Kisah Prabowo Sang Penerus Jokowi
Mbah subowo
Melalui
jalan berliku jauh sebelum berdirinya Partai Gerindra besutan Prabowo berbagai
narasumber menyaksikan Prabowo mencari semacam platform tentang citra diri dan calon
partainya agar tampil mulus di depan publik, mengingat citra yang melekat kuat
pada dirinya ialah sebagai pemimpin militer sekaligus anak-mantu Soeharto. Soeharto tampil
berkuasa setelah sukses dengan “creeping coup d’etat” melengserkan kekuasaan
Bung Karno dan menjebloskan para pendukungnya ke dalam bui tanpa proses
pengadilan.
Ia (Prabowo)
bertanya, “Apa saja yang perlu digaungkan lanjut dikerjakan agar Aku bisa
diterima segala macam kalangan, baik pendukung Soeharto maupun lawan politik
Soeharto?”
Jawaban
yang paling pas dan diterima oleh Prabowo ialah semacam usul agar sejak awal tampil
di hadapan public menggambarkan dirinya sebagai “Sukarno Kecil” alias
mengamalkan dan mendukung segala ajaran Bung Karno antara lain “Trisakti Bung
Karno”.
Lima tahun
silam, pada usai gelaran pilpres 2019 Jokowi tak pelak lagi dan tanpa ragu
ambil ancang-ancang kelak pilih Prabowo sebagai suksesor (pengganti) melanjutkan
programnya sekaligus menjadi tameng terhadap para lawan politiknya.
Langkah awal
Jokowi yang menggegerkan tatkala Jokowi-Prabowo mengisap pipa perdamaian
mengingat mereka baru saja ber“dapuk” sebagai musuh bebuyutan pada pilpres 2019.
Dengan
mengisap pipa perdamaian maka “rebut-ribut kecurangan” usai, selanjutnya Jokowi
menganugerahkan posisi menteri
pertahanan pada rivalnya itu.
Kini menjelang
akhir jabatan Jokowi 2024 dan Prabowo yang tahu diri didukung oleh Jokowi sengaja
tanpa ragu memasang strategi “balas budi” dengan memilih Gibran yang “lolos”
dari lubang jarum “MK” sebagai pasangan dalam pilpres yang kemudian dijuarainya
itu.
Prabowo
yang tampak seolah begitu “tergantung” pada Jokowi masih merasa perlu mendongkrak
Kaesang ambil bagian pilgub DKJ. Dengan demikian kelak andai Kaesang sukses
memimpin salah satu provinsi itu maka lengkap sudah kekuatan dan kerjasama
Jokowi-Prabowo ala “glembuk solo” dalam mengendalikan dan mengamankan segala
kebijakan politik baik semasa Jokowi berkuasa hingga selanjutnya masa
pemerintahan di tangan Prabowo.
Menengok
kilas balik sebelum Prabowo meraih kemenangan: kepiawaian Jokowi “cawe-cawe” tidak
diragukan -- begitu piawai dan andal -- bukan hanya mengatur “keluarganya” tapi
juga partai-partai pendukungnya, dan lebih dari itu mampu mengeliminir atau “mengkhianati”
partai pengusung dirinya yang telah berjasa dalam pilpres 2014.
“Cawe-cawe”
Jokowi memang jos-gandos, seorang presiden mampu hampir menguasai berbagai
macam partai lain, mengatur dan mengarahkan ketua partai mereka, dan seterusnya.
Jokowi “tegel” mengorbankan partai pendukungnya sendiri. Ia tidak ambil peduli dicap “tidak tahu” diuntung, "tidak tahu" berterima kasih oleh kalangan petinggi
partai yang amat-sangat berjasa memberikan “pulung gaib wahyu keprabon” guna
menduduki kursi singgasana RI 1.
Strategi Jokowi
cs (bersama keluarganya) yang kompak seirama dalam memisahkan diri mereka dari
ikatan partai yang begitu besar jasanya boleh jadi hanyalah salah satu varian
daripada taktik dan strategi “ala glembuk solo”.
Boleh juga
diberi gelaran taktik dan strategi “gelembuk solo” tingkat dewa, mirip sekilas akan
tetapi beda dengan strategi yang dijalankan oleh presiden RI kedua dalam meraih
takhta dan singgasana RI 1 yang memakan begitu banyak korban.
Jokowi
bukan hanya berhasil memukau rakyat Indonesia dengan citranya yang “pro” dia juga
sekaligus mengendalikan hampir semua para petinggi partai pendukungnya dalam
menjalankan roda pemerintahan.
Semua hal
di atas itulah yang telah menerbitkan keheranan sekaligus kekaguman Prabowo
pada sepak-terjang Jokowi.
Akhir kata “glembuk
solo” adalah “kecerdasan” orang-orang solo dalam upaya untuk survive di jagad
persilatan kehidupan maupun dalam dunia lain semacam politik praktis.
Sekian
untuk sekali ini.
*****