, sebaiknya merenungi dan meneladani sikap dan kearifan politik Soebadio itu. Gejala negatif yang mencemaskan pada kaum intelektual kita, ya muda ya tua, adalah bahwa mereka menelan mentah-mentah dan memamah-biak pendapat para pakar asing yang dijadikan rujukan yang akhirnya mengurung daya kemandirian berpikir mereka sendiri. Seperti misal­nya pemikiran yang membagi para pemimpin kita dalam “the solidarity makers” dan “the administrators”. Rumusan seperti itu tidak usah otomatis salah, akan tetapi dia menjadi rancu dan salah besar pada saat rumus itu mulai dianggap sebagai primbon, ditafsirkan dangkal hitam-putih.
     “The solidarity makers” – di situlah Soekarno dikelompokkan – lantas menjadi identik dengan tidak rasional, bukan intelek­tual, dan agitator tukang teriak-teriak di depan mikrofon. “The administrators” – di situ tempat Hatta dan Sjahrir –, merekalah dianggap yang pa­ling berpikir rasional, nuchter, dan intelektual sejati. Kontan kita dengar reaksi seorang Sukarnoist, bukankah justru Soekarno yang lebih ba­nyak baca buku daripada Hatta dan Sjahrir digabung jadi satu? Jus­tru Soekarno intelektual sejati, me­nguasai ilmu tetapi bersedia turun ke bawah berbicara langsung dengan rakyat. Lalu sang Sukarnoist bertanya: apakah Indonesia kira-kira sekarang sudah merdeka, kalau perjuang­an kemerdekaan dipim­pin oleh para “administrators” dari belakang meja tulis? Tugas melepaskan diri dari kekuasaan Belanda bolehlah mulai diusahakan secara gra­dual, tetapi jauh­kanlah diri dari revo­lusi-revolusian. Yang lebih pen­ting kita bangun lebih dulu ba­nyak sekolah dan banyak universitas untuk menghasilkan SDM (Sumber Daya Manusia), kader­-kader akademisi bermutu untuk memimpin departemen, dan sebagainya.
     Kita menganggap komentar dan reaksi seperti itu – oleh ilmuwan, wartawan atau siapa pun berbangsa Indonesia – adalah vul­ger, tidak akan membawa kita ke mana-mana ke­cuali kepada nihil yang serba kontra-produktif. Itulah maksud kita menyebut nama Soebadio, karena dia­lah yang telah mampu mengatasi segala kekerdilan dan kedang­kalan yang mubasir dan sia-sia itu. Jelas Soekarno, Hatta, Sjahrir, deretan nama ini masih bisa diperpanjang dengan para pemimpin nasional lain, seperti Amir Sjarifuddin, Agus Salim, Moh. Natsir, Sudirman, Tan Malaka, Moh.Roem dan seterusnya. Masing­-masing mempunyai bakat, kemampuan, dan fitrah masing-masing. Jelas mereka saling berbeda, tetapi persatuan dalam perbedaan yang saling mengisi dan melengkapi itu­lah menjadi potensi dan asset nasional kita yang sa­ngat berharga, modal untuk membangun dan menempuh masa depan.
     Tahun depan akan kita peringati dan rayakan 100 Tahun Bung ­Hatta, anggota Dwitunggal kita yang legendaris. Kita sangat meng­harapkan ­peringatan itu akan berlangsung produktif, bermartabat sesuai watak dan kebesaran Hatta. Bung Karno selalu meng­ajarkan: “Hanya bangsa besar, tahu menghormati pahlawan-pahlawannya!” Dan rakyat pun tahu siapa yang harus dia hormati meski tidak ada kriteria tertulis apapun.
     Berhentilah membesar-besarkan Soekarno hanya untuk meleceh­kan Hatta! Berhenti membesar-besarkan Hatta hanya untuk meleceh­kan Soekarno! Begitulah kita akhiri pengantar Liber Amicorum ini dalam kata-kata, semangat dan kearifan politik Soebadio – demi persatuan dan kesatuan negeri dan nasion Indonesia! ***