novel, buku, biografi pramoedya ananta toer
Seperti pernah kami nyatakan pada kesempatan lain, kami tidak akan berpanjang-panjang dan membuang-buang waktu membahas dagelan kesewenang-wenangan kekuasaan politik rejim orde barunya golkar yang memberangus buku-buku Pramoedya. Mengapa? Tidak lain karena tuduhan Pramoedya secara lihay lewat karya-karyanya mempropagandakan marxisme-leninisme, di negeri-negeri yang paling anti-komunis pun menjadi bahan tertawaan yang paling menggelikan.
Pramoedya Ananta Toer
Bumi Manusia -- Anak Semua Bangsa -- Jejak Langkah -- Rumah Kaca
Edisi Pembebasan
Sesuai dengan rencana Penulis dan Penerbit Hasta Mitra, dengan ini diumumkan bahwa roman empat jilid ini yang di luar negeri dikenal sebagai The Buru Quartet – Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, Rumah Kaca – dan buku-buku lain yang pernah diberangus oleh rejim orde barunya golkar, semua akan diterbitkan ulang sebagai Edisi Pembebasan; sedang kesemua karya Pramoedya lainnya – termasuk karya klasik Penulis tahun 50 dan 60-an – juga akan berangsur dicetak ulang dalam rangka rencana besar Hasta Mitra menerbitkan kembali secara menyeluruh Karya-Karya Pilihan Pramoedya Ananta Toer.
Bahwa larangan terhadap buku-buku Pramoedya sampai hari ini belum dicabut oleh Pemerintah, bukanlah menjadi urusan Penulis dan Penerbit. Sebagai warganegara, kami akan tetap bekerja dan akan tetap terbit seperti biasa – sebab itulah cara kami menghormati dan ikut aktif menegakkan hak-hak azasi manusia sebagaimana selalu menjadi sikap kami semasa jendral Suharto dengan mesin kekuasaannya – politisi golkar dan para jendral – masih bebas berkuasa mempraktekkan kesewenang-wenangan mereka. Tetap terbit walaupun pemberangusan berlangsung tidak henti-hentinya, merupakan kontribusi kami untuk bersama para pejuang demokrasi dan keadilan lainnya menegakkan HAM dan merebut kebebasan kami sendiri
Terimakasih kami sampaikan kepada semua pihak yang telah membantu kami – terutama sikap untuk tetap bersama kami, dan dengan segala risiko ikut aktif mendistribusikan buku-buku kami – justru pada masa-masa kesewenangan kekuasaan fasis golkarnya orde baru merajalela yang tanpa proses apa pun memberangus buku-buku kami. Terimakasih kami kepada mereka yang dengan sadar mendistribusikan dan tetap membaca karya-karya Pramoedya yang dilarang – juga sekarang-sekarang ini – pada saat sementara toko-toko buku besar masih ragu mendistribusikan buku-buku Pramoedya hanya karena larangan terhadap buku-bukunya itu secara resmi belum dicabut oleh Pemerintah.
Salut kepada sikap yang tidak hanya mau menunggu enaknya saja tanpa mau bersinggungan dengan risiko sekecil apa pun.
Joesoef Isak, ed.
****
pramoedya ananta toer
***
Novel, Buku, Biografi Pramoedya Ananta Toer lengkap terbitan 1980-2000
Books:
English:
The Fugitive (Perburuan) by Harry Aveling [1975]
The Fugitive (Perburuan) by Willem Samuels [1990]
The Girl from the Coast (Gadis Pantai)
This Earth of Mankind (Bumi Manusia)
Child of All Nations (Anak Segala Bangsa)
Footsteps (Jejak Langkah)
House of Glass (Rumah Kaca)
A Heap of Ashes
Awakenings (Compilation of This Earth of Mankind and Child of All Nations)
The Mute’s Soliloquy (Nyanyi Sunyi Seorang Bisu)
Tales from Djakarta (Cerita Dari Djakarta) by SEAP (South East Asia Program) Cornell
Dutch:
Aarde Der Mensen (Bumi Manusia)
Kind Van Alle Volken (Anak Semua Bangsa)
Voetsporen (Jejak Langkah)
Stroom Uit Het Noorden (Arus Balik)
Een Koude Kermis: Een Novelle (Bukan Pasar Malam)
Wat Verdwenen Is Verhalen Uit Blora (Cerita Dari Blora)
Guerrilla Familie (Keluarga Gerilya)
Korruptie (Korupsi)
In De Fuik (Mereka Yang Dilumpuhkan)
Midah Het Liefje Met De Gouden Tand (Midah Si Manis Bergigi Emas)
Vluchteling (Perburuan)
Een Koude Kermis: Een Novelle. En Dageraad Korte Verhalen Van De Revolutie (Subuh)
Het Meisje van het Strand (Gadis Pantai)
Arok Dedes
Spanish:
Tierra Humana (Bumi Manusia)
Hijo De Todos Los Pueblos (Anak Semua Bangsa)
French:
Vie Nest Pas Une Foire Nocturne (Bukan Pasar Malam)
Korupsi (Korupsi)
German:
Familie Der Partisanen (Keluarga Gerilya)
Spur Der Schritte (Jejak Langkah)
Mensch Fur Mensch (Bukan Pasar Malam)
Ungewollte Leben Erzahlungen Aus Djawa (Cerita Dari Blora)
Braut Des Bendoro (Gadis Pantai)
Chinese:
Ssu Sheng Tzu (Anak Haram) by Li Hsui [1962]
According pak Pram, Bumi Manusia (This Earth of Mankind), Anak Segala Bangsa (Child of All Nations), and Keluarga Gerilya (Guerrilla Family) have been translated but unclear on what happened after; No detailed information could be found on these materials.
Japanese:
Ningen No Daichi (Bumi Manusia)
Gerira No Kazoku (Keluarga Gerilya)
Russian:
O Tom Chto Proshlo (Cerita Dari Blora)
Eto Bylo V Iuzhnom Bantene (Sekali Peristiwa di Banten Selatan)
Czech:
Na Brehu Reky Bekasi (Di Tepi Kali Bekasi)
Pramoedya Ananta Toer
Larasati
Dari Penerbit
Larasati, adalah sebuah roman revolusi dengan wanita sebagai tokoh utamanya. Kita cenderung mengkategorikan karya fiksi ini sebagai sebuah “cerpen panjang”, a long short story – bentuk sastra di mana Pramoedya paling mencolok dikenal kekuatannya di tahun-tahun awal dia mulai tampil sebagai penulis (mis.: Perburuan, Keluarga Gerilya, dsb); sampai mendadak pada awal 1980 sepulang dari tempat pembuangan Buru semua kita dikejutkannya: Pram yang selama itu dikenal sebagai cerpenis Indonesia pembawa kisah-kisah yang sarat keindahan dan kedalaman, rupanya juga seorang novelis besar yang tanpa ragu tegak sejajar dengan para penulis ternama di mana saja dunia.
Hasta Mitra akan secepatnya memunculkan kembali novel-novel adikarya yang tak terlupakan sepanjang masa itu, karya-karya hasil selama penahanannya di Buru yang sebagian besar diberangus rejim Orde Baru, seperti: tetralogi Buru Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, Rumah Kaca; Arus Balik, Nyanyi Sunyi Seorang Bisu, Mata Pusaran dan Arok Dedes (bulan Januari '00 sudah beredar lebih dulu). Tiga buku di mana wanita menjadi tokoh utamanya: Larasati, Gadis Pantai dan Panggil Aku Kartini Saja sengaja kita terbitkan sekaligus untuk menghormati hari Kartini yang jatuh pada bulan April ini.
Larasati, adalah sebuah roman revolusi dengan wanita sebagai tokoh utamanya. Kita cenderung mengkategorikan karya fiksi ini sebagai sebuah “cerpen panjang”, a long short story – bentuk sastra di mana Pramoedya paling mencolok dikenal kekuatannya di tahun-tahun awal dia mulai tampil sebagai penulis (mis.: Perburuan, Keluarga Gerilya, dsb); sampai mendadak pada awal 1980 sepulang dari tempat pembuangan Buru semua kita dikejutkannya: Pram yang selama itu dikenal sebagai cerpenis Indonesia pembawa kisah-kisah yang sarat keindahan dan kedalaman, rupanya juga seorang novelis besar yang tanpa ragu tegak sejajar dengan para penulis ternama di mana saja dunia.
Hasta Mitra akan secepatnya memunculkan kembali novel-novel adikarya yang tak terlupakan sepanjang masa itu, karya-karya hasil selama penahanannya di Buru yang sebagian besar diberangus rejim Orde Baru, seperti: tetralogi Buru Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, Rumah Kaca; Arus Balik, Nyanyi Sunyi Seorang Bisu, Mata Pusaran dan Arok Dedes (bulan Januari '00 sudah beredar lebih dulu). Tiga buku di mana wanita menjadi tokoh utamanya: Larasati, Gadis Pantai dan Panggil Aku Kartini Saja sengaja kita terbitkan sekaligus untuk menghormati hari Kartini yang jatuh pada bulan April ini.
Hasta Mitra dengan gembira mempersembahkan Larasati ini terutama pada generasi muda Indonesia yang di tahun- tahun akhir abad 20 tampil memberikan sumbangsih sangat berarti bagi suatu perubahan sosial-politik negeri kita. Peranan mereka masih terus berlanjut sampai detik-detik kita memasuki milenium baru. Apa yang dikisahkan dalam Larasati adalah penampilan generasi muda juga, generasi 1945 yang memproklamirkan dan mempertahankan kemerdekaan tanahair. Sepanjang sejarah kebangkitan nasional dan gerakan kemerdekaan, memang di tangan generasi mudalah terletak nasib negeri dan rakyat kita. Pramoedya tidak pernah bosan menekankan tentang tugas sejarah yang dipikul generasi muda itu. Namun dalam mengungkapkan gelora sejarah yang dijalani bangsa, Pramoedya selalu bersikap kritis dan seimbang – jauh daripada pemitosan sejarah. Oleh karena itu tidak mengherankan mendengar dari Pramoedya sikap dan penilaian kritisnya tentang revolusi – positif dan negatif – termasuk di dalamnya peranan para pemuda dalam pentas sejarah semasanya, baik dalam karya-karya fiksi maupun non-fiksinya.
Sesudah tiga buku, Larasati, Gadis Pantai dan Panggil Aku Kartini Saja, Hasta Mitra dalam gelombang kedua akan segera memunculkan kembali karya-karya Pramoedya yang tidak henti-henti diminta oleh para pembaca, yaitu "tetralogi Buru" Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah dan Rumah Kaca, demikian pun Nyanyi Sunyi Seorang Bisu I & II. Dalam gelombang ketiga kita harapkan memunculkan kembali Arus Balik dan karya-karya Pramoedya lain yang belum pernah dibukukan sebelumnya tetapi pernah dimuat dalam suratkabar atau majalah.
Wajar saja bila pembaca bertanya apakah larangan terhadap buku-buku yang judul-judulnya kita sebut di atas sudah dicabut oleh pemerintahan Gus Dur? Jawabnya jelas: Belum! Bagi kepentingan Indonesia, terutama untuk kebaikan Pemerintah sendiri – terutama bagi demokrasi! –, kami hanya bisa mengharapkan larangan-larangan yang tak masuk akal itu segera dicabut, akan tetapi kami sendiri tidak akan menunggu birokrasi menyelesaikan urusan-urusan legal seperti itu.
Seperti diketahui, hampir semua buku Pramoedya, terutama yang dia tulis di Buru, kami terbitkan semasa jendral Suharto sedang sekuasa-kuasanya. Sebab itu tugas politik dan merupakan tugas kita sebagai warganegara. Kami tidak menunggu kebaikan hati penguasa, tidak berilusi kebebasan menulis dan menyatakan pendapat akan dihadiahkan oleh rejim militeris kepada kepada Pramoedya, kepada Hasta Mitra, dan kepada Rakyat. Risiko untuk bersikap seperti itu memang berat – tidak henti-hentinya kami digebuk, hampir semua buku Pramoedya dilarang. Buku yang tidak dilarang – seperti Arus Balik misalnya – bisa beredar bukan karena diizinkan, tetapi belum sempat kejaksaan agung membikin keputusan larangannya.
Dalam perjalanan keliling ke Amerika Serikat, Kanada dan negeri-negeri Eropa tahun lalu, penulis selalu menjelaskan bahwa tekad untuk terus dan selalu terbit lagi – dan terbit lagi – walaupun pemberangusan berlangsung gencar tidak henti-hentinya, merupakan bentuk sumbangan penulis dan penerbitnya untuk ikut menegakkan demokrasi dan hak-hak azasi manusia. Nilai-nilai tertinggi martabat manusia tersebut – di negeri yang dikuasai rejim militeris – adalah sesuatu yang harus direbut dan ditegakkan sendiri. Dalam hubungan itu penulis dan penerbit menyatakan penghargaan dan terimakasih sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu kami dalam masa-masa sulit itu – secara khusus ingin kami sebut di sini para mahasiswa, para pekerja LSM-LSM, para ex-tapol dan toko-toko buku kecil yang dengan segala risiko telah ikut menyebar-luaskan buku-buku Pramoedya yang terlarang itu. Tanpa sikap yang berkukuh untuk tetap terbit, dunia tidak akan berkesempatan membaca karya-karya Pramoedya, bahkan lebih parah lagi generasi muda kita sendiri tidak akan punya akses terhadap aset nasional yang tak ternilai harganya itu.
Pengalaman Pramoedya dan Hasta Mitra dalam periode kekuasaan militerisme Orde Baru akan selamanya tercatat sebagai bagian dari sejarah politik Indonesia, sejarah kehidupan demokrasi dan sejarah dunia penerbitan Indonesia – membanggakan dan memalukan sekaligus sebagaimana juga tercermin dalam roman revolusi Larasati ini.
Hasta Mitra akan berusaha optimal untuk terus melangkah maju. Simpati dan dukungan pembaca tetap kami harapkan untuk mewujudkan cita-cita yang sejak Orde Baru masih berkuasa sudah kita ancang-ancang, yaitu: menerbitkan lengkap semua karya pilihan Pramoedya Ananta Toer, mulai dari yang paling baru, yang diberangus, sampai kepada karya-karya awal Pramoedya memulai kepengarangannya. Ini berarti bekerja mengabadikan suatu aset nasional sastra, budaya dan nilai-nilai tertinggi martabat manusia yang dimiliki dan dipersembahkan oleh seorang penulis, pujangga dan warganegara Indonesia.
Sebagai penutup, penulis dan penerbit ingin mengucapkan terimakasih secara khusus kepada dua orang, yaitu Alfred D. Ticoalu, mahasiswa Indonesia di Buffalo-Amerika Serikat dan Ben Abel yang menangani proyek pendokumentasian "Lentera/Bintang Timur" di Cornell University, Ithaca. Usaha mereka telah memungkinkan Larasati akhirnya juga dapat dibaca oleh kita semua.
Wajar saja bila pembaca bertanya apakah larangan terhadap buku-buku yang judul-judulnya kita sebut di atas sudah dicabut oleh pemerintahan Gus Dur? Jawabnya jelas: Belum! Bagi kepentingan Indonesia, terutama untuk kebaikan Pemerintah sendiri – terutama bagi demokrasi! –, kami hanya bisa mengharapkan larangan-larangan yang tak masuk akal itu segera dicabut, akan tetapi kami sendiri tidak akan menunggu birokrasi menyelesaikan urusan-urusan legal seperti itu.
Seperti diketahui, hampir semua buku Pramoedya, terutama yang dia tulis di Buru, kami terbitkan semasa jendral Suharto sedang sekuasa-kuasanya. Sebab itu tugas politik dan merupakan tugas kita sebagai warganegara. Kami tidak menunggu kebaikan hati penguasa, tidak berilusi kebebasan menulis dan menyatakan pendapat akan dihadiahkan oleh rejim militeris kepada kepada Pramoedya, kepada Hasta Mitra, dan kepada Rakyat. Risiko untuk bersikap seperti itu memang berat – tidak henti-hentinya kami digebuk, hampir semua buku Pramoedya dilarang. Buku yang tidak dilarang – seperti Arus Balik misalnya – bisa beredar bukan karena diizinkan, tetapi belum sempat kejaksaan agung membikin keputusan larangannya.
Dalam perjalanan keliling ke Amerika Serikat, Kanada dan negeri-negeri Eropa tahun lalu, penulis selalu menjelaskan bahwa tekad untuk terus dan selalu terbit lagi – dan terbit lagi – walaupun pemberangusan berlangsung gencar tidak henti-hentinya, merupakan bentuk sumbangan penulis dan penerbitnya untuk ikut menegakkan demokrasi dan hak-hak azasi manusia. Nilai-nilai tertinggi martabat manusia tersebut – di negeri yang dikuasai rejim militeris – adalah sesuatu yang harus direbut dan ditegakkan sendiri. Dalam hubungan itu penulis dan penerbit menyatakan penghargaan dan terimakasih sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu kami dalam masa-masa sulit itu – secara khusus ingin kami sebut di sini para mahasiswa, para pekerja LSM-LSM, para ex-tapol dan toko-toko buku kecil yang dengan segala risiko telah ikut menyebar-luaskan buku-buku Pramoedya yang terlarang itu. Tanpa sikap yang berkukuh untuk tetap terbit, dunia tidak akan berkesempatan membaca karya-karya Pramoedya, bahkan lebih parah lagi generasi muda kita sendiri tidak akan punya akses terhadap aset nasional yang tak ternilai harganya itu.
Pengalaman Pramoedya dan Hasta Mitra dalam periode kekuasaan militerisme Orde Baru akan selamanya tercatat sebagai bagian dari sejarah politik Indonesia, sejarah kehidupan demokrasi dan sejarah dunia penerbitan Indonesia – membanggakan dan memalukan sekaligus sebagaimana juga tercermin dalam roman revolusi Larasati ini.
Hasta Mitra akan berusaha optimal untuk terus melangkah maju. Simpati dan dukungan pembaca tetap kami harapkan untuk mewujudkan cita-cita yang sejak Orde Baru masih berkuasa sudah kita ancang-ancang, yaitu: menerbitkan lengkap semua karya pilihan Pramoedya Ananta Toer, mulai dari yang paling baru, yang diberangus, sampai kepada karya-karya awal Pramoedya memulai kepengarangannya. Ini berarti bekerja mengabadikan suatu aset nasional sastra, budaya dan nilai-nilai tertinggi martabat manusia yang dimiliki dan dipersembahkan oleh seorang penulis, pujangga dan warganegara Indonesia.
Sebagai penutup, penulis dan penerbit ingin mengucapkan terimakasih secara khusus kepada dua orang, yaitu Alfred D. Ticoalu, mahasiswa Indonesia di Buffalo-Amerika Serikat dan Ben Abel yang menangani proyek pendokumentasian "Lentera/Bintang Timur" di Cornell University, Ithaca. Usaha mereka telah memungkinkan Larasati akhirnya juga dapat dibaca oleh kita semua.
Joesoef Isak, ed.
Larasati – sebuah roman revolusi semasa perjuangan bersenjata 1945-50. Kisah tentang pemuda-pemuda Indonesia yang rela membaktikan jiwa raga demi proklamasi kemerdekaan, kisah-kisah tentang para pahlawan sejati dan pahlawan munafik, pertarungan di daerah republik dan daerah pendudukan Belanda – antara yang setia dan yang menyeberang, antara uang ORI dan uang Nica, dengan fokus wanita sebagai tokoh utama – bintang film tenar yang dengan caranya sendiri memberikan diri dan segalanya untuk kemenangan revolusi. Potret revolusi semasa yang menghidupkan kembali sepenggal sejarah di tahun-tahun awal proklamasi kemerdekaan, sebuah potret jujur gaya Pramoedya tentang kebesaran dan kekerdilan, kekuatan dan kelemahan revolusi. Sebuah fiksi yang menghanyutkan kita seakan menghayati kembali suatu dokumentasi non-fiksi Indonesia semasa romantika pertempuran berkecamuk di "jaman bersiap!"
****
Bumi Manusia novel Pramoedya Ananta Toer yang dilarang Orde Baru sejak 1981
Mbah Sghriwo
Bumi Manusia -- Pramoedya Ananta Toer -- Terbit pertama kali 1980, Hasta Mitra, Jakarta.
Tokoh Minke lahir pada 1880, tepat seratus tahun yang lalu jika dihitung sejak terbitnya novel Bumi Manusia (This Earth of Mankind) untuk pertama kali. Minke lahir di era kolonialisme Belanda sedang gencar-gencarnya menyedot kekayaan alam dan tenaga manusia Nusantara, hingga memasuki kurun 300 tahun, dihitung sejak VOC memasuki perairan Batavia dan mendirikan kantor dagang berupa loji yang digunakan sekaligus pangkalan laut.
Van den Bosch dengan programnya yang tersohor: tanam paksa/ cultuurstelsel mulai bergulir pada 1830-an, Belanda usai meraih kemenangan dalam perang Jawa yang lebih termasyhur dengan perang Diponegoro. Program jenius si Bosch demi kejayaan Nederland Raya terus berlanjut dan semakin bervariasi tanaman-tanaman yang dibebankan pada kaum petani pribumi, hingga pada 1870 para petani harus menanami duapuluhlima persen dari lahannya dengan tanaman wajib, berupa vanili, tebu, kayu manis dan sebagainya sesuai permintaan pasar dunia. Dengan latar belakang keadaan pribumi yang tertindas seperti itulah, Pramoedya dalam buku ini mencoba menggelar kejadian di satu pojokan bumi manusia – manusia pribumi Jawa.
Benarkah orang pribumi sudah demikian merosotnya sejak keruntuhan Majapahit yang perkasa hingga terpecah-belahnya Mataram Sultan Agung? Dan selanjutnya bangsa Eropa yang unggul ilmu pengetahuannya itu berhasil dengan mudahnya menguasai tanah Jawa, hingga mereka memerintah sebagai bangsa pemenang.
Benarkah manusia Jawa yang gagah perwira di masa Majapahit itu kini sudah demikian rendah penguasaan ilmu pengetahuannya hingga menjadi bangsa kuli di antara bangsa-bangsa?
Agama Islam sempat mencapai perkembangan yang mengagumkan di masa kerajaan Mataram Sultan Agung, karena di masa itu bangsa Barat belum sepenuhnya menguasai Nusantara. Masa keemasan penyebaran Islam di Jawa oleh sembilan orang wali (Walisongo) memang lancar dengan runtuhnya kerajaan Hindu-Buddha Majapahit menyerat serta terpecah-belahnya Nusantara menjadi kerajaan-kerajaan kecil. Penyebaran agama baru itu pula yang mempercepat ambruknya Majapahit.
Kerajaan Hindu-Buddha diwakili Majapahit berhasil menyatukan Nusantara, sedangkan kerajaan Islam cuma berhasil menguasai tanah Jawa, karena keburu masuknya bangsa-bangsa Eropa yang lebih kuat perlengkapan perangnya.
Dengan Revolusi Agustus 1945 Nusantara dapat bersatu kembali dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Pelarangan novel Bumi Manusia
Menurut editor Bumi Manusia, JI, pada 1980 buku ini sempat beredar bebas enam bulan hingga dilarang oleh Kejaksaan Agung dengan Surat Keputusan Nomor 052/JA/5/81 tanggal 29 Mei 1981 atas rekomendasi Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Sampai detik ini pelarangan itu belum dicabut. Alasan pelarangan pada 1980 itu, menurut pihak Kejaksaan Agung, “Isi buku Bumi Manusia dianggap menyebarkan paham terlarang di wilayah NKRI, paham Marxism-Leninism.”
Dalam interogasinya di Kejagung JI membantah hal di atas dengan mengatakan, “Selama saya mengedit baris demi baris Bumi Manusia, saya tidak menjumpai Kamerad Marx dan Lenin ngumpet di balik titik atau koma dan di tempat lainnya.”
Tokh buku yang telah diterjemahkan ke dalam lebih dari duapuluh bahasa itu tetap dilarang di masa kekuasaan Orde Baru. Setelah lengsernya Bapak Pembangunan Haji Muhammad Soeharto dan memasuki era Reformasi, maka pada 2001 penerbit Hasta Mitra mengedarkan kembali Bumi Manusia seri pembebasan tanpa menunggu pelarangan buku itu dicabut oleh yang berwenang. Saat ini hak pengedaran Bumi Manusia dipegang oleh Penerbit Lentera Dipantara milik keluarga Pramoedya A. Toer.
Para tokoh dalam Bumi Manusia
Kita kembali pada novel Bumi Manusia. “Orang memanggilku Minke….” Minke memperkenalkan namanya yang unik, layaknya pemuda memasuki masa dewasa. Ia seorang pelajar di HBS Surabaya. Minke pelajar pribumi yang cemerlang hingga usai ujian akhir sekolah kelak di HBS dinobatkan sebagai siswa terpandai nomor satu HBS Surabaya, dan nomor dua untuk seluruh Hindia Belanda. Prestasi siswa pribumi Jawa yang mengagumkan di masa itu. Di masa kekuasaan kolonial itu pribumi belum mungkin menjadi nomor satu seluruh Hindia Belanda….
Tidak semua anak mampu boleh masuk sekolah tinggi, kecuali anak ningrat pribumi, atau anak pejabat pribumi yang boleh belajar di sekolah setingkat HBS. Kekecualian bagi anak totok Belanda dan peranakan yang disamakan dengan totok. Minke masuk HBS dengan dukungan neneknya, bupati Bojonegoro.
Prestasinya dalam jurnalistik dengan nama samaran Max Tolenaar menulis untuk surat kabar di Jawa Timur. Guru sastranya yang liberal dan progresif memuji-mujinya sebagai siswa kebanggaannya selama karirnya sebagai guru sastra. Pribumi menulis untuk surat kabar di jaman itu? Luar biasa di jaman itu. Hal itu dimungkinkan bermodal nama samaran seorang peranakan ia mengumumkan dirinya, karena bagi peranakan masih layak peluang untuk menulis dalam surat kabar.
Hasil penelitian residen Bojonegoro bahwa pribumi punya tingkat intelijensi sama derajat dibanding orang Belanda. Penelitian yang diilhami oleh teori asosiasi Dr. Snouck Hurgronje mempunyai thesis: dapatkah pribumi bersama-sama Belanda memerintah orang pribumi Hindia? Residen Bojonegoro sangat terkesan pada Minke, obyek penelitiannya.
Perbedaan antara orang Belanda dan pribumi; orang Belanda datang sebagai penjajah dan penakluk sedangkan orang pribumi jadi taklukannya. Ketidakadilah berlaku di tanah jajahan manapun, bagi pribumi lebih jelas lagi mengejawantah dalam hukum bertingkat-tingkat yang berlaku di Hindia Belanda. Tingkat tertinggi Belanda totok, di bawahnya timur asing, dan paling bawah adalah pribumi. Pribumi di depan hukum selalu kalah melawan Belanda dan sebaliknya.
Kisah Minke dengan kekasihnya Annelies di seputar kegiatan pabrik gula melibatkan Minke berhadapan dengan hukum yang dijalankan oleh pemerintah Hindia Belanda. Minke masih beruntung berkat previlium previgiatum (kekebalan hukum tingkat tertentu) yang dimilikinya, karena belajar di HBS Minke sederajat anak bupati. Annelies anak seorang administratur pabrik gula, Herman Mallema.
Nyai Ontosoroh alias Sanikem berbangga hati anak gadisnya punya teman seorang pemuda yang belajar di HBS. Bersekolah di HBS berarti setelah lulus nanti akan menduduki jabatan tertentu dalam struktur pemerintah Hindia Belanda, atau meniti jenjang pendidikan yang lebih tinggi di Hindia Belanda atau di Nederland.
Tahun 1900 di utara sana di negeri Tiongkok terjadi penumbangan dinasti Qing. Tiongkok memproklamirkan diri jadi Republik Tiongkok. Seorang dokter menjadi presiden pertama, yang tidak berkuasa efektif karena wilayah Tiongkok dikuasai oleh raja perang setempat.
Philipina bangkit melawan penjajah Spanyol. Hindia Belanda adem-ayem terus.........
Perjuangan kelas dalam Anak Semua Bangsa
karya Pramoedya Ananta Toer
Mbah Sghriwo
Anak Semua Bangsa seri kedua kwartet karya Pulau Buru diawali, "Kepergian Annelies ke Nederland menumpang sebuah kapal laut maskapai KPM. Seorang wanita totok mengawal si sakit Ann dalam kapal yang berlayar dengan kecepatan abad 18. Juga seorang agen Melayu diam-diam mengawal sang dewi.
Dan Annelies pun menyadari ada seseorang yang menjaganya dengan baik dan melayani dirinya sebaik mungkin di perjalanan jauh itu.
Annelies belayar dipisahkan dari keluarganya, dari suami dan ibunda tercintanya dengan alasan hak asuh dimiliki oleh saudara tirinya lain ibu yang tinggal di Nederland. Saudara tirinya itu seorang anggota militer Kerajaan Belanda.
Saudara tirinya menjadi pewaris utama harta Herman Mallema yang berada di tangan Nyai Ontosoroh. Annelies tentu tidak mendapat bagian dari warisan itu berdasarkan hukum Belanda. Mengapa Sang saudara tiri itu ngotot ingin memelihara saudara tirinya yang nyata-nyata tidak bakal mengusik warisan itu? Dan pemerintah Nederland maupun Hindia-Belanda membiarkan saja seorang anak dalam keadaan sakit parah dipisahkan dari ibu kandungnya sendiri?
Minke dan Annelies menikah secara Islam. Kepergian Annelies ke luar negeri dipisahkan dari suaminya itu telah didengar oleh penduduk Wonokromo dan Surabaya. Maka mereka terutama orang-orang Madura itu pun mengirimkan sepasukan penduduk tanpa senjata guna menghadang kereta Gubermen yang hendak meninggalkan rumah Nyai Ontosoroh. Pemerintah kolonial Belanda yang kewalahan akhirnya mengirim pasukan khususnya Marsose untuk menindas orang-orang yang memberontak itu.
Pertentangan kelas penguasa (borjuis) melawan kelas rakyat jelata pun (proletar) terjadi. Pertentangan kelas pribumi terjajah melawan kelas bangsa penjajah (imperialis) terjadi.
Pramoedya Ananta Toer
Jejak Langkah
Mbah Sghriwo
Apa bedanya Orde Baru dan pemerintah kolonial Hindia-Belanda dalam berbagai fragmen Jejak Langkah Pramoedya? Ada kesamaan yang bukan kebetulan akan tetapi kemampuan khusus Pramoedya yang mampu meneropong ke masa depan sejarah Nusantara.
Siti Sundari aktivis yang seafiliasi dengan Semaoen, dan Mas Marcokartodikromo asisten khusus Redaksi Medan Prijaji yang dipimpin Minke itu semuanya saja menyebarkan opini menghasut massa untuk menentang dominasi kekuasaan kolonial Hindia-Belanda. Mas Marco pernah sekali menulis tajuk yang ngawur sehingga membikin berang pemerintah kolonial - waktu itu Minke sedang dinas luar.
"Guoooooob.....! seru Minke dengan pucat membaca tajuk Medan Prijaji.
Di masa Orde Baru terjadi hal yang sangat persis seperti itu dengan munculnya aktivis pria dan wanita yang menentang Orde Baru dengan gaya yang sama. Adakah Jejak Langkah mengilhami strategi melawan penguasa atau bisa juga hanya diambil metodenya saja untuk menjadi orang pergerakan.
Jejak Langkah diedarkan sekitar 1985, naskah ini ditulis semasa Pramoedya dalam kamp tahanan Pulau Buru 1969-1979. Artinya isi Jejak Langkah berdasarkan imajinasi murni daripada penulisnya sendiri, dan bukan hasil pendalaman mengenai situasi yang sebenarnya terjadi. Tapi itulah yang terjadi di masa Orde Baru. Represi dan suasana gerakan perjuangan kaum muda mirip dalam fragmen Siti Sundari yang mengumpulkan massa di dalam gedung wayang orang dan bergantian para pembicara satu demi satu tertib bergantian menyampaikan orasinya yang semua saja menentang pemerintah kolonial Belanda dengan tujuan membikin bangun dari tidur panjangnya anak-anak bangsa yang terbuai mimpi dalam struktur pemerintahan kolonial yang seolah abadi selamanya.
Siti Sundari perawan yang sudah cukup umur untuk menikah dan berumah-tangga ini anak seorang aparat pemerintah berpangkat wedana di Jawa Tengah. Belanda yang halus dibandingkan Orde Baru melalui kepanjangan tangannya berusaha mempengaruhi sang ayah sehingga jabatannya menjadi taruhan dalam kemampuannya sebagai orang tua mengendalikan sepak terjang anak gadisnya yang mendahului jamannya.
Semaoen lain lagi karena dia seorang anak angkat Belanda totok. Jadi tidak mudah untuk mengendalikan sepak-terjangnya yang sudah sampai pada memimpin kaum buruh transportasi kereta api. Di masa orde baru para pejuang muda dalam mendongkel kekuasaan Orde Baru mengumpulkan dan mempengaruhi massa para pekerja pabrik. Buruh pabrik swasta itu merupakan kekuatan proletar seperti dalam teori-teori marxisme sebagai massa kuli yang harus merebut alat produksi. Mereka tidak pernah berusaha merebut pabriknya sendiri akan tetapi rewel untuk minta kenaikan gaji atau mogok dengan tuntutan perbaikan nasib.
Maklumlah sektor semacam buruh kereta api semasa orde baru sangatlah sulit untuk diorganisir dibandingkan buruh pabrik yang merupakan simbol proletar itu. Juga untuk mengadakan rapat terbuka di masa Orde Baru lebih sulit lagi dibandingkan di masa kekuasaan Belanda yang bisa dianggap cukup beradab. Aparat intel Orde Baru demikian canggihnya menjangkau hingga desa terpencil, mirip struktur intel Jepang yang kejam Kenpeitai. Pada akhirnya dapat disimpulkan bahwa pemerintah kolonial Belanda lebih terbuka untuk pembaruan daripada pemerintah pendudukan Jepang maupun pemerintah Orde Baru. Wajarlah Belanda mampu berkuasa selama tiga setengah abad di Nusantara. Kolonialis Belanda harus menyerahkan kedaulatannya kepada Jepang karena terlibat peperangan sedangkan Orde Baru masih tetap tegak sampai detik ini hanya berubah julukannya menjadi Orde Reformasi yang wataknya sama saja. Bedanya sekarang orang bicara bebas dan menulis bebas asalkan mau bertanggung jawab atas perbuatan dan tulisan sendiri. Dan karena bebas berbicara dan menulis itulah sebagaimana watak aslinya orang Nusantara ialah ngeyel bin ngengkel alias ngotot terus menganggap dirinya yang paling benar. Itulah kelemahannya Pribumi yang baru belajar mengecap kebebasan mengeluarkan isi hati dan isi kepalanya.
****
Ormas De Zweep dalam Rumah Kaca, Pramoedya Ananta Toer
Mbah Sghriwo
130 tahun silam, Pemerintah Kolonial Belanda menggunakan Biro Khusus yang ujungnya terbentuknya gerombolan bebas hukum alias mendapat perlindungan hukum secara klandestin dari pejabat kolonial. Gerakan gerombolan atau organisasi massa tidak resmi ini didalangi oleh oknum tertentu yang berlatar pejabat pemerintah demi kelanggengan kekuasaan kolonial, salah satu kepanjangan tangan Biro Khusus adalah de Zweep. Tugas pokok De Zweep adalah menghadang Pribumi yang berpikiran dan bertindak yang bisa membahayakan tatanan negeri jajahan di seberang lautan. Dalam masa Gubernur Jenderal Idenburg, de Zweep merajalela di Bandung.
Salah satu Pribumi maju di dunia pers dengan membantu rakyat miskin yang tertindas oleh pemerintah yakni Minke menjadi menjadi bulan-bulanan de Zweep yang bertindak berdasarkan perintah pejabat Algemeene Secretarie Pangemanann, De Zweep yang dipimpin Robert Suurhof menyimpan dendam pribadi terhadap Minke.
Ya, de Zweep yang kemudian hari berganti nama lain itulah secara tidak langsung adalah kepanjangan tangan pemerintah kolonial Belanda dalam memberantas pemberontakan para intelektual Pribumi, Minke malang-melintang dalam dunia pers yang tentu saja sulit dihadapi terbuka yakni dengan dasar hukum yang cocok karena itu sudah menyangkut pelanggaran atas kemerdekaan pers,
De Zweep dalam era reformasi ini bermetamorfosa dalam gerombolan baru berbentuk organisasi massa. Organisasi massa yang terdaftar resmi itu selalu hadir di mana ada gerakan komunis mulai tumbuh. Organisasi semacam itu yang cukup banyak jumlahnya juga hadir di tempat-tempat maksiat atau tempat orang menenggak minuman keras. Tampaknya bertindak demikian memang lebih praktis dan efektif langsung ke sasaran, bagi kepentingan oknum tertentu. Organisasi yang mirip gerombolan de Zweep di masa kolonial ini beroperasi layaknya gerombolan yang bertindak tanpa dasar kekuatan hukum alias main hakim sendiri. Dasar alasan hukum agama menjadi tameng untuk segala tindakan di luar hukum mereka, para ormas itu.
Salah satu munas gerombolan itu diadakan di sebuah kota sejuk tidak jauh dari ibukota. Dalam sebuah gedung milik punggawa Partai besar. Apa hubungan partai besar dan gerombolan De Zweep baru itu? Mungkin gerombolan de Zweep baru ini sekadar menyewa gedung atau bisa jadi adalah tukang pukul bagi siapapun yang kuat membayar dan mau mempergunakan keahlian mereka bertindak di luar hukum dengan bertameng gerakan agama tertentu. Tameng hukum agama tertentu memang tepat untuk jaman sekarang, terutama menghadapi gerakan komunis yang memiliki dasar filsafat materialis.
De Zweep di masa kolonial terutama memiliki anggota peranakan Eropa yang anti-pribum, De Zweep modern memiliki anggota penganut agama tertentu. Yang pertama di atas dipergunakan untuk memberantas gerakan rakyat Indonesia yang berusaha merdeka, berusaha bebas dari cengkeraman kekuasaan kolonial. Sedangkan yang kedua dipergunakan untuk memberantas kemaksiatan dan juga gerakan komunis yang berusaha bangkit dari liang kubur, karena dianggap sebuah gerakan yang ingin menumbangkan kekuasaan pemerintah. Tidak hanya kemaksiatan yang diserbu oleh de Zweep modern, juga aliran-aliran lain daripada agama tertentu yang dianggap tidak menjunjung aqidah. Mampukah de Zweep modern membendung kemajuan jaman? membendung sejarah perjuangan kelas? Jadi, para anak wayang bersiap-siaplah bersedia payung sebelum memulai gerakan apapun yang mengusik kekuasaan.
Karya Pulau Buru
Arus Balik -- Sebuah epos pasca kejayaan Nusantara sebagai kekuatan dan kesatuan maritim pada awal abad 16.
Lembaga Magsaysay :
Pramoedya Ananta Toer "... menerangi dengan kisah-kisah cemerlangnya kebangkitan kesadaran dan pengalaman modern rakyat Indonesia."
Semasa jayanya Majapahit, Nusantara merupakan kesatuan maritim dan kerajaan laut terbesar di antara bangsa-bangsa beradab di muka bumi. Arus bergerak dari selatan ke utara, segalanya: kapal-kapalnya, manusianya, amal perbuatannya dan cita-citanya, semua bergerak dari Nusantara di selatan ke 'Atas Angin' di utara. Tetapi zaman berubah...
Arus berbalik -- bukan lagi dari selatan ke utara tetapi sebaliknya dari utara ke selatan. Utara kuasai selatan, menguasai urat nadi kehidupan Nusantara... Perpecahan dan kekalahan demi kekalahan seakan menjadi bagian dari Jawa yang beruntun tiada hentinya.
Wiranggaleng -- pemuda desa sederhana, menjadi tokoh protagonis dalam epos kepahlawan yang maha dahsyat ini. Dia bertarung sampai ke pusat kekuatan Portugis di Malaka, memberi segala-galanya -- walau hanya secauk pasir sekalipun -- untuk membendung arus utara.
Masih dapatkah arus balik membalik lagi?
Karya Pramoedya Ananta Toer
sebuah epos besar
dari seorang penulis besar.
ISBN 979-8659-04-X
Hasta Mitra bangga mempersembahkan epos besar Pramoedya Ananta Toer ini pada Rakyat dan Tanah Air Indonesia untuk ikut merayakan setengah abad Indonesia Merdeka. Di samping itu kita bergembira bersama para pencinta sastra dan pengagung kebebasan menulis di mana pun di dunia berkenaan dengan dua penghargaan terhormat yang diterima oleh Pramoedya hampir bersamaan waktu sebagai pengarang Indonesia, pertama : Ramon Magsaysay Award 1995 dari Filipina, kedua : Wertheim Award 1995 dari Belanda.
Arus Balik adalah bagian dari suatu proyek besar studi sejarah Nusantara yang dilakukan Pramoedya sebelum ditahan pada 1965. Terpaksa diamenulis hasil risetnya semasa tahanannya di Pulau Buru (1969-1979) tanpa membawa sebaris pun catatannya. Yang dihasilkan bukanlah sebuah thesis sejarah, tetapi novel sejarah sebagaimana juga halnya dengan sejarah gerakan kebangkitan kebangsaan Indonesia yang dituangkannya dalam bentuk novel tetralogi Bumi Manusia, bukan kertas ilmiah.
Nyanyi Sunyi Seorang Bisu,
Karya Pulau Buru
Pengantar Edisi Pembebasan
Nyanyi Sunyi Seorang Bisu adalah satu-satunya karya non-fiksi Pramoedya semasa tahanan di Buru, bukan novel. Buku ini merupakan kumpulan catatan berisi surat-surat pribadi kepada anak-anaknya yang tak pernah terkirim, juga esai-esai, terutama sangat mencengangkan adalah renungannya yang tajam merekam apa yang dialami sebagai pribadi, sebagai suami dan ayah, sebagai pengarang dan sebagai tahanan politik rejim militerisme yang merampas segala darinya: hasil cipta jiwa dan pemikirannya berikut harta bendanya -- naskah, buku, dokumentasi, rumah, sampai kepada hak kebebasan kewarganegaraannya dan sebagai manusia. Dengan ringkas: rejim golkarnya Suharta merenggut umur Pramoedya yang dengan sendirinya juga merampas kebahagiaan keluarga, istri, dan anak-anaknya. Penguasa fasis orba berusaha keras memendam nilai-nilai produk kreativitas manusia paling berharga yang sebenarnya menjadi milik Indonesia dan masyarakat dunia.
Keunikannya : catatan yang merupakan dokumentasi sosial bangsa ini bukan terbit dalam bahasa tanah kelahirannya, melainkan untuk pertama kali justru terbit di negeri orang lain -- di negeri Belanda sebagai Lied van een Stomme, dua jilid, 1988-1989. Pertimbangannya? Buku ini terlalu besar risiko politiknya untuk diterbitkan di Indonesia di tengah kekuasaan fasisme golkar yang mampu melakukan segalanya yang paling kotor. Tetapi keberanian dan tedad yang mantap untuk merebut kebebasan yang menjadi haknya, membuat Pramoedya mengambil keputusan untuk toh menerbitkan catatannya ini pada saat Suharto sedang sekuasa-kuasanya.
Catatan dan surat-surat yang terhimpun di dalam buku ini ditulis terburu-buru tanpa diperiksa kembali, kecuali beberapa bagian. Ini tidak lain karena keadaan tidak memungkinkan menempuh jalan lebih baik dan lebih luas. Surat-surat dalam himpunan ini tidak pernah terkirim pada alamat yang dimaksud, juga karena tidak ada kemungkinan lain. Semua ditulis setelah 1973, tahun penulis mendapat izin menulis.
Memang ini hanya catatan pribadi. Jatuh ke tangan yang tidak dikehendaki bisa berubah jadi materi proces-verbaal. Kesempatan-kesempatan menuliskannya tergantung pada intuisi “keamanan” sebagai tapol, maka tidak terencana, tidak terpelihara bentuknya, laksana air curah saja. Tak jarang terjadi ulangan yang dalam keadaan normal tidak dikehendaki. Kemudian beberapa orang teman tapol RI mengetahui dan menuntut membacanya. Konsekwensi selanjutnya: beredar dari tangan ke tangan sebagai majalah tanpa mengenal sensor preventif maupun repressif. Seluruh catatan yang tidak bersifat pribadi pada akhirnya terampas sedang sebagian yang bersifat pribadi dapat diselamatkan oleh berbagai teman dengan berbagai cara dalam keadaan hancur, setengah hancur atau kabur, tetapi ada juga yang sepenuhnya masih utuh.
Pada mereka yang pernah membaca catatan semula dan menemukan penyimpangan atau kelainan dalam terbitan ini kiranya dapat memahami sebab-sebabnya.
Sebagian, yang pernah dibaca oleh teman-teman, memang tidak didapatkan di sini, karena sudah sejak di Buru sengaja dihancurkan setelah "I.", sarjana muda sejarah dari Yogya itu, melaporkannya pada penguasa, mengakibatkan beberapa kali terjadi interogasi. Sedang sebelum itu, catatan perjalanan dari Jakarta ke Nusa Kambangan dan di bulan-bulan pertama di Buru, sudah lebih dahulu dibakar karena operasi pencarian kertas di Unit III.
Seorang pejabat yang tidak tahan melihat keadaan para tapol, pada suatu kali menasehatkan: hadapi semua seperti main layang-layang; angin kencang ulur benang, tak ada angin tarik benang. Kalau tidak, kalian akan tumpas semua. Nasehat dan anjurannya aku akui ikut berpengaruh atas nasib dan surat-surat dalam himpunan ini. Tanpa mendengarkan nasihat atau anjuran tersebut jelas tulisan ini tidak akan pernah tercetak karena penulis sudah jadi peda atau ikan asin dalam kain kafan. Terimakasih kepada pejabat tersebut.
Terimakasih tak terhingga, dan memang jadi haknya, adalah pada semua dan setiap orang, yang karena solidaritas internasional dan manusiawinya memungkinkan adanya kelonggaran menulis dalam pembuangan sejak Juli 1973, khususnya Amnesti Internasional, Komité Indonesia, (badan apa lagi?), sedang pribadi yang sangat mengesankan dalam hubungan ini tentu saja Prof. Dr. Wertheim dan Carmel Boediardjo.
Barang tentu karena yang diselamatkan itu bersifat pribadi, yang pada mulanya dimaksud untuk mengenangkan kembali yang sudah-sudah dan menyimpan tanggapan-tanggapan semasa, agar tidak lenyap begitu saja dalam langkah oleh proses kemerosotan, terbitan ini juga akan terasa sifatnya yang pribadi. Penerbitan ini didasarkan pada pertimbangan: apa dan bagaimana pun pengalaman indrawi dan batin seorang pribadi, apalagi dituliskan, ia jadi bagian dari pengalaman suatu bangsa dan umat manusia pada umumnya. Pertimbangan tersebut yang menyingkirkan pertimbangan lain untuk tidak menerbitkannya.
Sebelum naskah diturunkan ke percetakan sudah dicadangkan kemungkinan adanya pihak yang akan menjadi gusar, yaitu yang menghendaki hapusnya pengalaman tertentu – simpul-simpul dalam jaringan pengalaman lebih luas, yang akhirnya mengikat pengalaman setiap dan semua orang dalam masa yang sama itu – hanya karena aksioma: kejahatan menabukan saksi. Apa boleh buat, pengalaman adalah hak orang yang mengalami untuk diapakan saja olehnya sendiri, dan tak ada kekuatan yang bisa merampasnya. Paling-paling orang bisa mendiskreditkan, dan untuk itu segudang alasan memang bisa dikerahkan, apalagi kalau memang tersedia dana dan kekuatan dan kekuasaan untuk mengerahkan.
Akhir kata perlu disampaikan – karena sebagai naskah praktis tak pernah saya buka-buka lagi, apalagi diperiksa kembali –, terimakasih sebesar-besarnya kepada bung Joesoef Isak, yang telah menyusunnya kembali dan mengeditnya dalam bentuk sekarang ini. Tanpa jerih-payahnya tentu saja naskah itu tinggal jadi tumpukan kertas mati.– P.A.T.
Pembebasan rombongan pertama para tapol dari Buru berlangsung pada bulan Desember 1977. Pramoedya Ananta Toer tidak termasuk di dalamnya walaupun pers dalam dan luar negeri sebelumnya telah memberitahukan bahwa ia akan termasuk rombongan pertama itu. Dari para wartawan yang berminat mengusut sebab-sebab pembatalan hanya didapat kabar : jawaban-jawaban Pramoedya dalam interview dengan para pejabat militer yang datang ke Buru tidak berkenan di telinga mereka. Ternyata masih dua tahun lagi ia menunggu. Sebagai rombongan pertama Pramoedya masuk Buru (Agustus 1969) – sebagai rombongan paling akhir ia tinggalkan pulau pembuangan itu (12 November 1979).
Pada hari 12 di bulan November itu mereka diangkut dari Namlea, Buru, dengan kapal “Tanjung Pandan” menuju Jawa. Dalam perjalanan laut pada malam ketiga, kapal membongkar sauh di tengah laut kurang-lebih 6 jam di utara Gresik. Di malam kelam, 40 orang tapol dipisahkan dan diturunkan dari “Tanjung Pandan” ke sebuah kapal-pendarat yang kemudian membawa mereka ke pelabuhan Tanjung Perak Surabaya. Dalam pada itu “Tanjung Pandan” meneruskan pelayaran ke Jakarta.
Pramoedya termasuk dalam rombongan 40 yang dipisahkan itu; bersamanya terdapat antara lain penyair Rivai Apin, sastrawan Oey Hai Djoen, wartawan Hasyim Rachman, anggota CC-PKI Karel Supit, J. Pirie, Ismail Kartasasmita dan lain-lain lagi. Ke-40 tapol itu diklasifikasi oleh penguasa Indonesia sebagai diehard, kepala-batu, orang-orang yang dianggap sebagai “trouble-makers”, non-koperatif dan masih bertahan pada ideologi lama. Dari Surabaya mereka diangkut langsung dengan bis ke Magelang menempuh route selatan, lewat Solo dan Yogya. Di Magelang mereka ternyata dikumpulkan bersama para tapol lainnya dari berbagai penjara di Jawa.
Magelang menjadi tempat menunggu. Apa selanjutnya? Bagaimana keputusan-akhir penguasa di Jakarta? Berita-berita yang santer beredar saat itu adalah bahwa mereka masih terus akan ditahan dan mungkin sekali akan dibawa kembali ke Nusakambangan, sebuah pulau pembuangan lain lagi di Samudera Hindia, selatan Pulau Jawa. Sementara itu di Jakarta terjadi upacara pembebasan para tapol yang diturunkan dari kapal “Tanjung Pandan”.
Di sini tidak bisa dilewatkan catatan tentang peranan pemerintahan Presiden Carter yang telah khusus mengangkat seorang Deputy Secretary of State, Patricia Derian, untuk urusan hak-hak azasi manusia. Pemerintah Indonesia didesak secara serius oleh Amerika agar tidak menunda-nunda lebih lanjut pembebasan tapol yang sudah berkali-kali dijanjikannya itu. Patricia Derian dan Duta Besar Amerika Serikat di Jakarta, Edward G. Masters, pada tahun 1978 dengan tegas menyampaikan pendirian Pemerintah Carter dalam masalah tapol kepada Pemerintah Indonesia. Tekanan dilakukan dengan kaitan kemungkinan penghentian beberapa paket bantuan Amerika apabila pembebasan tapol di Indonesia masih juga ditunda-tunda.
Indonesia di bawah Pemerintah “Orde Baru” – demikian yang berkuasa menamakan dirinya – dapat dicatat sebagai negeri-berkembang yang mempunyai tahanan-politik yang besar jumlahnya di dunia. Negeri-negeri Barat yang mendukung regiem Orde Baru Indonesia menjadi sulit mempertanggung-jawabkan politiknya kepada Parlemen masing-masing untuk meluaskan investasi modalnya dan membantu suatu pemerintahan yang mempunyai tahanan-politik sedemikian banyaknya. Karena itu, demi tujuan dan kebutuhan sendiri yang lebih penting, pembebasan tapol secepatnya harus diselenggarakan. Sebenarnya sampai awal 1976 tidak pernah timbul niat oleh Pemerintah Indonesia untuk membebaskan para tapol yang ditahan di Buru. Kalaupun ada disebut-sebut tentang “penyelesaian”, maka yang dimaksud adalah pemberian kelonggaran-kelonggaran tertentu secara berangsur dan bertahap kepada para tapol itu dan kemudian barulah “dibebaskan” dengan ketentuan wajib tetap tinggal di Pulau Buru, tidak boleh kembali ke tempat asal. Tetapi tekanan Amerika Serikat di bawah Carter dan beberapa negeri IGGI, Amnesti Internasional dan opini dunia yang luas, terpaksa juga didengar oleh Pemerintah Indonesia.
Akhirnya sampai juga berita ke Magelang.
Setelah kurang-lebih satu bulan ditahan di Magelang, Pramoedya dan rombongan pada tanggal 18 Desember 1979 diangkut ke sebuah asrama militer di Banyumanik, 7 km di selatan Semarang. Setelah dua malam di Banyumanik, dari sana pada tanggal 20 Desember mereka diberangkatkan ke Semarang. Dan pada hari itu juga berlangsung “upacara pembebasan” di Semarang yang mendapat perhatian besar sekali dari pers dunia. Sejumlah Duta Besar asing pun memerlukan hadir. Selepas upacara, Pramoedya dan mereka yang berasal dari Jakarta diangkut ke Jakarta, dan tiba kembali tengah malam di tempat asal-mula ditahan: penjara atau Rumah Tahanan Chusus (RTC) Salemba. Keesokan hari mereka diserahkan ke Komando Distrik Militer (Kodim) di wilayah tempat-tinggal masing-masing.
Pramoedya termasuk dalam wilayah Komando Distrik Militer Jakarta Timur. Dalam upacara di Kodim Jakarta Timur, kepada Pramoedya dan para tapol lainnya, diberitahukan bahwa mereka dikenakan wajib-lapor satu kali satu minggu. Juga para tapol yang dibawa ke markas-markas Kodim lain, mengalami hal yang sama.
Sejak hari itu, 21 Desember 1979, berakhirlah masa penjara selama 14 tahun – 4 tahun di penjara Salemba Jakarta dan 10 tahun di Buru, – semua berlangsung tanpa proses pengadilan atau sesuatu tuduhan yang jelas. Pramoedya bebas, namun wajib-lapor baginya sampai sekarang, tahun 1988 – sampai buku ini diterbitkan – masih berjalan terus.
Seberapa jauhkah Pramoedya Ananta Toer dan beratus-ribu ex-tapol Indonesia bebas di negeri sendiri setelah mereka berada di luar penjara? Apakah sudah pulih hak-hak sipil mereka sebagaimana warganegara Indonesia lainnya?
Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas, tentulah yang paling obyektif adalah mencatat peraturan-peraturan yang dibuat oleh Pemerintah Indonesia sendiri bagi para bekas tahanan politik:
· Para ex-tapol dilarang bekerja pada semua jawatan pemerintah, dalam fungsi apa pun dan di mana pun.
· Ex-tapol dilarang bekerja pada semua perusahaan yang dianggap vital oleh Pemerintah. Pengertian “vital” akhirnya bertambah lama bertambah luas. Di tahun-tahun belakangan, peraturan ini ditingkatkan dengan apa yang dikenal sebagai “bersih-lingkungan”. Ini berarti bahwa siapa saja yang mempunyai kaitan-keluarga (bapak, anak, sepupu, ipar, kakak, mertua dan sebagainya) dengan seorang ex-tapol, harus dikeluarkan dari perusahaan tempat mereka bekerja.
· Ex-tapol dilarang ikut membela tanah-airnya atau masuk dinas militer.
· Mass-media dilarang menerima ex-tapol sebagai wartawan atau mempublikasi tulisan mereka. Para Penerbit dilarang menerbitkan buku-buku karangan ex-tapol.
· Ex-tapol diwajibkan meminta izin-khusus dari instansi-instansi sipil dan militer, apabila pergi ke luar kota, apa lagi ke luar negeri. Permohonan izin seperti itu biasanya tidak dijawab, hal mana berarti tidak, tanpa harus mengatakan “tidak!”.
· Ex-tapol harus meminta izin-khusus kalau mau pindah rumah, sekalipun dari satu kelurahan ke kelurahan lain yang berdekatan. (Dalam praktek, izin seperti ini oleh birokrasi yang ruwet dan sikap-sikap pribadi para pejabat yang tidak berkemauan baik, jarang bisa diharapkan keluar, sehingga dua kemungkinan bisa terjadi: ex-tapol bersangkutan secara diam-diam pindah rumah dengan melanggar peraturan, atau dia tinggal klandestin di rumah istrinya sendiri tanpa tercatat sebagai penduduk di kelurahan bersangkutan).
· Sebagian ex-tapol diperbolehkan, sebagian lagi dilarang ikut serta dalam pemilihan umum. Sejak Pramoedya berada kembali di rumah, sudah dua kali terjadi pemilihan umum (1982 dan 1987), pada kedua-dua pemilihan umum itu Pramoedya tidak berhak ikut memilih.
· Semua ex-tapol yang beratus-ribu di seluruh Indonesia berjalan dengan Kartu Tanda Penduduk (KTP) yang diberi kode khusus: ET (ex-tapol). Ini adalah satu sistem kontrol yang efektif, karena segala kegiatan kemasyarakatan harus dimulai dengan menunjukkan KTP. Mau pindah rumah, minta surat-jalan, melamar pekerjaan, perlu paspor dan banyak keperluan lainnya, segala-galanya harus dimulai dengan KTP itu.
· Khusus mengenai Pramoedya dapat dicatat : tiga novelnya yang ia tulis di pulau Buru, Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah dan satu karya riset biografi, Sang Pemula, yang ditulis setelah “bebas”, dilarang beredar oleh Pemerintah Indonesia. Semua buku itu diterbitkan antara tahun 1980-1985. Alasannya: buku-buku Pramoedya berisi propaganda marxisme secara tersembunyi. (Karena buku-buku itu telah diterbitkan di dalam beberapa bahasa asing, maka pembaca di dunia dapat ikut menilai apakah alasan itu mempunyai dasar kebenaran atau tidak).
Negeri-negeri Barat yang sekarang leluasa beroperasi dengan modalnya di Indonesia lewat Menteri Schoo dari Belanda berpendapat, bahwa di Indonesia “tidak ada pelanggaran struktural hak-hak azasi manusia”. Mereka percaya sekali pada pernyataannya sendiri, karena kepercayaan seperti itu rupanya diperlukan sekali untuk pembenaran investasi modalnya dan menenangkan hati nurani mereka. Fakta-fakta tentang pengertian “bebas” yang dialami para ex-tapol seperti terinci di atas, oleh negeri-negeri Barat dan menurut ukuran-ukuran Barat rupanya belum dapat dikategorikan sebagai pelanggaran hak-hak azasi manusia secara struktural.
Namun bagaimanapun orang menafsirkan fakta-fakta di atas, satu hal adalah jelas bahwa Pemerintah Indonesia melestarikan atau membakukan status ex-tapol secara permanen. Secara resmi Pemerintah Indonesia men-jalankan diskriminasi atau semacam politik apartheid terhadap warganegaranya sendiri. Kalau Hitler memaksa warga Yahudi menyandang tanda “Bintang David”, maka di Indonesia para ex-tapol diharuskan menyandang tanda “ET”. Mengapa begitu? Apakah itu rasional? Apakah itu manusiawi? Apa keadaan seperti itu memang masih diperlukan demi keamanan?
Para pengamat masalah Indonesia melihat di sini satu contradictio in terminis: di satu pihak Pemerintah Indonesia secara kontinu dengan bangga mengeluarkan statement bahwa keadaan aman dan stabil, tetapi di lain pihak menganggap suatu “bahaya latent kiri” (sekarang juga bahaya kanan) tetap mengancam eksistensi pemerintah Orde Baru. Apakah statement tentang keadaan yang aman hanya sekedar untuk menenangkan para investor dan calon-investor modal asing, padahal keadaan sebenarnya tidak aman? Ataukah keadaan betul-betul aman dan stabil, te-tapi Penguasa sekarang terus-menerus memerlukan “penggada siap pakai” yang serta-merta setiap saat dapat dipergunakan terhadap siapa saja yang mempunyai pendapat lain dari yang berkuasa? Untuk itu sang momok yang sangat mengerikan perlu dipelihara dan dihidupkan terus, walaupun ABRI berjaya dan situasi sepenuhnya terkontrol dengan ketat dan effektif.
Salah satu faktor belum dipulihkannya hak-hak sipil para ex-tapol selama 23 tahun – sejak 1965 sampai hari ini (!) –, boleh jadi juga disebabkan suatu inertia, hukum kelambanan yang membikin birokrasi-kekuasaan menjadi beku. Mentalitas inertia ini menyebabkan peraturan-peraturan yang sebenarnya sudah lapuk atau tidak diperlukan lagi, masih terus saja berlaku tanpa ada yang berinisiatif untuk meninjaunya kembali. Atau dikatakan dengan singkat: aparat-kekuasaan sudah kejangkitan budaya-kelambanan. Kemungkinan lain adalah bahwa para pejabat sipil dan militer Orde Baru sama sekali tidak kejangkitan inertia, akan tetapi saling takut untuk berprakarsa mengambil kebijaksanaan baru dalam masalah ex-tapol, karena mempunyai pikiran-pikiran tentang merestorasi hak-hak sipil para ex-tapol akan menghadapi risiko dituduh bersimpati pada golongan kiri atau bahkan bisa dicap komunis. Atau, sistem kekuasaan Orde Baru di Indonesia memang secara sadar menghendaki dilaksanakannya politik diskriminasi terhadap warganegaranya sendiri yang dianggap mempunyai pandangan berbeda?
Memang sejumlah kemungkinan bisa ditampilkan, tetapi kenyataan jelas menerangkan, bahwa Orde Baru tidak punya kekuatan, tidak punya ke-mauan politik, untuk memulihkan hak-hak sipil para ex-tapol, para paria itu. Adanya paria, atau golongan masyarakat yang dijadikan paria, tak pernah terkandung sepanjang cita-cita yang diemban para pejuang dan founding fathers kemerdekaan Indonesia. Mengapa Orde Baru mengisi era pembangunan sekarang ini justru dengan menciptakan golongan paria? Menurut formula-formula baku yang biasa dapat ditemukan dalam media pers sekarang, Orde Baru wajib melestarikan, menyelamatkan, mengamankan Pancasila dan UUD 45. Dan Pancasila/UUD 45 dalam praktek adalah identik, sama dan sebangun, dengan kekuasan yang sedang dipegang para penguasa.
Yang luar biasa dari semua itu adalah bahwa di Indonesia, pelanggaran hak-hak azasi dapat dilakukan secara resmi berdasarkan hukum. Semua pembatasan hak-hak sipil diberi landasan hukum dan peraturan yang disahkan oleh Pemerintah. Itu sebabnya para pejabat sipil maupun militer Indonesia selalu membantah dan tidak merasa telah melanggar hak-hak azasi manusia, karena untuk semua tindakan yang mereka ambil – yang oleh dunia beradab dianggap sebagai pelanggaran hak-hak azasi manusia – tersedia landasan hukumnya secara resmi.
Pramoedya sendiri selalu berpendapat, bahwa hak-hak azasi, hak-hak sipil, bukanlah anugerah dari siapapun, bukan sesuatu yang harus dia minta, melainkan menjadi hak pribadinya yang sah, sebagai manusia dan sebagai warganegara Indonesia. Dan atas dasar prinsip itulah ia bekerja: Dia menulis dan tetap terus menulis – itu hak pribadinya dan itulah profesinya. Memang tidak mudah baginya menjadi pengarang di negerinya sendiri.
Motto di awal catatan penutup ini cocok sekali dikenakan kepadanya: “verba amini proferre et vitam impendero vero” – dia mengucapkan fikirannya dengan bebas, dan ia pertaruhkan nyawanya demi kebenaran.
* Epilog (Nawoord) atau Catatan Penutup oleh Penyunting ini dimuat dalam Nyanyi Sunyi Seorang Bisu edisi Belanda, Lied van een Stomme, 1989-’90.
****
Catatan atas catatan**
Catatan dan surat-surat yang terhimpun di dalam buku ini ditulis terburu-buru tanpa diperiksa kembali, kecuali beberapa bagian. Ini tidak lain karena keadaan tidak memungkinkan menempuh jalan lebih baik dan lebih luas. Surat-surat dalam himpunan ini tidak pernah terkirim pada alamat yang dimaksud, juga karena tidak ada kemungkinan lain. Semua ditulis setelah 1973, tahun penulis mendapat izin menulis.
Memang ini hanya catatan pribadi. Jatuh ke tangan yang tidak dikehendaki bisa berubah jadi materi proces-verbaal. Kesempatan-kesempatan menuliskannya tergantung pada intuisi “keamanan” sebagai tapol, maka tidak terencana, tidak terpelihara bentuknya, laksana air curah saja. Tak jarang terjadi ulangan yang dalam keadaan normal tidak dikehendaki. Kemudian beberapa orang teman tapol RI mengetahui dan menuntut membacanya. Konsekwensi selanjutnya: beredar dari tangan ke tangan sebagai majalah tanpa mengenal sensor preventif maupun repressif. Seluruh catatan yang tidak bersifat pribadi pada akhirnya terampas sedang sebagian yang bersifat pribadi dapat diselamatkan oleh berbagai teman dengan berbagai cara dalam keadaan hancur, setengah hancur atau kabur, tetapi ada juga yang sepenuhnya masih utuh.
Pada mereka yang pernah membaca catatan semula dan menemukan penyimpangan atau kelainan dalam terbitan ini kiranya dapat memahami sebab-sebabnya.
Sebagian, yang pernah dibaca oleh teman-teman, memang tidak didapatkan di sini, karena sudah sejak di Buru sengaja dihancurkan setelah "I.", sarjana muda sejarah dari Yogya itu, melaporkannya pada penguasa, mengakibatkan beberapa kali terjadi interogasi. Sedang sebelum itu, catatan perjalanan dari Jakarta ke Nusa Kambangan dan di bulan-bulan pertama di Buru, sudah lebih dahulu dibakar karena operasi pencarian kertas di Unit III.
Seorang pejabat yang tidak tahan melihat keadaan para tapol, pada suatu kali menasehatkan: hadapi semua seperti main layang-layang; angin kencang ulur benang, tak ada angin tarik benang. Kalau tidak, kalian akan tumpas semua. Nasehat dan anjurannya aku akui ikut berpengaruh atas nasib dan surat-surat dalam himpunan ini. Tanpa mendengarkan nasihat atau anjuran tersebut jelas tulisan ini tidak akan pernah tercetak karena penulis sudah jadi peda atau ikan asin dalam kain kafan. Terimakasih kepada pejabat tersebut.
Terimakasih tak terhingga, dan memang jadi haknya, adalah pada semua dan setiap orang, yang karena solidaritas internasional dan manusiawinya memungkinkan adanya kelonggaran menulis dalam pembuangan sejak Juli 1973, khususnya Amnesti Internasional, Komité Indonesia, (badan apa lagi?), sedang pribadi yang sangat mengesankan dalam hubungan ini tentu saja Prof. Dr. Wertheim dan Carmel Boediardjo.
Barang tentu karena yang diselamatkan itu bersifat pribadi, yang pada mulanya dimaksud untuk mengenangkan kembali yang sudah-sudah dan menyimpan tanggapan-tanggapan semasa, agar tidak lenyap begitu saja dalam langkah oleh proses kemerosotan, terbitan ini juga akan terasa sifatnya yang pribadi. Penerbitan ini didasarkan pada pertimbangan: apa dan bagaimana pun pengalaman indrawi dan batin seorang pribadi, apalagi dituliskan, ia jadi bagian dari pengalaman suatu bangsa dan umat manusia pada umumnya. Pertimbangan tersebut yang menyingkirkan pertimbangan lain untuk tidak menerbitkannya.
Sebelum naskah diturunkan ke percetakan sudah dicadangkan kemungkinan adanya pihak yang akan menjadi gusar, yaitu yang menghendaki hapusnya pengalaman tertentu – simpul-simpul dalam jaringan pengalaman lebih luas, yang akhirnya mengikat pengalaman setiap dan semua orang dalam masa yang sama itu – hanya karena aksioma: kejahatan menabukan saksi. Apa boleh buat, pengalaman adalah hak orang yang mengalami untuk diapakan saja olehnya sendiri, dan tak ada kekuatan yang bisa merampasnya. Paling-paling orang bisa mendiskreditkan, dan untuk itu segudang alasan memang bisa dikerahkan, apalagi kalau memang tersedia dana dan kekuatan dan kekuasaan untuk mengerahkan.
Akhir kata perlu disampaikan – karena sebagai naskah praktis tak pernah saya buka-buka lagi, apalagi diperiksa kembali –, terimakasih sebesar-besarnya kepada bung Joesoef Isak, yang telah menyusunnya kembali dan mengeditnya dalam bentuk sekarang ini. Tanpa jerih-payahnya tentu saja naskah itu tinggal jadi tumpukan kertas mati.– P.A.T.
Jakarta, 1988
_______________
* “Catatan atas Catatan” ini dimuat dalam Lied van een Stomme, 1988-1989, edisi Belanda Nyanyi Sunyi Seorang Bisu.
*****
Epilog oleh Penyunting*
Verba amini proferre et vitam impendero vero
Pembebasan rombongan pertama para tapol dari Buru berlangsung pada bulan Desember 1977. Pramoedya Ananta Toer tidak termasuk di dalamnya walaupun pers dalam dan luar negeri sebelumnya telah memberitahukan bahwa ia akan termasuk rombongan pertama itu. Dari para wartawan yang berminat mengusut sebab-sebab pembatalan hanya didapat kabar : jawaban-jawaban Pramoedya dalam interview dengan para pejabat militer yang datang ke Buru tidak berkenan di telinga mereka. Ternyata masih dua tahun lagi ia menunggu. Sebagai rombongan pertama Pramoedya masuk Buru (Agustus 1969) – sebagai rombongan paling akhir ia tinggalkan pulau pembuangan itu (12 November 1979).
Pada hari 12 di bulan November itu mereka diangkut dari Namlea, Buru, dengan kapal “Tanjung Pandan” menuju Jawa. Dalam perjalanan laut pada malam ketiga, kapal membongkar sauh di tengah laut kurang-lebih 6 jam di utara Gresik. Di malam kelam, 40 orang tapol dipisahkan dan diturunkan dari “Tanjung Pandan” ke sebuah kapal-pendarat yang kemudian membawa mereka ke pelabuhan Tanjung Perak Surabaya. Dalam pada itu “Tanjung Pandan” meneruskan pelayaran ke Jakarta.
Pramoedya termasuk dalam rombongan 40 yang dipisahkan itu; bersamanya terdapat antara lain penyair Rivai Apin, sastrawan Oey Hai Djoen, wartawan Hasyim Rachman, anggota CC-PKI Karel Supit, J. Pirie, Ismail Kartasasmita dan lain-lain lagi. Ke-40 tapol itu diklasifikasi oleh penguasa Indonesia sebagai diehard, kepala-batu, orang-orang yang dianggap sebagai “trouble-makers”, non-koperatif dan masih bertahan pada ideologi lama. Dari Surabaya mereka diangkut langsung dengan bis ke Magelang menempuh route selatan, lewat Solo dan Yogya. Di Magelang mereka ternyata dikumpulkan bersama para tapol lainnya dari berbagai penjara di Jawa.
Magelang menjadi tempat menunggu. Apa selanjutnya? Bagaimana keputusan-akhir penguasa di Jakarta? Berita-berita yang santer beredar saat itu adalah bahwa mereka masih terus akan ditahan dan mungkin sekali akan dibawa kembali ke Nusakambangan, sebuah pulau pembuangan lain lagi di Samudera Hindia, selatan Pulau Jawa. Sementara itu di Jakarta terjadi upacara pembebasan para tapol yang diturunkan dari kapal “Tanjung Pandan”.
Di sini tidak bisa dilewatkan catatan tentang peranan pemerintahan Presiden Carter yang telah khusus mengangkat seorang Deputy Secretary of State, Patricia Derian, untuk urusan hak-hak azasi manusia. Pemerintah Indonesia didesak secara serius oleh Amerika agar tidak menunda-nunda lebih lanjut pembebasan tapol yang sudah berkali-kali dijanjikannya itu. Patricia Derian dan Duta Besar Amerika Serikat di Jakarta, Edward G. Masters, pada tahun 1978 dengan tegas menyampaikan pendirian Pemerintah Carter dalam masalah tapol kepada Pemerintah Indonesia. Tekanan dilakukan dengan kaitan kemungkinan penghentian beberapa paket bantuan Amerika apabila pembebasan tapol di Indonesia masih juga ditunda-tunda.
Indonesia di bawah Pemerintah “Orde Baru” – demikian yang berkuasa menamakan dirinya – dapat dicatat sebagai negeri-berkembang yang mempunyai tahanan-politik yang besar jumlahnya di dunia. Negeri-negeri Barat yang mendukung regiem Orde Baru Indonesia menjadi sulit mempertanggung-jawabkan politiknya kepada Parlemen masing-masing untuk meluaskan investasi modalnya dan membantu suatu pemerintahan yang mempunyai tahanan-politik sedemikian banyaknya. Karena itu, demi tujuan dan kebutuhan sendiri yang lebih penting, pembebasan tapol secepatnya harus diselenggarakan. Sebenarnya sampai awal 1976 tidak pernah timbul niat oleh Pemerintah Indonesia untuk membebaskan para tapol yang ditahan di Buru. Kalaupun ada disebut-sebut tentang “penyelesaian”, maka yang dimaksud adalah pemberian kelonggaran-kelonggaran tertentu secara berangsur dan bertahap kepada para tapol itu dan kemudian barulah “dibebaskan” dengan ketentuan wajib tetap tinggal di Pulau Buru, tidak boleh kembali ke tempat asal. Tetapi tekanan Amerika Serikat di bawah Carter dan beberapa negeri IGGI, Amnesti Internasional dan opini dunia yang luas, terpaksa juga didengar oleh Pemerintah Indonesia.
Akhirnya sampai juga berita ke Magelang.
Setelah kurang-lebih satu bulan ditahan di Magelang, Pramoedya dan rombongan pada tanggal 18 Desember 1979 diangkut ke sebuah asrama militer di Banyumanik, 7 km di selatan Semarang. Setelah dua malam di Banyumanik, dari sana pada tanggal 20 Desember mereka diberangkatkan ke Semarang. Dan pada hari itu juga berlangsung “upacara pembebasan” di Semarang yang mendapat perhatian besar sekali dari pers dunia. Sejumlah Duta Besar asing pun memerlukan hadir. Selepas upacara, Pramoedya dan mereka yang berasal dari Jakarta diangkut ke Jakarta, dan tiba kembali tengah malam di tempat asal-mula ditahan: penjara atau Rumah Tahanan Chusus (RTC) Salemba. Keesokan hari mereka diserahkan ke Komando Distrik Militer (Kodim) di wilayah tempat-tinggal masing-masing.
Pramoedya termasuk dalam wilayah Komando Distrik Militer Jakarta Timur. Dalam upacara di Kodim Jakarta Timur, kepada Pramoedya dan para tapol lainnya, diberitahukan bahwa mereka dikenakan wajib-lapor satu kali satu minggu. Juga para tapol yang dibawa ke markas-markas Kodim lain, mengalami hal yang sama.
Sejak hari itu, 21 Desember 1979, berakhirlah masa penjara selama 14 tahun – 4 tahun di penjara Salemba Jakarta dan 10 tahun di Buru, – semua berlangsung tanpa proses pengadilan atau sesuatu tuduhan yang jelas. Pramoedya bebas, namun wajib-lapor baginya sampai sekarang, tahun 1988 – sampai buku ini diterbitkan – masih berjalan terus.
Seberapa jauhkah Pramoedya Ananta Toer dan beratus-ribu ex-tapol Indonesia bebas di negeri sendiri setelah mereka berada di luar penjara? Apakah sudah pulih hak-hak sipil mereka sebagaimana warganegara Indonesia lainnya?
Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas, tentulah yang paling obyektif adalah mencatat peraturan-peraturan yang dibuat oleh Pemerintah Indonesia sendiri bagi para bekas tahanan politik:
· Para ex-tapol dilarang bekerja pada semua jawatan pemerintah, dalam fungsi apa pun dan di mana pun.
· Ex-tapol dilarang bekerja pada semua perusahaan yang dianggap vital oleh Pemerintah. Pengertian “vital” akhirnya bertambah lama bertambah luas. Di tahun-tahun belakangan, peraturan ini ditingkatkan dengan apa yang dikenal sebagai “bersih-lingkungan”. Ini berarti bahwa siapa saja yang mempunyai kaitan-keluarga (bapak, anak, sepupu, ipar, kakak, mertua dan sebagainya) dengan seorang ex-tapol, harus dikeluarkan dari perusahaan tempat mereka bekerja.
· Ex-tapol dilarang ikut membela tanah-airnya atau masuk dinas militer.
· Mass-media dilarang menerima ex-tapol sebagai wartawan atau mempublikasi tulisan mereka. Para Penerbit dilarang menerbitkan buku-buku karangan ex-tapol.
· Ex-tapol diwajibkan meminta izin-khusus dari instansi-instansi sipil dan militer, apabila pergi ke luar kota, apa lagi ke luar negeri. Permohonan izin seperti itu biasanya tidak dijawab, hal mana berarti tidak, tanpa harus mengatakan “tidak!”.
· Ex-tapol harus meminta izin-khusus kalau mau pindah rumah, sekalipun dari satu kelurahan ke kelurahan lain yang berdekatan. (Dalam praktek, izin seperti ini oleh birokrasi yang ruwet dan sikap-sikap pribadi para pejabat yang tidak berkemauan baik, jarang bisa diharapkan keluar, sehingga dua kemungkinan bisa terjadi: ex-tapol bersangkutan secara diam-diam pindah rumah dengan melanggar peraturan, atau dia tinggal klandestin di rumah istrinya sendiri tanpa tercatat sebagai penduduk di kelurahan bersangkutan).
· Sebagian ex-tapol diperbolehkan, sebagian lagi dilarang ikut serta dalam pemilihan umum. Sejak Pramoedya berada kembali di rumah, sudah dua kali terjadi pemilihan umum (1982 dan 1987), pada kedua-dua pemilihan umum itu Pramoedya tidak berhak ikut memilih.
· Semua ex-tapol yang beratus-ribu di seluruh Indonesia berjalan dengan Kartu Tanda Penduduk (KTP) yang diberi kode khusus: ET (ex-tapol). Ini adalah satu sistem kontrol yang efektif, karena segala kegiatan kemasyarakatan harus dimulai dengan menunjukkan KTP. Mau pindah rumah, minta surat-jalan, melamar pekerjaan, perlu paspor dan banyak keperluan lainnya, segala-galanya harus dimulai dengan KTP itu.
· Khusus mengenai Pramoedya dapat dicatat : tiga novelnya yang ia tulis di pulau Buru, Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah dan satu karya riset biografi, Sang Pemula, yang ditulis setelah “bebas”, dilarang beredar oleh Pemerintah Indonesia. Semua buku itu diterbitkan antara tahun 1980-1985. Alasannya: buku-buku Pramoedya berisi propaganda marxisme secara tersembunyi. (Karena buku-buku itu telah diterbitkan di dalam beberapa bahasa asing, maka pembaca di dunia dapat ikut menilai apakah alasan itu mempunyai dasar kebenaran atau tidak).
Negeri-negeri Barat yang sekarang leluasa beroperasi dengan modalnya di Indonesia lewat Menteri Schoo dari Belanda berpendapat, bahwa di Indonesia “tidak ada pelanggaran struktural hak-hak azasi manusia”. Mereka percaya sekali pada pernyataannya sendiri, karena kepercayaan seperti itu rupanya diperlukan sekali untuk pembenaran investasi modalnya dan menenangkan hati nurani mereka. Fakta-fakta tentang pengertian “bebas” yang dialami para ex-tapol seperti terinci di atas, oleh negeri-negeri Barat dan menurut ukuran-ukuran Barat rupanya belum dapat dikategorikan sebagai pelanggaran hak-hak azasi manusia secara struktural.
Namun bagaimanapun orang menafsirkan fakta-fakta di atas, satu hal adalah jelas bahwa Pemerintah Indonesia melestarikan atau membakukan status ex-tapol secara permanen. Secara resmi Pemerintah Indonesia men-jalankan diskriminasi atau semacam politik apartheid terhadap warganegaranya sendiri. Kalau Hitler memaksa warga Yahudi menyandang tanda “Bintang David”, maka di Indonesia para ex-tapol diharuskan menyandang tanda “ET”. Mengapa begitu? Apakah itu rasional? Apakah itu manusiawi? Apa keadaan seperti itu memang masih diperlukan demi keamanan?
Para pengamat masalah Indonesia melihat di sini satu contradictio in terminis: di satu pihak Pemerintah Indonesia secara kontinu dengan bangga mengeluarkan statement bahwa keadaan aman dan stabil, tetapi di lain pihak menganggap suatu “bahaya latent kiri” (sekarang juga bahaya kanan) tetap mengancam eksistensi pemerintah Orde Baru. Apakah statement tentang keadaan yang aman hanya sekedar untuk menenangkan para investor dan calon-investor modal asing, padahal keadaan sebenarnya tidak aman? Ataukah keadaan betul-betul aman dan stabil, te-tapi Penguasa sekarang terus-menerus memerlukan “penggada siap pakai” yang serta-merta setiap saat dapat dipergunakan terhadap siapa saja yang mempunyai pendapat lain dari yang berkuasa? Untuk itu sang momok yang sangat mengerikan perlu dipelihara dan dihidupkan terus, walaupun ABRI berjaya dan situasi sepenuhnya terkontrol dengan ketat dan effektif.
Salah satu faktor belum dipulihkannya hak-hak sipil para ex-tapol selama 23 tahun – sejak 1965 sampai hari ini (!) –, boleh jadi juga disebabkan suatu inertia, hukum kelambanan yang membikin birokrasi-kekuasaan menjadi beku. Mentalitas inertia ini menyebabkan peraturan-peraturan yang sebenarnya sudah lapuk atau tidak diperlukan lagi, masih terus saja berlaku tanpa ada yang berinisiatif untuk meninjaunya kembali. Atau dikatakan dengan singkat: aparat-kekuasaan sudah kejangkitan budaya-kelambanan. Kemungkinan lain adalah bahwa para pejabat sipil dan militer Orde Baru sama sekali tidak kejangkitan inertia, akan tetapi saling takut untuk berprakarsa mengambil kebijaksanaan baru dalam masalah ex-tapol, karena mempunyai pikiran-pikiran tentang merestorasi hak-hak sipil para ex-tapol akan menghadapi risiko dituduh bersimpati pada golongan kiri atau bahkan bisa dicap komunis. Atau, sistem kekuasaan Orde Baru di Indonesia memang secara sadar menghendaki dilaksanakannya politik diskriminasi terhadap warganegaranya sendiri yang dianggap mempunyai pandangan berbeda?
Memang sejumlah kemungkinan bisa ditampilkan, tetapi kenyataan jelas menerangkan, bahwa Orde Baru tidak punya kekuatan, tidak punya ke-mauan politik, untuk memulihkan hak-hak sipil para ex-tapol, para paria itu. Adanya paria, atau golongan masyarakat yang dijadikan paria, tak pernah terkandung sepanjang cita-cita yang diemban para pejuang dan founding fathers kemerdekaan Indonesia. Mengapa Orde Baru mengisi era pembangunan sekarang ini justru dengan menciptakan golongan paria? Menurut formula-formula baku yang biasa dapat ditemukan dalam media pers sekarang, Orde Baru wajib melestarikan, menyelamatkan, mengamankan Pancasila dan UUD 45. Dan Pancasila/UUD 45 dalam praktek adalah identik, sama dan sebangun, dengan kekuasan yang sedang dipegang para penguasa.
*
Seberapa bebas isi kebebasan yang dimiliki para ex-tapol? Kebebasan yang diberikan oleh Pemerintah Indonesia kepada Pramoedya Ananta Toer dan para ex-tapol lainnya adalah kebebasan semu. Para ex-tapol Indonesia ternyata tetap orang-orang tahanan, orang-orang penjara di luar penjara. Akibatnya di Indonesia terdapat dua klas kewarganegaraan: yang menikmati dan yang tidak menikmati hak-hak sipil. Yang luar biasa dari semua itu adalah bahwa di Indonesia, pelanggaran hak-hak azasi dapat dilakukan secara resmi berdasarkan hukum. Semua pembatasan hak-hak sipil diberi landasan hukum dan peraturan yang disahkan oleh Pemerintah. Itu sebabnya para pejabat sipil maupun militer Indonesia selalu membantah dan tidak merasa telah melanggar hak-hak azasi manusia, karena untuk semua tindakan yang mereka ambil – yang oleh dunia beradab dianggap sebagai pelanggaran hak-hak azasi manusia – tersedia landasan hukumnya secara resmi.
Pramoedya sendiri selalu berpendapat, bahwa hak-hak azasi, hak-hak sipil, bukanlah anugerah dari siapapun, bukan sesuatu yang harus dia minta, melainkan menjadi hak pribadinya yang sah, sebagai manusia dan sebagai warganegara Indonesia. Dan atas dasar prinsip itulah ia bekerja: Dia menulis dan tetap terus menulis – itu hak pribadinya dan itulah profesinya. Memang tidak mudah baginya menjadi pengarang di negerinya sendiri.
Motto di awal catatan penutup ini cocok sekali dikenakan kepadanya: “verba amini proferre et vitam impendero vero” – dia mengucapkan fikirannya dengan bebas, dan ia pertaruhkan nyawanya demi kebenaran.
Joesoef Isak, ed.
_________* Epilog (Nawoord) atau Catatan Penutup oleh Penyunting ini dimuat dalam Nyanyi Sunyi Seorang Bisu edisi Belanda, Lied van een Stomme, 1989-’90.
*****
Arok Dedes, Karya Pulau Buru
mbah sghriwo
Kisah Arok Dedes adalah kudeta pertama dalam sejarah kita. Kudeta unik a la Jawa, penuh rekayasa kelicikan, lempar batu sembunyi tangan, yang punya rencana menjadi orang terhormat, yang tak terlibat malah menjadi korban yang ditumpas habis-habisan.
Mengikuti kisah perebutan kekuasaan dengan kelihaian secanggih seperti itu, tanpa diundang asosiasi pembaca langsung beralih dari peristiwa di abad 13 ke abad 20 di tahun 65-an.
Bagaimana pada 1965 bisa terjadi "peralihan kekuasaan" dari Soekarno ke Soeharto? Bagaimana orang yang mengkup kekuasaan justru berhasil melempar tuduhan mengkup itu kepada pihak lain, sampai-sampai yang difitnah menjadi korban kesengsaraan yang berkepanjangan -- bagaimana orang yang memberi informasi tentang bakal terjadinya kup, malah ditangkap dan dipendam lebih 30 tahun dalam penjara? Banyak kemiripan kudeta Arok sekitar 1220-an dan kudeta Harto sekitar 1965-an?
Duapuluh lima tahun yang lalu sebagai tahanan di Buru Pramoedya merawikan kisah tampilnya Ken Arok sebagai Akuwu Tumapel menggantikan kekuasaan Tunggul Ametung. Pramoedya Ananta Toer tidak sedang menulis essay politik aktual atau sedang mengkaji apa yang terjadi di tahun 1965, tetapi lewat kekuatan kata dan wahana sastra, dia menghadapkan cermin sejarah kepada generasi di era Orde Baru untuk melihat diri sendiri, untuk mengenal situasi di mana kita berada, untuk belajar dan menyimpulkan sendiri apa yang sedang kita alami di masa kini, termasuk merefleksi peristiwa 1965, rekayasa seorang jendral naik ke puncak kekuasaan, kemudian dengan gengnya memakmurkan selapis tipis elit Indonesia dan menyengsarakan rakyat dalam skala besar-besaran.
Pramoedya Ananta Toer
Mangir
mbah sghriwo
Ki Ageng Mangir memiliki tombak ampuh Baruklinting untuk menahan serbuan Mataram yang dipimpin Sutowijoyo alias Panembahan Senopati. Sutowijoyo menegakkan untuk pertama kali kerajaan Mataram Islam. Sutowijoyo atau Panembahan Senopati pada 1575 berhasil menundukkan hampir sebagian besar Jawa Tengah dan sebagian Jawa Timur, kecuali satu daerah Mangir yang berjarak sehari perjalanan gerobak sapi. Mangir sejak jaman sebelum Panembahan Senopati berkuasa menjadi daerah bebas pajak karena jasa prajurit Mangir terhadap Majapahit sangat dihargai oleh penguasa Majapahit dengan menjadikan Mangir sebagai daerah otonom.
Putri Pembayun sang putri cantik Panembahan Senopati turun ke bawah langsung untuk menembaus pertahanan Mangir yang super ketat. Sang raja pun yang pada mulanya khawatir dengan keselamatan putri Pembayun pada akhirnya atas bujukan Ki Ageng Pemanahan agar menyetujui rencana tersebut.
Putri Pembayun mempersiapkan diri dengan berlatih keras menjadi seorang penari keliling yang hidup berpindah-pindah tempat. Dengan perjalanan melingkar-lingkar jarak Mataran dan mangir mereka tempuh hampir sebulan untuk menghilangkan jejak rombongan penari yang diiringi oleh gamelan.
Singkatnya Putri Pembayun yang cantik-jelita dan rupawan itu sukses dan mampu menjerat hati Ki Ageng Mangir yang usinya masih sangat muda. Para pimpinan pasukan Mangir yang sangat berpengalaan di medan pertempuran memperingatkan agar Ki Ageng Mangir tidak meneruskan niatnya keluar dari daerah Mangir untuk mengikuti Putri Pembayun karena bahaya dari Mataram selalu mengancam dirinya.
Ki Ageng Mangir yang tahu bahwa Putri Pembayun adalah seorang putri Panembahan Senopati sendiri, akan tetapi kepala pasukan Mangir yang lain tidak tahu akan hal itu. Dengan mengandalkan tombak Baruklinting maka berangkatlah Ki Ageng Mangir hanya seorang diri ke pusat Mataram untuk bertemu sang Panembahan.
Tombak Baruklinting yang dibawa Ki Ageng Mangir harus tetap berdiri tegak selama dibawa dalam perjalanan.
Rahasia tombak Baruklinting sudah berada di tangan Mataram.
Sejak di depan istana Mataram gerbang-gerbang sudah diatur sedemikian rupa sehingga makin lama makin rendah saja. Tombak Baruklinting yang bertangkai sepanjang dua meter itu pun terus-menerus dipotong hingga akhirnya habislah tangkai tombak itu.
Akhrnya sampai juga Ki Ageng Mangir di hadapan sang Panembahan Senopati yang menyambutnya dengan ramah.
"Mendekatlah ananda, ke mari, akan kuberkati dirimu," kata sang raja.
Ki Ageng Mangir mendekati singgasana dan sungkem menundukkan kepala.
Tiba-tiba Panembahan Senopati secepat kilat mengangkat kepala itu dan membenturkan ke singgasana yang terbuat dari batu hingga kepala itu pecah.
Saat ini ada sebuah makam aneh separoh makam berada di dalam komplek dan separoh lagi berada di luar pagar di pemakaman para raja di daerah Yogyakarta. Konon makam tersebut yang bersangkutan hanya mendapat pengakuan separoh sebagai anggota keluarga raja-raja Mataram.
****
Hikayat Siti Mariah
Pramoedya Ananta Toer
mbah sghriwo
Minke berkiprah aktif menerbitkan Medan Priyayi dengan rubrik khusus bantuan hukum bagi rakyat kecil, dengan menyewa seorang ahli hukum kulit putih sangat efektif dalam rangka membantu kelas Pribumi yang selalu kalah melawan orang Belanda karena tidak mungkin Pribumi disidangkan oleh hakim-hakin khusus warga Belanda yang mendapat jaminan hukum kelas satu. Warga Pribumi hanya berhak mendapatkan keadilan dari pengadilan Pribumi rendahan. Sebuah badan hukum semacam suratkabar Medan Priyayi memiliki kesetaraan dengan satu orang Belanda di hadapan hukum Hindia Belanda.
Tidak cukup hanya bekerja di belakang meja redaksi, Minke sesekali turun ke bawah untuk mengetahui langsung masalah hukum orang-orang Pribumi yang dikeluhkan melalui surat yang ditujukan kepadanya atau ke meja redaksi Medan Prijaji.
Pada suatu hari selesai berkunjung ke suatu tempat sendirian Minke sedang bersantap di kedai sate milik Pribumi, tiba-tiba muncul seorang Belanda Indo memasuki kedai yang sama dan langsung duduk di sampingnya, "Tuan datang juga akhirnya, apa yang sangat tuan perlukan dari saya?" sambut Minke sambil mengingat-ingat kemudian mengawasi Indo yang agak gelisah terus itu.
Mereka berjabatan tangan terlebih dulu sebelum si pendatang memperdengarkan suaranya.
"Tuan Minke, maaf sejenak saya ingin berseloroh, saya benar-benar punya banyak bukti bahwa golongan Indo lah yang menjadi selalu yang pertama. Tuan belum percaya? Coba tebak siapa penulis Nyai Dasima itu, Tuan?"
Benar penulisnya seorang Indo.
"Satu lagi Tuan, si pendiri Partai Indisch itu tuan juga tahu, kan. Dia indisch."
Minke terdiam, mulai tertarik dengan penuturan kata-kata tamu ini.
"Bang, tolong buatkan tamuku ini hidangan, ya." Minke mencoba mengingat-ingat kapan pernah bertemu sebelumnya dengan tamunya ini, tapi rasanya kepalanya buntu tak mau diajak sekongkol, tapi rasa-rasanya sangat meyakinkan memang yakin pernah berjumpa sebelumnya.
Pemilik kedai itu bergegas mulai menyiapkan hidangan yang dipesan oleh pelanggannya.
"Saya benar-benar meminta bantuan Tuan Minke..." tiba-tiba orang yang tidak menyebutkan dan tak ingin dikenal namanya itu menyerahkan sebuah bungkusan rapi dan menyerahkan ke tangan Minke.
"Apa ini Tuan...." Minke cepat-cepat meraih bungkusan itu. Agak berat juga.
"O, itu titipan seseorang yang tidak ingin disebutkan namanya. Ambillah Tuan!"
"Apa pekerjaan Tuan...?" Minke menerima pesananya dan segera menyantapnya. Satu porsi hidangan lain kini sudah mulai diserbu tamunya.
"Tadinya saya menjadi kelasi kapal. Pada suatu kali kami merapat di Jeddah, Saudi Arabia. Di sana kebetulan dengan bantuan seorang kenalan saya bisa bekerja di konsulat Belanda."
Tuan itu melanjutkan keterangannya, "Jeddah adalah kota pelabuhan di Laut Merah, ramai sekali seperti Rotterdam atau Shanghai."
"Oh, itu luar biasa. Pekerjaan yang sangat baik, Tuan." Minke tersenyum sedikit karena tamunya itu semakin ramah, "Tentunya kantor itu ikut juga mengurus haji yang datang dari Hindia."
Ia mengangguk, tamu itu tampak sekarang sudah agak menjadi lega. Tidak lagi gelisah.
"Sekali lagi saya pesankan yang ada dalam bungkusan itu amanat untuk Tuan." Katanya sambil terus menyantap hidangannya cepat-cepat, dan tanpa membuang waktu lagi ia segera mohon pamit.
Setelah tinggal sendirian di tempat itu Minke segera membongkar isi bungkusan. Di dalamnya terdapat catatan tulisan yang rapi dan tersusun sangat baik. Dalam bungkusan itu berisi sebuah naskah milik seorang yang menamakan dirinya Haji Mukti. Judul naskah atau ceritanya Hikayat Siti Mariah. Sekilas Minke mengebat halaman demi halaman secara cepat kemudian setelah Minke membaca baik-baik pada bagian tertentu akhirnya dapat menyimpulkan tamu itu sendirilah sebenarnya yang menyebut dirinya Haji Mukti dan cerita yang ada di dalamnya mengisahkan pengalaman hidup pribadinya sendiri yang dituangkannya ke dalam naskah Hikayat Siti Mariah tersebut.
Sekilas isi Hikayat Siti Mariah mengisahkan seorang anak yang kehilangan ibunya dan terus-menerus tanpa kenal putus asa berusaha menemukan asal-usul dirinya.
Untuk mendukung usahanya itu ia memilih menjadi kelasi kapal dan setiap kali dapat berpindah-pindah dari negeri satu ke negeri yang lain. Dengan gigih ia akhirnya berhasil mengumpulkan informasi mengenai orangtuanya hingga akhirnya dapat mengetahui siapa sebenarnya orang tuanya. Drama yang berlangsung di Hindia itu bergeser ke bagian dunia lain yakni di Timur Tengah.
Minke memang pada akhirnya suatu hari kelak menerbitkan naskah itu sebagai cerita bersambung dalam surakabarnya Medan Priyayi, tentu saja dengan mencantumkan nama penulis aslinya Haji Mukti.
Pramoedya Ananta Toer
Gadis Pantai
sghriwo
Priyayi Jawa di kota pedalaman yang biasanya punya penghidupan yang baik dibandingkan rakyat jelata di pantai yang harus membanting tulang dengan sendirinya agar dapat mempertahankan gaya hidup sederhananya. Adalah hal biasa terjadi orang tidak berharta memandang lebih kepada yang mampu dan kecukupan. Di samping itu orang biasa memandang dirinya punya penghidupan yang bebas sebebasnya tidak terkena peraturan apapun yang membebani seorang priyayi Jawa umumnya dengan berbagai sopan-santun dan tata-tertib lainnya. Dan saking sopannya untuk mendapatkan seorang istri yang baik bagi Bendoro yang terhormat itu melalui percobaan menikahi gadis kampung biasa sebagai kelincinya.
Tujuan akhirnya tentu saja menikah dengan istri yang berasal dari sesama priyayi atau wanita terhormat lainnya asalkan bukan orang kampung dan miskin tambah kafir lagi.
Priyayi muslim tetaplah seorang yang memiliki ilmu agama Islam lebih dari rakyat biasa yang terkadang malahan belum mengenal banyak soal sorga dan neraka karena sibuk cari nafkah. Tak punya waktu sisa untuk hal lainnya. Di samping sebagai istri sementara yang bakalnya bisa membuahkan seorang bayi priyayi yang terhormat, tapi ibunya tidak mendapatkan setinggi itu. Cukuplah mendapatkan pendidikan agama dari sang bendoro dan melayaninya dengan baik setelah itu pulang ke kampungnya kembali sebagai seorang yang telah lulus ujian hidup.
Kenyataannya persaingan memperebutkan suami juga harus dialami yang terhormat para priyayi santri Jawa itu. Kaum wanita dari golongan santri priyayi harus menghadapi ketatnya persaingan pasar kini harus ditambah lagi menghadapi saingan dari gadis kampung yang lebih menggairahkan bagi pria-pria tak punya pengalaman soal wanita itu.
Si Gadis Pantai yang berasal dari pantai dan hidup dari hasil pantai merasa bahagia tinggal di kampungnya sendiri daripada di gedung mewah milik Bendoro yang mengambilnya sebagai istri sementara. Apalagi anaknya sendiri harus ditinggalkan di gedung untuk diasuh oleh orangnya Bendoro.
Cerita Gadis Pantai terbit bersambung di sebuah harian pada tahun enampuluhan. Untuk mendapatkan copy naskahnya yang berbentuk microfilm yang kurang baik di simpan di sebuah institusi di Australia membutuhkan perombakan total dari naskah Gadis Pantai yang didapatkan tersebut. Editor Gadis Pantai yakni Joesoef Isak telah bekerja lebih daripada mestinya. Pramoedya sendiri yang menyerahkan editing sangat berat itu mengucapkan rasa terimakasihnya, "Bagus, bung!" Gadis Pantai termasuk buku yang dilarang oleh Orde Baru.
"Gadis Pantai ini sebenarnya kisah dari nenekku sendiri yang berasal dari pesisir di Rembang sana," kata Bung Pram suatu kali kepada sang editor.
Kehidupan paling asyik memang di pantai dan tak jarang penduduknya yang begitu miskinnya mungkin tidak tahu dirinya miskin karena asyik bergelut dengan lautan yang memiliki kekayaan melimpah: ikan, kerang, udang, dan batu karang.
"Ada jilid-jilid lain Gadis Pantai bahkan tiga jilid lanjutan dari ini yang hilang, dan saya tidak punya energi lagi untuk menuliskan ulang naskah tersebut, bung." kata Pram suatu kali di tengah sibuknya sang editor menjelaskan bagian mana saja yang diubahnya, "Terserah bung saja." jawaban Pram itu berarti menyerahkan bulat-bulat atas nasib sang naskah kepada kreaivitas editornya.
"Di mana hilangnya naskah itu, bung?" tanya si editor.
"Sekitar bulan-bulan Oktober-November tengah gencar-gencarnya orang membabi-buta melakukan anarki di beckingi oleh tentara. Mereka membakar buku-buku saya, dan mengambili apa yang saya punya dari rumah saya," jawab Pram.
Kekacauan yang benar-benar merugikan hasil karya bangsa sendiri yang tidak tergantikan dalam seratus tahun mendatang.
“This unfinished novel is one of Pramoedya’s best works surpassing (in my opinion) his classics, Perburuan, Keluarga Gerilya and Bukan Pasar Malam.” Demikian antara lain tulis Savitri Prastiti Sherer dalam thesis Ph.D.nya berjudul “From Culture to Politics – The Writings of Pramoedya Ananta Toer, 1950-1965”, (Australian National University, July 1981), hlm. 238. Di lain bagian, promovenda bahkan berpendapat bahwa Gadis Pantai berada jauh di atas novel dan cerpen yang pernah ditulis Pramoedya, termasuk Bumi Manusia (yang tahun lalu terbit dalam bahasa Swedia di samping tujuh bahasa-bahasa asing lainnya).
Pengarang ketika menyampaikan naskah ini kepada penyunting, sedikit menjelaskan bahwa “kisah ini hasil imajinasi saya pribadi tentang nenek saya dari pihak ibu, nenek yang mandiri dan yang saya cintai.” Sebagaimana juga hampir semua novel dan cerpennya – sekalipun fiksi atau imajinasi – kisah dan tokoh-tokoh Pramoedya selalu berkait atau diangkat dari kenyataan dan pengalaman sejarah sosial-budaya manusia-manusia Indonesia. Dan khusus mengenai Gadis Pantai, ia berkait dengan keluarga pengarang sendiri, sehingga karenanya bisa disebut sebagai roman keluarga. Akan tetapi sayang sekali, kita tak dapat mengikuti kelanjutan dan akhir drama keluarga yang mencengkam itu. Seperti disinggung di atas, Gadis Pantai adalah suatu 'unfinished novel', novel yang tak selesai. Sebabnya tidak lain karena ia baru merupakan buku pertama dari satu rangkaian trilogi, sedangkan naskah buku ke-dua dan ke-tiga hilang-lenyap oleh vandalisme politik 1965 – sampai sekarang tak dapat ditemukan dan dilacak kembali. Meskipun seluruh trilogi sudah rampung ditulis dalam tahun 1962, tetapi baru naskah pertama saja, Gadis Pantai, sempat diterbitkan sebagai feuilleton, cerita bersambung dalam suratkabar antara 1962-65.
Tentang naskah dua buku terakhir yang hilang tak tentu rimbanya (jilid II dan III), dari pengarang didapat penjelasan bahwa bagian ke-dua meliput perjuangan kaum nasionalis, babak angkatan orang-tuanya – terjalin di dalamnya gemuruh isyu ko– dan non-kooperator terhadap kekuasaan kolonial; buku ke-tiga menyangkut perjuangan kemerdekaan, babak angkatan Pram sendiri. Jadi selain sebagai roman keluarga, trilogi itu sekaligus juga merupakan roman perjuangan bangsa, roman sosial-politik, tetapi jelas “ …. jauh dari segala expressi propaganda politik” sebagaiman ditulis oleh promovenda Savitri Sherer dalam disertasinya tersebut di atas (hlm. 248).
Penyunting cukup terkejut, ketika menerima naskah Gadis Pantai dalam bentuk fotokopi mikrofilm dari bagian dokumentasi perpustakaan A.N.U., Australia. Penyiarannya dahulu dalam bentuk cerita-bersambung ternyata penuh dengan salah cetak, baris-baris yang hilang dan terputus begitu saja di tengah-tengah kalimat, sedangkan penempatan nomor-urutnya beberapa ada yang terbalik-balik. Dengan alasan itu, ditambah lagi reproduksi mikrofilm yang sudah sulit terbaca, penyunting terpaksa di sana-sini memperbaharui dan menulis kembali bagian-bagian tertentu dari naskah ini demi kejelasan dan kesinambungan cerita. Tentu tanpa merubah sedikit pun isi, gaya dan semangat yang diekspresikan pengarang. Dari segi itu, segala kekurangan dan kelemahan edisi baru Gadis Pantai ini dengan sendirinya menjadi tanggungan penyunting.
Walaupun hanya bagian pertama saja, penerbitan kembali Gadis Pantai sekarang dalam bentuk buku terjilid, sudah lebih daripada berharga sebagai pendokumentasian salah satu mutiara kemilau dalam khazanah sastra Indonesia.
*******
Pramoedya Ananta Toer
Gadis Pantai
Catatan Penyunting (1987)
“This unfinished novel is one of Pramoedya’s best works surpassing (in my opinion) his classics, Perburuan, Keluarga Gerilya and Bukan Pasar Malam.” Demikian antara lain tulis Savitri Prastiti Sherer dalam thesis Ph.D.nya berjudul “From Culture to Politics – The Writings of Pramoedya Ananta Toer, 1950-1965”, (Australian National University, July 1981), hlm. 238. Di lain bagian, promovenda bahkan berpendapat bahwa Gadis Pantai berada jauh di atas novel dan cerpen yang pernah ditulis Pramoedya, termasuk Bumi Manusia (yang tahun lalu terbit dalam bahasa Swedia di samping tujuh bahasa-bahasa asing lainnya).
Pengarang ketika menyampaikan naskah ini kepada penyunting, sedikit menjelaskan bahwa “kisah ini hasil imajinasi saya pribadi tentang nenek saya dari pihak ibu, nenek yang mandiri dan yang saya cintai.” Sebagaimana juga hampir semua novel dan cerpennya – sekalipun fiksi atau imajinasi – kisah dan tokoh-tokoh Pramoedya selalu berkait atau diangkat dari kenyataan dan pengalaman sejarah sosial-budaya manusia-manusia Indonesia. Dan khusus mengenai Gadis Pantai, ia berkait dengan keluarga pengarang sendiri, sehingga karenanya bisa disebut sebagai roman keluarga. Akan tetapi sayang sekali, kita tak dapat mengikuti kelanjutan dan akhir drama keluarga yang mencengkam itu. Seperti disinggung di atas, Gadis Pantai adalah suatu 'unfinished novel', novel yang tak selesai. Sebabnya tidak lain karena ia baru merupakan buku pertama dari satu rangkaian trilogi, sedangkan naskah buku ke-dua dan ke-tiga hilang-lenyap oleh vandalisme politik 1965 – sampai sekarang tak dapat ditemukan dan dilacak kembali. Meskipun seluruh trilogi sudah rampung ditulis dalam tahun 1962, tetapi baru naskah pertama saja, Gadis Pantai, sempat diterbitkan sebagai feuilleton, cerita bersambung dalam suratkabar antara 1962-65.
Tentang naskah dua buku terakhir yang hilang tak tentu rimbanya (jilid II dan III), dari pengarang didapat penjelasan bahwa bagian ke-dua meliput perjuangan kaum nasionalis, babak angkatan orang-tuanya – terjalin di dalamnya gemuruh isyu ko– dan non-kooperator terhadap kekuasaan kolonial; buku ke-tiga menyangkut perjuangan kemerdekaan, babak angkatan Pram sendiri. Jadi selain sebagai roman keluarga, trilogi itu sekaligus juga merupakan roman perjuangan bangsa, roman sosial-politik, tetapi jelas “ …. jauh dari segala expressi propaganda politik” sebagaiman ditulis oleh promovenda Savitri Sherer dalam disertasinya tersebut di atas (hlm. 248).
Penyunting cukup terkejut, ketika menerima naskah Gadis Pantai dalam bentuk fotokopi mikrofilm dari bagian dokumentasi perpustakaan A.N.U., Australia. Penyiarannya dahulu dalam bentuk cerita-bersambung ternyata penuh dengan salah cetak, baris-baris yang hilang dan terputus begitu saja di tengah-tengah kalimat, sedangkan penempatan nomor-urutnya beberapa ada yang terbalik-balik. Dengan alasan itu, ditambah lagi reproduksi mikrofilm yang sudah sulit terbaca, penyunting terpaksa di sana-sini memperbaharui dan menulis kembali bagian-bagian tertentu dari naskah ini demi kejelasan dan kesinambungan cerita. Tentu tanpa merubah sedikit pun isi, gaya dan semangat yang diekspresikan pengarang. Dari segi itu, segala kekurangan dan kelemahan edisi baru Gadis Pantai ini dengan sendirinya menjadi tanggungan penyunting.
Walaupun hanya bagian pertama saja, penerbitan kembali Gadis Pantai sekarang dalam bentuk buku terjilid, sudah lebih daripada berharga sebagai pendokumentasian salah satu mutiara kemilau dalam khazanah sastra Indonesia.
Joesoef Isak, ed.
Jakarta, Mei 1987
****
Pramoedya Ananta Toer
Perburuan
Menulis baginya bukan sekadar mengetik dan menggerakkan imajinasi. Jauh lebih serius daripada itu, bagi Pramoedya menulis sudah seakan menjadi religi. Memang justru lewat Perburuan inilah, Pramoedya mengakui mengalami untuk pertama kali penghayatan gaib dalam karier kepengarangannya. Itulah pengalaman mistisnya yang pertama, tetapi kemudian penghayatan itu menunggal mendarah daging dengan seluruh jiwaraga, dengan sikap dan semangatnya pada tap kali ia menulis buku-bukunya yang sesudah itu menyusul. Dia hidup untuk menulis, dan menulis untuk hidup. Mengertilah kita sekarang bahwa orang yang sadar merasa dirahmati amanat Ilahi seperti itu tidak bisa ditahan untuk menulis -- apa pun yang terjadi baginya: menulis jalan terus, teruuus, sebagaimana kebutuhan kita semua untuk bernafas. Ilmuwan dan kritikus sastra Indonesia A. Teeuw menulis dalam 'Pramoedya Ananta Toer -- De Verbeelding van Indonesie', bahwa "... bagi Pramoedya menulis adalah berjuang untuk kemanusiaan suatu kemampuan memandang ke dalam nilai-nilai eksistensi kehidupan (dan ini mengatasi segala ideologi nasional atau politik!)..." Sewaktu Pramoedya masih di Pulau Buru, Prof. Teeuw juga menulis (1979): "... kendati apa pun dikatakannya mengenainya, Pramoedya tetap merupakan penulis yang hanya satu lahir dalam satu generasi, bahkan satu dalam satu abad...."
Menyambut Hari Kemerdekaan 17 Agustus 1994, Hasta Mitra menerbitkan kembali karya klasik Pramoedya Ananta Toer ini, sebuah novel yang telah mengantarkannya langsung tegak berdampingan dengan para penulis dunia, bukan hanya karena kisah Perburuan kebetulan erat kaitannya dengan hari bersejarah itu, terutama karena kita merasa kali ini kita merayakan Hari Kemerdekaan dalam suasana keterbukaan yang lebih balik, lebih maju dan lebih nyaman. Iya 'kan?
Keterbukaan bukan sekadar ada kaitannya dengan kebebasan dan kelonggaran-kelonggaran tertentu; lebih daripada itu keterbukaan adalah suatu kondisi sosial -- suatu state of mind. Menerapkan dan memberlakukan keterbukaan dalam masyarakat sangat erat berkait dengan kelahiran produk-produk sosial baru, kelahiran rasio dan paradigma baru, wawasan baru yang rasional dan sehat; meninggalkan segala ketertutupan dan ketidak-dewasaan yang tidak sehat.
Semoga sidang pembaca dapat ikut menikmati persembahan Hasta Mitra ini: sebuah mutiara paling cemerlang, di saat kita sama-sama merayakan Hari Besar Kemerdekaan Nasional kita.
Joesoef Isak, ed.
Jakarta, 17 Agustus 1994
Pramoedya Ananta Toer
Cerita dari Blora
mbah sghriwo
Anak pertama dari lebih lima bersaudara ini merasai betul figur seorang ayah yang tidak demokratis menurut pandangan anak kecil. Priyayi kecil Jawa memang mementingkan karier dan kehormatan semu orang Jawa yang mengarah budaya kerajaan Jawa yang tunduk melata berabad di bawah telapak kaki kolonialisme Barat.
Jawa yang benar-benar Jawa ialah Jawanya sebelum bangsa Barat memasuki wilayah Nusantara. Pada waktu itu rakyat kecil lebih tunduk pada otoritas yang lebih rendah berupa perangkat desa sederhana, lebih dari itu soal lain lagi. Raja boleh berkuasa dan bertakhta di ibukota kerajaan, bagi rakyat kecil asalkan kehidupan berlangsung aman damai dan sejahtera tidak ada beban pajak berlebihan maka cukuplah bagi mereka.
Mamuk demikian nama anak tokoh Cerita dari Blora yang mulai belajar memasuki dunia sekolah itu merasai betapa penghidupan bagi seorang anak kecil penuh dengan dominasi orang dewasa terutama figur seorang ayah cuma perlu dipatuhi perintahnya dan tidak bisa menjadi sahabat bagi anak-anak dalam hal ini dirasakan Mamuk yang merasa mendapat kasih-sayang dari sang ibu.
Budaya Jawa menganggap seorang kakak harus dihormati dan bagi seorang yang lebih muda menghormati yang lebih tua. Dalam prakteknya sehari-hari bila saudara kandung sudah membentuk keluarga masing-masing maka untuk menyambung tali silaturahim seorang adik wajib mendatangi rumah kakaknya dan seorang kakak tidak wajib mendatangi rumah adiknya. Demikian pula seorang anak wajib patuh terutama tanpa reserve kepada seorang ayah atau bapak.
Dalam prakteknya Mamuk merasai hal itu sangat tidak adil bagi anak kecil.
Saat masuk sekolah tiba bagi Mamuk. Kebetulan sang ayahnya menjadi gurunya sendiri di sekolahnya. Apa yang didapatnya bukanlah kemudahan dan kemanjaan akan tetapi beban itu lebih berat menghadapi seorang ayah sekaligus pelajaran sekolah.
Ayah Mamuk yang bernama Mastoer nekad mendirikan sebuah sekolah rakyat secara mandiri dan berdikari bebas dari aparat Gubernur Hindia Belanda. Pada waktu itu Partai Nasionalis Indonesia yang berubah menjadi Partai Indonesia Raya sejak Bung Karno masuk penjara Sukamiskin di Bandung.
Ayah Mastoer seorang pendukung partai bentukan Bung Karno dengan mengambil prakarsa membangun sekolah yang berdiri bebas dari Pemerintah Kolonial Hindia Belanda.
Mamuk alias Pramoedya Ananta Toer alias Pramoedya Ananta Mastoer yang lahir 6 Febriari 1926 itu mengalami masa krisis ekonomi dunia 1929 yakni "Malaise" berlangsung beberapa tahun itu pada akhirnya juga padam dan berjalan kembali normal. Dalam masa itulah di rumah Mamuk sang ayah sempat membeli mesin cetak untuk memproduksi selebaran yang berpropaganda bagi nasionalisme Indonesia.
Kesibukan sang Ayah yang demikian rupanya tidak mudah dipahami untuk anak kecil, maka karena tidak pernah memperoleh perhatian dan kasih sayang itulah membikin sang anak mengidolakan sang ibunya yang berbeda jauh bagai bumi dan langit soal-soal perhatian bagi seorang Mamuk.
Dalam karya-karya sepanjang hidupnya Pram sangat mampu melukiskan demikian dahsyatnya figur seorang wanita atau ibu. Sebaliknya sulit baginya dalam Cerita dari Blora ini menjadi pondasi dari semua karyanya mengenai figur seorang tua laki-laki atau ayah.
Pramoedya Ananta Toer
Cerita dari Jakarta
mbah sghriwo
Sebut saja Kasan namanya. Ia salah satu perantau yang terdampar di stasiun Gambir jadi tukang angkut. Ia terpaksa ke kota karena terjadi penjahat merajalela di kampungnya. Ada tujuan khusus bagi misinya di Jakarta: mendapatkan senjata untuk melawan perampok di daerahnya. Sementara itu kehidupan ibukota terus berlangsung begitu saja dengan sendirinya salah satunya di gerbong kereta api di stasiun Gambir yang dekat Monas. Stasiun kota dan Gambir menjadi favorit di tahun limapuluhan bagi pendatang baru dari pelosok yang coba-coba mengadu nasib jadi kuli angkut barang. Dari stasiun yang disebut pertama barang dagangan didistribusikan dari kawasan kota berpenduduk mayoritas orang Tionghoa. Dan itu juga membawa rejeki bagi porter stasiun yang biasanya sepanjang hari terus berada di stasiun, tidur di gerbong malam hari dan jika sakit pun berdiam terus di gerbong yang sudah tidak dioperasikan itu bisa juga menjadi ruang yang hangat dan nyaman di malam hari.
Porter atau kuli angkut di Gambir waktu itu ada yang kuat mengangkat beban hampir 100 kg atau satu kwintal. Kuli angkut stasiun yang berasal dari luar Jakarta bisa pulang kampung sekali sebulan atau dua minggu sekali untuk beristirahat dan menikmati hasil jerih-payahnya bersama keluarga yang berada jauh dari ibukota.
Rel kereta api dan stasiun-stasiun kereta jarak pendek di ibukota menjadi favorit bagi yang mau bekerja menjadi kuli angkut. Kuli angkut dibutuhkan di mana-mana antara lain di pasar, pelabuhan, dan terminal bus antar kota.
Cerita dari Jakarta menggambarkan suasana tahun 1950-an sesuatu yang berbeda dari imajinasi penduduk di pelosok bahwa uang dengan mudah didapat di kota-kota besar macam Jakarta. Kenyataannya memang demikian bagi yang beruntung uang receh atau uang gede mudah didapatkan dengan bekerja di perusahaan besar atau menjadi pegawai negeri tentu kalau punya tampang dan ijasah cukup, bagi yang kurang beruntung tidak memiliki pekerjaan yang baik, pekerjaan kantoran, maka yang tersedia adalah kerja badan: itupun bagi yang mau bermandi keringat dan berusaha akan tetapi yang lain lagi pekerjaan kasar pun sulit didapat karena ketatnya persaingan maka untuk sekadar makan sederhana bahkan sepotong singkong atau ubi yang mudah didapat di desa ibu kota Jakarta bisa berubah jadi neraka kehidupan. Panas udaranya panas temperamen manusianya dan panas-panasan pekerjaan yang mudah tersedia bagi orang dari pelosok, tukang parkir dan kuli angkut barang.
Pramoedya Ananta Toer
Di Tepi Kali Bekasi
mbah sghriwo
Proklamasi Agustus 1945 sudah mengumandang ke pelosok Nusantara. Kerajaan Belanda untuk selamanya tidak pernah mau mengakui kemerdekaan RI pada 1945. Aparat Belanda Nica dan Tentara Belanda KNIL kembali masuk pelabuhan utama waktu itu, Tanjung Priuk dan Tanjung Perak juga pelabuhan besar di luar Jawa untuk melanjutkan ambisinya menguasai kembali Hindia Belanda yang ditinggalkan oleh Balatentara Jepang yang kalah perang.
Pasukan Republik yang juga baru terbentuk harus bergegas menyiapkan pertempuran menghadang Sekutu pemenang Perang Dunia kedua. Belanda berusaha membonceng pasukan Inggris mulai menyiapkan serangan militer pada Republik muda itu.
Pasukan Republik terkonsentrasi di pinggiran Jakarta basisnya berada di Cikampek membawahi daerah Bekasi, Kranji,dan Kerawang. Stasiun kereta api sepanjang seratus kilometer sejak Jatinegera membentang hingga Cikampek adalah medan penting yang dipertahankan Republik. Jalur transportasi tetap dihidupkan oleh Belanda dan Republik karena membawa perbekalan memasuki Jakarta: Sembako dan manusia. Blokade Belanda terhadap pintu masuk Jakarta berlaku bagi anggota tentara Republik dan para penjahat.
Pasukan Republik yang resmi dan lasykar rakyat yakni Pesindo dan Hizbullah bahu-membahu menahan Belanda meluaskan teritorinya ke luar kota Jakarta.
Sarana transpor kereta api bermesin diesel itu membawa macam-macam manusia dan di antara mereka ada pahlawan dan pengkhianat bagi pasukan Republik yang dibayar oleh Belanda maupun Inggris untuk memata-matai kedudukan dan kekuatan pasukan Republik yang biasanya menempatkan pos komando di stasiun Cikampek.
Perlengkapan militer seorang prajurit atau komandan belum terstandarisasi juga persenjataan mereka tergantung apa yang mereka dapat merebutnya dari Belanda. Seorang mendaftarkan diri menjadi prajurit dengan membawa senapan lebih tinggi pangkatnya daripada pendaftar bertangan kosong.
Akomodasi bagi prajurit sekadar tempat bernaung untuk tidur dan mandi ditambah jatah makanan minim. Perkara gaji jangan diharapkan, karena itu anggota militer Republik mengandalkan sumbangan rakyat secara sukarela tatkala maju ke medan pertempuran.
Operasi militer yang berangkat dari Stasiun menumpang kereta api yang pro pasukan republik berarti berangkat mati sebagai pahlawan. Bila mujur misalnya pasukan Belanda cuma sedikit atau dapat bertahan dari persenjataan musuh yang kuat dapatlah pulang dengan senang sekaligus sedih karena teman-teman yang gugur lebih banyak daripada yang selamat.
Prajurit Republik yang tertawan Belanda dan berusaha melawan biasanya dihabisi dan mayatnya dilemparkan ke tepi Kali Bekasi terdekat daerah pertempuran. Penduduk di tepi kali Bekasi yang menemukan anggota pasukan Republik akan mengait mayat-mayat tersebut untuk langsung dikuburkan beramai-ramai di daratan sekitarnya.
Dan bagi prajurit Republik yang gugur dan jenazahnya dapat dibawa ke pangkalan maka pemakamannya mendapatkan penghormatan militer penuh.
Pramoedya Ananta Toer dengan beberapa bukunya antara lain "Di Tepi Kali Bekasi" begitu gamblang menggambarkan keikutsertaan dirinya dalam Perang Kemerdekaan.
Perang rakyat semesta mempertahankan kemerdekaan itu benar-benar mendapat sokongan moril dan materil dari seluruh rakyat Indonesia itu maka sudah sepantasnya beliau juga berhak menyandang gelar Pahlawan Nasional.Bagi Pram pribadi tak pernah ia menuntut untuk diakui apalagi berusaha mendapatkan medali pejuang. Semasa hidupnya pemerintah Orde Baru bahkan melarang semua karyanya yang ditulis semasa berada di pembuangan. Demikianlah Republik yang pernah ikut diperjuangkannya malah berbalik menjadikan dirinya seorang pesakitan malah membuangnya jauh hingga ke kamp tawanan Pulau Buru. Semua itu tanpa melalui peradilan yang lazim. Dan tuduhan yang dilayangkan ke muka Pramoedya Ananta Toer adalah terlibat Gerakan September 65 ditambah tuduhan bersekutu dengan Partai Komunis Indonesia.
Percikan Revolusi + Subuh
Karya 50-an
Pramoedya Ananta Toer
Pengantar H.B. Yasin
Angkatan '45 tidak hanya melahirkan cerita-cerita bambu runcing seperti diejekkan orang kepadanya. Lapangan perhatian seluas penghidupan dan dari pusat soal-soal mereka melihat dunia sekelilingnya. Dalam kempaan suasana keadaan mereka menemukan dirinya dan belajar melihat sampai ke intipati segala, dikuliti dari kepalsuan dan ketidakperluan. Angkatan revolusi melihat segala dari pusat derita, mereka tidak hanya mengenal dan mengetahui tapi juga mengalami dan merasai pada badan dan jiwa. Tidak ada jarak antara obyek dan subyek. Gaya mereka ialah gaya ekspresi.
Sudah lama menjadi pertanyaan mengapa angkatan '45 yang dianggap jiwanya terbentuk semenjak kedatangan Jepang di Indonesia dalam tahun 1942 melalui revolusi dan perang dengan Belanda, tidak melahirkan suatu roman yang besar. Ini hanya belum. Dan belum ini karena sewajarnya. Kekuatan mereka sementara ini ialah dalam cerita pendek dan sajak-sajak yang sarat padu. Dengan visi yang tajam diberikan intipati yang tidak memungkinkan terbang melayang tidak menentu, meskipun ada saat-saat orang menghadapi ruang luas penuh kemungkinan. Kepaduan dan inti. Dan lagi tidak ada waktu berpanjang-panjang untuk menulis berpanjang-panjang. Hanya soalnya bagi masa depan: cukupkah dengan visi yang menjelajah dasar kekuatan mencipta dan nafas panjang untuk membangunkan ciptaan yang besar? Ini suatu pertanyaan serupa sayembara yang kita tidak sangsikan hasilnya, melihat kualitet cerita-cerita pendek yang ada sekarang.
Pramoedya Ananta Toer
Panggil aku Kartini saja
"Panggil Aku Kartini Saja" jilid III (bagian 7 s/d 9) dan jilid IV (bagian 10 s/d 12) sirna pada saat orang-orang menyerbu rumah Pramoedya pada bulan Oktober 1965 dan memporak-perandakan perpustakaan dan dokumentasinya. Tidak bisa kita ketahui apakah di antara kaum vandalis itu ada yang menyembunyikan naskah-naskah yang mereka jarah itu, atau memang sengaja memusnahkannya.
Suatu asset kepustakaan nasional yang tak ternilai harganya dengan demikian telah tiada -- sesuatu yang dalam ukuran-ukuran masyarakat beradab merupakan perbuatan tercela, namun jilid I dan jilid II yang sempat terdokumentasi dan terselamatkan ini, tetap menjadi acaan sangat berharga sebagai suatu karya riset biografis dalam khazanah literatur sejarah modern Indonesia.
Cetak-ulang jilid I dan II ini, dengan penyesuaian ejaan baru, seutuhnya sama dengan terbitan pertama tahun 1962, termasuk kata sambutan oleh Ny. DR. Hurustiati Subandrio dan Kata Pengantar oleh Penulis. Yang tidak dimuat adalah beberapa foto yang pernah dipinjamkan oleh R.M. Susalit (Singgih), putra Kartini, karena sudah tidak jelas untuk direproduksi.
Penebit mengucapkan terimakasih kepada Ruth Indah Rahayu dari Yayasan Perempuan Kalyanamitra yang menulis sebuah Epilog pada karya Pramoedya ini -- sebuah tantangan yang menuntut jawaban : Kartini jadi Relikwi sanjungan atau Inspirasi? - ed.
ISBN 9-7986-5907-6
***
Pramoedya Ananta Toer
Mereka Yang Dilumpuhkan
Sejak Hasta Mitra meluncurkan program penerbitan ulang karya-karya klasik Pramoedya Ananta Toer pada 17 Agustus 1994, diawali berturut-turut dengan Perburuan, Cerita dari Blora, kemudian Keluarga Gerilya, tiada hentinya kami menerima saran dari pembaca agar diterbitkan lagi suatu judul tertentu karangan Pramoedya Ananta Toer yang rupanya jauh di masa lampau pernah dibaca. Sudah tentu para pengusul memajukan pilihan judul yang berbeda-beda. Buku-buku itu memang pernah beredar semasa revolusi atau pada kurun waktu sepanjang tahun lima-puluhan. Semua buku-buku itu kini dapat dikategorikan sebagai karya-karya klasik Pramoedya Ananta Toer.
Kami sebut karya klasik karena karya-karya kreatif Pramoedya teruji melintasi perbatasan-perbatasan zaman, perbatasan usia, perbatasan ideologi, lintas benua. Buku-buku Pram dibaca oleh penduduk berbahasa Inggris, berbahasa Jepang, Swedia, Jerman, Italia, Belanda, Rusia, Vietnam, Prancis, kesemuanya duapuluh bahasa asing lebih. Tidak bisa tidak, ini jelas bukan saja disebabkan nilai-nilai literernya semata-mata, akan tetapi pertama-tama karena karya-karya Pramoedya memiliki nilai universal yang mengimbau-imbau langsung pada hati nurani martabat manusia dan keadilan kemanusiaan setiap insan yang membacanya.
Menarik sekali untuk diketahui siapa-siapa lapisan pengusul yang mengingini buku-buku karangan Pramoedya beredar kembali. Rata-rata mereka sudah tidak muda lagi, dari segi usia kebanyakan mereka tergolong angkatan '45, paling tidak para penggemar Pram itu sudah berusia sekitar setengah abad. Tetapi satu nada yang sama bisa ditangkap: semasa muda di bangku sekolah SMP atau di SMA mereka rupanya pernah membaca buku-buku Pramoedya -- kisah-kisah yang sekali dibaca tak terlupakan lagi untuk selama-lamanya. Sekarang sebagai orang-orang yang sudah berumur dengan berbagai posisi tinggi pula dalam masyarakat -- pejabat, dokter, pengacara, pengusaha, dosen, wartawan, ilmuwan, pensiunan menteri sampai ibu rumah-tangga biasa -- mereka mendambakan sekali membaca kembali karya-karya lama Pramoedya. Secara khusus izinkan kami di sini menyebut satu nama saja dari para pengusul yang sangat terkenang di dalam hati: rekan Mahbub Djunaedi. Bung Mahbub mengemukakan alasan yang hampir sama dengan yang lain-lain: mereka berharap anak-anak atau generasi di bawah mereka juga menikmati dan bisa menghargai nilai-nilai yang pernah menggugah perasaan semasa mereka masih muda. Karena itu mereka dengan sendirinya termasuk orang-orang yang menyayangkan bila buku-buku Pramoedya tak dapat dibaca dengan leluasa.
Yang paling menggembirakan adalah, bahwa walaupun para pengusul umumnya datang dari yang tua-tua, akan tetapi segmen pembaca buku-buku Pramoedya mayoritasnya adalah anak-anak muda. Kawula muda ini sungguh-sungguh menjadi pembaca dengan antusiasme tinggi, malah menjadi agen akselerasi yang aktif sukarela membantu mengedarkan buku-buku Pramoedya. Mengapa demikian? Kenyataan ini merupakan gejala sosio-psikologis yang menarik untuk diberi perhatian. Apakah gejala sosial seperti ini harus dihambat, dicekal atau dilarang? Ataukah diperlukan suatu sikap dewasa yang lebih arif untuk mengantisipasinya?
Selama keadaan memungkinkan, kami merasa berkewajiban terus mengelola dan melestarikan aset nasional yang sangat berharga ini. Belum lama ini telah diluncurkan kembali Di Tepi Kali Bekasi, sesudah trio Perburuan, Cerita dari Blora dan Keluarga Gerilya.
Kali ini kami persembahkan Mereka Yang Dilumpuhkan (MYD) dengan Kata Pengantar oleh Taslim Ali yang kendati ditulis hampir setengah abad yang lalu, tetap aktual dan tetap valid observasi dan penilaiannya terhadap masyarakat dan manusia-manusianya dalam segala seginya sampai hari ini. MYD yang dalam edisi lama diterbitkan dalam dua jilid, dalam edisi baru Hasta Mitra ini digabung menjadi satu jilid.
Karya-karya lainnya masih akan menyusul.
Joesoef Isak, ed.
Pramoedya Ananta Toer
Keluarga Gerilya
mbah sghriwo
Tangsi atau markas militer Tentara Belanda menjadi dunia tersendiri bagi anak-anak kecil dan para remaja yang kebetulan bapaknya jadi serdadu Belanda. Ibunya rata-rata Pribumi yang tidak selalu diakui sebagai anak oleh bapaknya yang Belanda totok atau peranakan. Masih untung jika anak-anak memiliki kedua orang tua dari golongan Pribumi. Walaupun terkadang malahan lebih parah lagi keadaannya karena mereka hanya hidup bersama tanpa ikatan perkawinan.
Seorang serdadu militer Belanda yang ketika itu masa-masa revolusi fisik agaknya banyak pekerjaan bertempur menyabung nyawa. Dan bila memang sang serdadu tewas maka keluarga yang ditinggalkan di tangsi bisa kapiran. Jatah makan berupa bahan makanan bisa hilang lenyap, walaupun pada awalnya masih dicukupi oleh pihak pemerintah Belanda. Mereka sudah tidak berhak lagi tinggal di tangsi dan kalau masih suka berada di sana maka cari makan sendiri tanpa bergantung dari tangsi lagi.
Aman bersaudara tiga atau empat adik-adik. Mereka semua adalah korban kehidupan tangsi maka hasilnya kesekian adiknya berbeda-beda bapaknya. Mengapa berbeda-beda, karena tiap kali bapaknya yang satu tewas maka sang ibu mendapat suami baru baik sah maupun tidak sah.
Aman sebagai anak pertama merasa lebih banyak mengalir darah Pribumi dalam tubuhnya, maka itu Aman memilih berpihak kepada Republik daripada berpihak pada Belanda. Walhasil pada suatu hari Aman pun ditangkap dan masuk penjara sebuah tangsi militer untuk menerima hukuman mati. Masa-masa revolusi kemerdekaan itu jarang sekali pengadilan mengadili para tangkapan yakni musuh-musuh Belanda. Pengadilan perang lebih praktis dijalankan, dan hukuman bagi tawanan adalah mati dan bebas bila dianggap berat dan ringan.
Ibu Aman yang malang-melintang di tangsi sewaktu muda dan parasnya cantik itu tidak rela Aman mati di tangsi Belanda. Maka ia pun berusaha untuk membebaskan Aman dengan mengandalkan pengaruhnya di kalangan perwira militer penguasa tangsi Belanda. Akan tetapi sayang sekali kini parasnya yang dulu begitu menarik bagi lelaki itu sudah hilang dan telah termakan usia.
Perjuangan seorang ibu yang bakal kehilangan anak yang paling disayanginya membikin otaknya berubah kurang waras. Bisa jadi ia bertingkah demikian saking terlalu banyak memikirkan anaknya yang menghadapi regu tembak senjata Belanda. Bisa jadi ia memang sedang berusaha dengan caranya sendiri. Para perwira penguasa tangsi yang dulu dikenalnya rupanya sudah meninggalkan tempat itu dan digantikan oleh perwira lain dan selalu berganti-ganti. Perang sekarang ini berbeda dengan sewaktu menaklukkan daerah-daerah yang kadang berada di luar Jawa. Sekarang ini orang Pribumi bahkan sudah menyatakan kemerdekaannya dan tentu saja tidak pernah diakui Belanda, karena Belanda menganggap segala sesuatu harus berdasarkan hukum dan tatatertib, juga untuk memedekakan diri harus melalui tahapan mengikuti hukum Belanda.
Sebuah revolusi adalah penjebolan kekuasaan yang sah untuk digantikan penguasa baru dengan cara paksaan. Revolusi Agustus 1945 menjadi batu sandungan hubungan Kerajaan Belanda dan Republik Indonesia sampai kapan pun. Dan batu sandungan itu dapat dihilangkan bila Pemerintah Kerajaan Belanda mau mengakui bahwa Indonesia merdeka pada 17 Agustus 1945. Belanda masih bersikeras kemerdekaan Indonesia terjadi pada Konferensi Meja Bundar 27 Desember 1949 dengan status Uni atau gabungan bagi negara RI dan Kerajaan Belanda.
****
Pramoedya Ananta Toer
Korupsi
mbah sghriwo
Korupsi adalah penyakit masyarakat yang sama dengan penyakit masyarakat lainnya yakni pelacuran. Keduanya terus ada dari masa ke masa dan tidak mungkin dihilangkan selama masih ada masyarakat manusia yang terus berkembang dan mengalami kemajuan paling pesat di abad keduapuluh satu ini.
Sebuah perusahaan rokok terbesar terjadi korupsi atas tembakau perusahaan yang dijual oleh seorang manajer produksi yang sudah berpenghasilan tinggi. Demikian pula dalam sebuah negara tempat yang paling rawan terjadi korupsi ialah pada instansi Cukai. Cukai pelabuhan, cukai bandara, dan cukai rokok dan juga di sektor jasa, jasa pajak kendaraan bermotor, jasa pengadilan atau mafia peradilan, termasuk juga di instansi kepolisian yang berwenang menangkap mulai dari penjudi sabung ayam, judi togel, hingga maling ayam dan maling lainnya yang lebih besar lagi.
Di republik rakyat Tiongkok yang kebudayaannya kejahatannya sangat tua itu hukuman yang diterapkan terhadap koruptor juga sangat berat: hukuman tembak mati. Sementara itu di negeri Nusantara ini seorang pemilik pabrik narkoba sejenis sabu paling-paling beberapa puluh tahun hukumannya. Demikian juga bagi koruptor yang kelas kakap bisa ditebak hukumannya tidak seberat di negeri komunis terbesar di dunia itu. Mengapa orang-orang Tiongkok memutuskan memberikan hukuman seberat itu bagi koruptor? Apakah sudah sedemikian parahnya keadaan di sana?
Doktrin Partai Komunis Tiongkok yang luwes mengikuti jaman dan kemajuan teknologi juga kemajuan masyarakat itu tentu mau menegakkan salah satu pilar disiplin Partai yang penting yakni masalah moral anggota Partai. Korupsi memang berkaitan dengan soal moral, iman, dan etika. Korupsi tidak perlu diambil tindakan dengan hukuman ditegakkan dengan keras bagi masyarakan yang kesadaran moralnya sudah tinggi. Dan sebaliknya tindakan terhadap hukuman korupsi perlu tanpa tedeng aling-aling bagi negeri yang masih rendah kesadaran moralnya dengan memberi ganjaran hukuman seberat-beratnya bagi koruptor kecil, sedang, dan besar.
Di jaman Orde Lama Bung Karno ekonomi berdikari dipraktekkan antara lain menolak modal asing masuk untuk menguasai sumber-sumber tambang vital seperti emas, minyak, dan lainnya. Dalam Korupsi ini Pramoedya menyinggung peranan wanita dalam tindak terjadinya korupsi dalam jabatan negeri seorang suami dari para wanita sebagai istri sah maupun simpanan atau sekadar teman kencan para sesama bujangan. Apalagi dengan jabatan sangat tinggi yang memiliki kekuasaan untuk mengendalikan instansi semacam lisensi impor ekspor.
Bung Karno sendiri seorang presiden yang tidak pernah mau mengumpulkan harta benda untuk diri pribadinya. Ia tidak punya rekening bank, dan juga tidak punya aset dan properti apapun. Kekayaan yang ada padanya berupa uang kontan ialah apa yang berada dalam saku bajunya. Bung Karno memang memiliki hobi mengumpulkan lukisan mahal, akan tetapi koleksinya itu bukan milik pribadi seorang Bung Karno melainkan galeri lukisan milik negara.
Berbeda dengan penerusnya yakni Bapak Jenderal Soeharto yang membuka keran modal asing sebesar-besarnya telah mengubah negeri ini menjadi gemerlapan akan tetapi di sisi lain memiliki hutang luar negeri yang tidak bisa dilunasi oleh tujuh turunan rakyat Nusantara.
Pramoedya Ananta Toer
____
mbah sghriwo
1946
Surip kini tampak gagah dengan pakaian seragam seperti itu, ia kini menyandang pangkat berbentuk balok berwarna emas di pundak seragamnya yang hijau kaki pudar. Perlengkapannya tampak sangat baik, dengan gesper tempur bekas milik perwira Belanda yang terdapat kotak penyimpan senjata genggam dan ada tempat peluru di sekelilingnya. Tampilan Surip dan juga lagak jalannya dibuat-buat seperti perwira-perwira yang di film hollywood itu, topi dimiringkan, tegap dan sedikit sekali menggerakkan tulang lehernya untuk tengok sana-sini.
Surip menikmati kedudukan dan pangkat itu karena sewaktu mendaftar TNI ia sempat menyodorkan ijasah sekolah menengahnya. Maka pangkatnya berbeda dengan Farid yang tidak bermodal kertas apapun cuma prajurit kelas dua.
Surip dapat jatah bertugas sebagai perwira perhubungan, yakni melayani peralatan komunikasi sederhana milik TNI yang untuk mendapatkan sinyal harus dicantel ke kabel yang berada di atas tiang telepon. Tugas dan kedudukannya dalam situasi pertempuran melawan musuh kadang demikian penting untuk menghubungi markas pusat untuk meminta bantuan jika keadaan pasukan benar-benar gawat atau berada dalam kepungan musuh yang besar jumlahnya. Bisa juga jika terjadi korban luka berat di antara anggota pasukannya.
Untuk menghubungi markas pusat berbeda dengan pasukan Belanda atau Sekutu yang sudah menggunakan peralatan radio bergerak, pasukan Republik Indonesia bagian perhubungan yang diawaki Surip alat yang dibawanya itu harus dicantel ke kabel telepon di atas tiang tinggi, yang untuk mencapainya harus mencari tangga terlebih dulu agar bisa menaiki tiang penyangga kabel. Surip biasanya meminjam tangga dari penduduk untuk keperluan dapat mencapai kabel menjulur di tiang bagian atas itu. Dan kadang kabel itu sudah jatuh ke tanah akibat tiang telepon rubuh kena terjang ledakan dalam pertempuran yang baru terjadi.
Di markas pusat yang berupa gedung sekolah itu jatah seorang perwira seperti Surip dapat kamar tidur sendiri berbeda dengan prajurit kelas dua Farid harus beramai-ramai dengan anggota pasukan lainnya.
Suatu hari seorang gadis datang dari kota menemui Farid yang ganteng itu. Karena ruangan terbatas Surip berbaik hati membagi ruangannya dengan sang gadis cantik itu. Farid menganggap sang gadis biasa saja karena pada waktu itu orang kota meninggalkan kota untuk mengungsi atau mengalami kesulitan hidup, atau sekadar memang berniat membantu perjuangan pasukan republik.
Surip penampilannya berbeda jauh dibanding Farid, tampang Surip pas-pasan saja. Biasanya Surip tidak sebaik itu pada orang yang belum dikenal. Agak aneh memang waktu itu karena pertempuran terus-menerus tidak lagi ada jeda. Dan keselamatan dalam perang dipercayai oleh Surip berdasarkan amal perbuatan baik akan membawa keselamatan, dan sebaliknya jika menjahati penduduk atau orang lemah apalagi menggangu harta atau wanita sebelum berangkat ke front hasilnya sangat fatal dalam hubungan keselamatan diri tatkala nyawa dipertaruhkan menghadapi pasukan musuh yang tidak terduga kekuatannya.
****
Pramoedya Ananta Toer, Mata Pusaran
1400 Masehi
Tampuk singgasana Majapahit kini beralih secara damai dari Kusumawardhani kepada sang adik, Sri Maharatu Dewi Suhita. Selama memerintah Majapahit, Kusumawardhani lebih banyak bersikap sebagai pertapa, dan kini secara penuh memilih jadi pertapa bersama sang suami, Wikramawardhana daripada mengurusi pemerintahan Majapahit. Majapahit semakin kacau sejak ditinggal mangkat Prabu Hayamwuruk. Takhta Majapahit kini di tangan seorang wanita yang satu ini benar-benar mewarisi sifat Prabu Hayam Wuruk yang tidak memiliki seorang putra dari sang Paramesywari, sifatnya sekeras batu granit. Tidak lama sejak menjadi penguasa Majapahit sikap kerasnya ditunjukkan dengan perlakuan terhadap sang suaminya sendiri, Aji Ratna Pangkaya, seorang putra Melayu benar-benar diusirnya dari istana karena melakukan persekongkolan jahat yang tak dapat ditolerir lagi terhadap Majapahit.
Tampuk singgasana Majapahit kini beralih secara damai dari Kusumawardhani kepada sang adik, Sri Maharatu Dewi Suhita. Selama memerintah Majapahit, Kusumawardhani lebih banyak bersikap sebagai pertapa, dan kini secara penuh memilih jadi pertapa bersama sang suami, Wikramawardhana daripada mengurusi pemerintahan Majapahit. Majapahit semakin kacau sejak ditinggal mangkat Prabu Hayamwuruk. Takhta Majapahit kini di tangan seorang wanita yang satu ini benar-benar mewarisi sifat Prabu Hayam Wuruk yang tidak memiliki seorang putra dari sang Paramesywari, sifatnya sekeras batu granit. Tidak lama sejak menjadi penguasa Majapahit sikap kerasnya ditunjukkan dengan perlakuan terhadap sang suaminya sendiri, Aji Ratna Pangkaya, seorang putra Melayu benar-benar diusirnya dari istana karena melakukan persekongkolan jahat yang tak dapat ditolerir lagi terhadap Majapahit.
Sementara itu di saat yang sama secara kebetulan Armada Tiongkok di bawah pimpinan Laksamana Cheng Ho berlayar ke selatan dalam jumlah besar dan mengangkut harta-benda dan kemewahan tak terbatas dari Tiongkok. Cheng Ho seorang yang sangat cerdas dan licin ini harus diberikan medan laga oleh sang Kaisar, dan itu lebih baik bila berlaga di luar wilayah Tiongkok. Maka sang Kaisar tak sayang menganugerahkan apa saja untuk Cheng Ho: prajurit terbaik, kapal terbaik, perbekalan terbaik, dan kekuasaan penuh dari Kaisar untuk melakukan apa saja dan di mana saja terdapat penduduk warga Tionghoa. Dan dengan alasan membela warganegara Tiongkok maka Cheng Ho mulai menghasut dan mengambil satu demi satu wilayah dan kerajaan bawahan Majapahit.
Arya Damar dari Palembang berhasil dilepaskan dari Majapahit, juga Pahang, Singapura, semua dapat tunduk pada kewibawaan Tiongkok berkat politik kemewahan dan kasak-kusuk Cheng Ho.
Kerajaan-kerajaan wilayah barat Majapahit itu pun setuju meminta perlindungan Tiongkok, dan untuk selamanya lepas dari Majapahit.
Dewi Suhita yang sibuk dan lebih memikirkan masalah menghadapi ulah Wirabhumi dari Blambangan yang berminat atas takhta Majapahit tidak bisa berbuat apa-apa dengan segala kegiatan armada Cheng Ho. Para pimpinan Armada Majapahit sendiri sudah dalam keadaan semau sendiri dan tak lagi sepenuhnya tunduk dengan kekuasaan pusat. Mereka tidak lagi dapat dipercayai oleh sang Maharatu akan menjalankan perintah Majapahit dengan baik. Suhita memilih menghadapi Wirabhumi yang telah menghinakan dengan mengajukan lamaran kepada sang Ratu. Wirabhumi seorang anak dari selir Prabu Hayamwuruk merasa paling berhak atas takhta Majapahit.
Majapahit harus tetap dipertahankan sampai titik penghabisan walau kekuasaannya cuma tersisa hanya dalam istana. Majapahit harus tetap kokoh dengan segala kehormatannya dan tidak boleh lenyap, begitu tekad Sang Maharatu Suhita, putri kesayangan Prabu Hayamwuruk.
Suhita mengangkat seorang wanita cantik menjadi panglima Pasukan Laut Majapahit yang baru. Seorang wanita tanpa latar belakang karir di bidang militer. Berenang pun ia tak mampu. Ni Ken Supraba demikian nama jabatan gelar panglima AL Majapahit dipercaya oleh Sang Ratu dapat menaklukkan hati para pemimpin gugus-gugus Majapahit yang tersebar di pelosok Nusantara. Kisah wanita cantik yang naik tampuk kekuasaan tertinggi di Majapahit ini mirip dengan wanita lain dari Kerajaan Romawi yang juga menduduki puncak kekuasaan Romawi di saat kerajaan sedang genting, dan gawat.
Beberapa bulan berselang kemudian Cheng Ho yang menghadap ke istana Majapahit tertegun menghadapi panglima Majapahit yang baru ini. Tak disangkanya cuma seorang gadis cantik. Dan Cheng Ho yang sudah dikebiri itu tak dapat menemukan akal bagaimana menundukkan panglima yang semacam itu. Dalam perundingan di istana Majapahit tersebut, kedudukan Cheng Ho sederajat dengan Panglima Majapahit, dan Ratu Majapahit sendiri derajatnya dalam perundingan sama dengan Kaisar Tiongkok. Baik Sang Maharatu maupun Ni Ken Supraba pura-pura tidak tahu segala sepak terjang Cheng Ho di luaran sana. Tak ada pilihan lain. Maksud hati Cheng Ho meminta menghadap penguasa Majapahit ialah menuntut dan mendorong agar Ratu Majapahit dapat dibujuk untuk meminta perlindungan dan kekuatan Tiongkok dalam menghadapi pembangkangan di seluruh wilayah kekuasaan Majapahit, dan terutama menghadapi pemberontakan Wirabhumi.
Suhita juga tahu Cheng Ho menggunakan strategi satu kaki di pihak Wirabhumi dan satu lagi dicobanya di pihak Majapahit. Cheng Ho yang beragama islam dan tidak pernah terbujuk oleh kecantikan wanita itu sudah diketahui kelemahan dan kekuatannya oleh petinggi majapahit. Dalam perundingan di hari selanjutnya Suhita yang mulai ikut bicara cuma menuding Cheng Ho dengan kata, "Yang Mulia, kami tahu bahwa armada Tiongkok sudah merebut dan mempengaruhi penguasa Majapahit bawahan kami di semenanjung Melayu dan Palembang, juga sebagian Kalimantan meminta perlindungan kekaisaran Tiongkok. Maka kami putuskan bahwa Majapahit tidak akan meminta bantuan apapun kepada Yang Mulia Dampo Awang sendiri maupun kepada kekaisaran Tiongkok. Kami sanggup menyelesaikan masalah kami sendiri." Setelah berucap demikian Suhita langsung mengundurkan diri dan perundingan dilanjutkan oleh para bawahan.
Lama kelamaan keadaan negara Majapahit semakin memprihatinkan akibat perang berlarut-larut melawan Wirabhumi dan juga akibat kerakusan aparat sipil dan militer Majapahit yang menarik pajak tinggi terhadap rakyat di pedalaman Kalimantan selama sekian lama sejak Hayam Wuruk mangkat pada 1389 M. Permasalahan itu terakumulasi menjadi kekacauan besar di masa pemerintahan Maharatu Suhita.
Sidang Pengadilan rakyat digelar di pelabuhan Gresik, pelabuhan utama Majapahit, untuk mengadili siapa saja baik sipil maupun militer yang dianggap korup maupun menyalahgunakan wewenang kekuasaannya untuk kepentingan pribadi. Jaksa, hakim, dan perangkat hukum lainnya semuanya saja diangkat langsung oleh rakyat, tanpa campur tangan pemerintah Majapahit.
***
mbah sghriwo