Zhou Enlai intelektual revolusioner - bakti sepanjang usia membangun Tiongkok - edisi Indonesia


Zhou Enlai intelektual revolusioner - bakti sepanjang usia membangun Tiongkok
 Joesoef Isak

PEMBUKA – Setelah membaca metode dan gaya Han Suyin menulis sejarah biografis ini, ingatan saya langsung melayang pada tiga karya biografi lain yang kesemuanya mencoba mengungkap kehidupan Bung Karno, masing-masing tulisan Antonie C.A. Dake, Victor M. Fic, dan Lambert J. Giebels. 
   Mendapatkan pembanding yang jernih dan tajam, langsung saya mantap berkesimpulan buku Dake dan Fic tentang Bung Karno tidak lain adalah comberan. Begitulah hasilnya bila yang dikejar cuma orijinalitas “lain daripada yang lain”, semata-mata melayani order pemberi kerja. Tulisan Giebels sebe­narnya tidak perlu dikategorikan comberan, tetapi dia sendiri yang melaku­kannya. Itu terjadi hanya karena Giebels mengikuti mazhab menulis biografi harus sama interesannya seperti membaca roman. Maka dalam buku yang sebenarnya sudah dia usahakan obyektif, dengan murah meriah dia sisipkan gossip isapan jempol “interesan” berasal dari kutipan yang dikutip dari kutipan yang mengu­tip lagi dari kutipan lain dan seterusnya, lantas dia yakini diri sendiri seyakin-yakinnya bahwa semua kutipan itu otentik. Entah apa motif penerbit bersangkutan untuk ikut aktif menyebar-luaskan bau comberan.
     Lewat buku ini, kita lihat bahwa Han Suyin juga bermazhab sejarah dan biografi harus bisa dibaca sebagai bacaan yang menarik bagaikan sebuah roman mengasyikkan. Tetapi pembaca dapat menyimpulkan sendiri beda antara “interesannya” versi Giebels dan “interesannya” konsep Han Suyin.
     Bagi pembaca yang anti-komunis, apalagi anti-cina dan mata-hati pun tertutup rapat, buku Han Suyin ini tidak perlu dibaca, malah kalau bisa kepingin rasanya dihidupkan lagi kopkamtib agar buku ini dilarang beredar. Bagi pembaca yang juga keras anti-komunis tetapi mata-hati terbuka, masih open minded, begitu pun bagi pembaca yang non-komunis tetapi berlapang dada, buku Han Suyin ini patut dibaca. Ini bukan saja buku-bacaan menga­syikkan, tetapi juga sekaligus buku-pembelajaran – dengan catatan: pembelajaran bukan untuk dijiplak, tetapi untuk dikaji, didalami, dengan sikap mandiri dan kritis.
     Materi latar-belakang yang digarap Han Suyin adalah gerak perkembangan Tiongkok feodal ke Tiongkok modern, Tiongkok nasionalis ke Tiongkok komunis, dengan aktor sentral Zhou Enlai – dikelilingi nama-nama tenar seperti Sun Yatsen, Chiang Kaishek, Mao Dzedong, Zhu De, Liu Shaoqi, Soong Chingling, Deng Xiaoping, Chen Yi, Nie Rongzhen dan puluhan lain pelaku utama di pentas sejarah Tiongkok Baru – di tengah massa buruh perkotaan dan berjuta tani di bentangan alam pedesaan.
     Bagi rakyat Tiongkok, terutama generasi tua dan kaum intelektual yang mengerti sejarah, Zhou Enlai adalah pemimpin kebanggaan, disa­yang dan dihormati; cerdas, ramah, rendah-hati, politikus yang selalu me­mentingkan rakyat lebih dulu, nyaris tidak berbuat salah. Kalau pun berbuat salah, rakyat memaklumi dan memaafkannya karena apa yang dia amalkan bagi kepentingan orang banyak sepanjang usianya, membikin semua kesalahan kecil dan besar menjadi tenggelam tidak ada arti. Lawan-lawan politiknya pun mengakui integritas Zhou Enlai, seorang politikus inteligen, tajam dan santun. Benggolan imperialis anti komunis seperti Kissinger dan Nixon dalam ucapan maupun tulisan mengakui terbuka kepada publik martabat anggun Zou Enlai sebagai politikus.
     Han Suyin pun sangat menghormati dan mengagumi Zhou Enlai, tetapi dia tidak mau menulis sebuah hagiography, dia tidak mau menjadikan obyek tulisannya seorang dewa tanpa cacat, sempurna serba benar. Han Suyin tidak mau mengkultuskan obyeknya – tidak mau“melukis ular menambah kaki”, maksudnya berlebihan puja-puji, menambah-nambah bumbu penyedap, yang tidak ada jadi ada. Bukan Zhou Enlai, bukan Han Suyin, tetapi pembaca sendiri tidak bisa tidak yang akan membangun kharisma Zhou Enlai secara utuh berdasar fakta dan data yang berbaris dalam sejarah.
     Cukup banyak penulis Barat menggambarkan pribadi Zhou Enlai yang mereka kagumi sebagai seorang komunis yang mengemban paradoks. Pada diri Zhou Enlai mereka melihat kepribadian-kembar – berpendidikan barat dan timur, produk intelektual yang menyerap rasionalitas renaissance, i.e. idea-idea pencerahan Prancis, sekaligus bergelimang dalam tradisi filsafah konfusiusisme yang sarat wisdom, kearifan oriental. Cukup banyak analis Barat melihat Zhou Enlai sebagai seorang kontroversial, “split personality”, berbagai paradoks mereka lihat built-in pada dirinya. Zhou Enlai mereka lihat kukuh pada ideologinya tetapi bisa bersikap dan bertindak sangat pragmatis. Santun, lemah-lembut sekaligus juga tegar dan keras. Dia suka pada harmoni, tenteram-tertib, tapi tidak segan berontak dan berlawan. Radikal tetapi juga konservatif. Militan revolusioner sekaligus super-luwes. Gejala-gejala itu tergambar dalam penja­baran Han Suyin yang mengikuti segala sepak-terjang Zhou Enlai. Sudah tentu label-label seperti tenteram, tertib, pragmatis dan konservatif bersumber pada mind-set Barat, sedangkan seluruh tindak-tanduk Zhou sendiri kukuh bersetia-azas pada kerangka-berpikir dialektika.
     Pribadi retak, split personality, sudah populer dalam rumusan psiko-analitik menurut text-book sekolahan. Novel dan film banyak mengelola thema itu dengan istilah-istilah bipolar behaviour, psycho-pathology, dsbnya. Tidak perlu diperdebatkan benar tidaknya, karena boleh jadi kasus-kasus seperti itu memang ada dalam pergaulan masyarakat. Tetapi saya menganggap keliru bila rumus itu dikenakan pada pribadi Zhou Enlai. Bila pada sesorang dikatakan pribadinya split, retak terbelah, maka orang itu sakit. Sakit jiwa, tidak sehat otak, tidak normal perilakunya.
     Dalam hal Zhou Enlai, saya melihat dia justru seorang pribadi kuat, mantap tidak bimbang mendua, solid. Pribadi utuh. Sikap dan tindakannya tepat. Tepat sesuai waktu, tepat sesuai kondisi semasa, tepat sesuai masalah yang dihadapi; bukan sama sekali berkepribadian-ganda. Apakah kepu­tusan dan tindakan yang dia ambil berhasil atau tidak, itu soal lain. Zhou Enlai bukan figur protagonis kembar à la dr. Jekyll and mr. Hyde, penge­jawantahan kebajikan di satu pihak dan iblis di lain pihak.
     Tidak ada paradoks. Zhou Enlai berpribadi utuh, inteligen di atas rata-rata orang pintar. Seorang intelektual revolusioner rendah hati yang penuh tanggung-jawab, tidak kenal putus-asa atau berhenti karena capèk. Dia memiliki keunggulan-keunggulan lebih daripada banyak pemimpin lain. Antara lain yang mencolok: sebagai pemimpin dia menjadi inspirator, dan punya naluri tajam mendetect genius-genius di antara para kader dan pem­bantu yang ada di sekelilingnya. Ini suatu faktor sangat penting dalam kerja revolusi, karena mulai dari situ terjadi perbaikan organisasi, pembagian kerja lebih efisien, menghidupkan kerja kolektif dan akselerasi gerakan massa dalam kadar kualitas yang lebih tinggi. Gerak revolusi tersendat-sendat kalau dipimpin orang-orang mediocre apalagi dangkal kerdil. Revolusi membutuhkan orang-orang cerdas dan kreatif, itu sebabnya Zhou lebih menghargai pendapat yang lain. Tukar pikiran terbuka lewat silang pendapat yang berbeda, otak terus-menerus terasah tajam untuk melahirkan keputusan dan tindakan terbaik, begitulah ciri kepemimpinan Zhou Enlai.
     Zhou Enlai seorang demokrat sejati, dia menerapkan dalam teori dan praktek azas demokrasi, sudah tentu bukan demokrasi Barat apalagi standar demokrasi à la Bush. Demokrasi yang dianut dan diterapkan Zhou Enlai sangat luas ruang geraknya, namun seluas apa pun ruang gerak tetap ada kontur, ada garis batas tebal bagaikan the Great Wall, walaupun demikian cukup menjamin kebebasan gerak semua warga Tiongkok. Garis batas itu adalah 1. Kepentingan Rakyat, 2. Azas Negara (sosialisme) dan 3. Kesatuan Wilayah Tiongkok. Deng Xiaoping yang menerapkan prinsip demokrasi Zhou, bertindak keras terhadap peristiwa Tienanmen karena apa yang menamakan “demonstrasi demokrasi” yang didukung dan tidak henti-henti disanjung-sanjung oleh pers Barat sampai hari ini, sudah melintasi tiga garis batas demokrasi Tiongkok – apabila dibiarkan akan kacau-balau Tiongkok sosialis yang baru berdiri, negeri yang belum mantap dan masih harus dibangun; akan muncul kembali gejala-gejala feodalisme tuan-tanah besar dan raja-raja perang – suatu situasi yang menguntungkan negeri-negeri kapitalis untuk ikut kembali campur tangan di dalam negeri Tiongkok seba­gaimana sebelumnya terjadi semasa dinasti Qing sebelum Kemenangan 1949.
     Demonstrasi Tienanmen oleh pemuda dan mahasiswa juga à historis, anak-anak muda itu tidak faham sejarah perjuangan heroik para pahlawan seperti Mao Dzedong, Zhou Enlai, Zhu De, Soong Chingling, Chen Yi dan ribuan lainnya yang dengan tuntas berhasil mengubah Tiongkok feodal menjadi Tiongkok Baru. Berkat perjuangan heroik itu, suatu reformasi kualitatif telah terjadi. Kondisi sosial-politik, ekonomi dan budaya Tiongkok berubah secara substansial. Bahwa Tienanmen banyak makan korban, sungguh sangat disesalkan. Siapa harus bertanggung-jawab? Yang selenggarakan atau yang gagalkan demonstrasi? Bagaimanapun, kalau sudah mengusik azas-azas paling dasar, segenap kekuatan Tiongkok Baru harus berani membayar beaya penangkalnya betapa pun tinggi harganya. Terlalu naif menganggap demo Tienanmen suatu gerakan lugu hanya oleh anak-anak muda tidak berdosa yang cuma menuntut lebih banyak kebebasan demokratis. Yang paling berat terpukul di Tienanmen adalah sang dalang yang sudah tentu tidak muncul di permukaan.
     Garis demokrasi Zhou yang diterapkan Deng Xiaoping, sampai sekarang konsisten dilanjutkan oleh Hu Jintao, malahan bisa menerima dua sistem dalam satu negara. Hong Kong dan Macau berazas pasar bebas kapitalis – berbeda dengan wilayah Tiongkok sosialis lainnya. Dua wilayah itu bebas mengatur diri sendiri, tetapi tetap dalam kerangka Satu Tiongkok, tetap dalam batas-batas demokrasi Tiongkok. Taiwan pun ditawarkan penyelesaian yang sama.
     Mempertahankan azas negara dan kesatuan wilayah Tiongkok, itulah yang disebut pihak Barat sebagai “demokrasi standar-ganda”, padahal pihak Barat dengan Bush di baris paling depan justru menerapkan sewenang-wenang demokrasi standar-dobel mereka. Kriteria dan standar Demokrasi Barat à la Bush adalah: kepentingan Amerika tidak boleh terhalang untuk ikut campur-tangan di negeri-negeri di mana terdapat kepentingannya. Bila ada negeri di dunia-ketiga menghalangi kepentingannya, maka negeri itu dianggap menjalankan demokrasi standar ganda, bahaya bagi perdamaian dunia, maka harus “dikerjain” (seperti dialami Indonesia dan Irak). Demokrasi Terpimpin Bung Karno bertentangan dengan demokrasinya Barat, jadi perlu dihancurkan. Barat dengan menggunakan kekuatan local army friends berhasil gemilang di Indonesia, tetapi di RRT kekuatan local abettors friends Barat yang masih latent tersisa maupun yang baru, terbuka maupun tertutup, gagal total menggoyang Tiongkok Baru.
     Sungguh ironis urusan demokrasi ini. Mao yang komunis menerapkan fil­safat Tiongkok kuno 500 tahun y.l.: Biarlah Beratus Bunga Mekar Bersama, Beratus Ideologi Bersaingan Suara – sebaliknya Pancasilais Soeharto mempraktekkan Satu Bunga Harus Dicabut Sampai ke Akar-akarnya, Satu Ideologi Harus Dibungkam Tuntas Suaranya.
     Saya masih ingin memfokuskan lagi pada satu keunggulan Zhou Enlai. Ini terjadi terutama pada puncak Revolusi Kebudayaan di paroh akhir 60-an, suatu situasi yang suram dan berat. Semasa itulah Zhou Enlai banyak dikritik orang di dalam dan luar negeri, dianggap tukang kompromi, tidak punya pendirian sendiri, dalam segala cuaca manut pada Mao Dzedong, padahal ketua Mao sudah bikin blunder besar dengan konsep “Lompatan Jauh ke Depan” – lantas disusul dengan gebrakan revolusi kebudayaan yang bertujuan baik tetapi amburadul lepas kontrol karena titik-tolaknya mengesampingkan partai komunis sendiri. Dalam situasi seperti itu, Zhou Enlai tetap mendampingi dan mendukung Mao. Banyak orang tidak mengerti, tetapi justru di situlah kita lihat kualitas Zhou Enlai sebagai politikus ulung yang teruji. Dia bukannya tidak tahu kesalahan-kesalahan serius Mao Dzedong, dia bukan tidak punya konsep pemikiran lain. Bahkan pada saat revolusi kebudayaan masih berkecamuk pun, Zhou sudah siapkan konsep pembangunan alternatif. Tetapi sebagai pemimpin yang punya kesabaran revolusioner, tahu betul situasi dan momentum, piawai menyelesaikan konflik internal, maka konsep alternatif itu tidak menyebabkan tabrakan antara kekuatan revolusi pendukung Zhou dan Mao.
     Zou Enlai mendampingi dan tetap konsisten mendukung Mao Dzedong, karena secara politis dia sadar betul bahwa Mao Dzedong adalah identik dengan Tiongkok Baru. Melawan dan merongrong Mao Dzedong berarti melawan dan merongrong Tiongkok Baru, sedangkan Tiongkok Baru belum stabil, masih harus dipertahankan, masih harus diselamatkan dari berbagai macam risiko. Risiko bahaya dogmatisme kiri extrem (misalnya “The Gang of Four”), bahaya latent feodalisme tuan-tanah besar, juga sisa-sisa kaum nasionalis kanan pro Barat yang menunggu kesempatan bangkit kembali. Di atas itu semua masih mengintai campur-tangan semi-kolonial kapitalisme asing yang tidak henti-henti berkepentingan ikut mengatur urusan dalam negeri Tiongkok. Dalam situasi yang masih sangat rentan seperti itu, bagi Zhou mendukung Mao dan memprioritaskan eksistensi Tiongkok Baru adalah mutlak. Bertahun-tahum dia sabar menahan diri, tetapi 1971 orang sudah mulai tahu Zhou punya gagasan alternatif. Dan baru di tahun 1975 Zhou Enlai yang sabar-politik muncul terbuka mengumumkan program pembanguan “Empat Modernisasi” Tiongkok Baru, suatu konsep jelas bertolak-belakang dengan konsep Lompatan Jauh Mao Dzedong. Tidak ada geger-gegeran! Berkat kesabaran revolusionernya, seluruh negeri, rakyat dan Partai menyambut baik konsep Zhou Enlai. Mao Dzedong pun menerimanya. “The Gang of Four” yang masih bengis ber­koar-koar tidak berdaya apa-apa. Itulah kerja taktikus dan strateeg yang kenal betul situasi dan tahu gunakan momentum yang matang. Program Empat Modernisasi pun dilengkapi perangkat pimpinan penerus dan pelaksana di masa-depan, dalam hal ini Zhou sudah cukup lama mempersiapkan Deng Xiaoping, karena dia sendiri sudah dirundung penyakit kanker ganas dalam stadium tinggi. Di RRT yang sekarang laju meluncur menjadi negara adikuasa baru, ternyata garis Zhou-lah yang jalan. Karena itu kita tidak termasuk kelompok pengritik di dalam dan di luar negeri Tiongkok yang menuduh sikap Zhou semasa revolusi kebudayaan salah, plin-plan tidak punya pendirian, melulu mengekor Mao Dzedong.
     Walaupun mengagumi garis Zhou Enlai dan Deng Xiaoping yang sekarang berada di atas angin, saya tetap punya sikap bercadang. Tiongkok Baru pada saat ini berada dalam satu lomba politik yang sangat menentukan. Bagaimanakah akhir lomba demokratisasi politik dan ekonomi yang sekarang cukup sengit sedang berpacu? Perjalanan politik memang selalu open-ended, tidak pernah ada titik tamat, tetapi kita sangat penasaran apakah benang merah cita-cita sosialisme baru Tiongkok yang akan sampai duluan di garis final? – ataukah konsep kemakmuran à la MacDonald, Starbucks, berikut sisa-sisa kekuatan pra-1949 yang tidak kelihatan di permukaan? Gerbong panjang kelompok MacDonald menggunakan pesawat jet kapitalisme global, mungkinkah mereka yang duluan mencapai final? Saya pribadi mengharapkan eksperimen sosialisme Tiongkok Baru akan unggul.
     Butir lain dalam pengantar ini, saya masih mau mengi­ngatkan pada satu topik penting yang relevan bagi Indonesia – masalah sangat prinsipieel, yaitu: merdeka dan hidup tegak dalam “kemandirian”.
cover buku Zhou Enlai
     Pada puncak Perang Dingin antara komunisme Soviet Uni dan kapitalisme Amerika Serikat dan memanasnya Perang Vietnam, Kruschov pada pertengahan 1958 berkunjung ke Beijing bertemu Mao dan Zhou. Demi “persahabatan abadi” Kruschov membujuk Mao membangun Pakta Pertahanan Bersama. Dan dia juga tawarkan mendatangkan para ahli Uni Soviet guna memasang instalasi nuklir di Tiongkok.
     Mao didampingi Zhou menolak tawaran yang sangat menarik itu. Mao tajam bertanya, jari siapa yang siap di atas tombol peluncuran? Beberapa tahun kemudian baru terungkap kata-kata pedas antara dua pemimpin komunis itu. Mao konon mengatakan dengan penuh percaya diri: “Walaupun harus pakai celana kolor, Tiongkok mandiri akan membangun instalasi nuklirnya sendiri, dan juga oleh ahli-ahli Tiongkok sendiri!” (Ingat ucapan Bung Karno: Go to hell with your aid!-?– ed.) Kruschov sengit menukas: “Ah, petani Cina celana kolor pun tak punya!”. Para marsekal dan jenderal RRT yang sangat tergiur oleh tawaran Kruschov, antara lain Peng Dehuai, ketika itu mengkritik Mao telah bersikap dogmatis ke kiri-kirian. Mengapa menolak? Bukankah suatu kemajuan hebat bagi angkatan bersenjata RRT dan bagi Tiongkok menjadi kekuatan nuklir dunia?
     Belakangan walau pun harus menunggu enam tahun lebih, terbukti garis mandiri Mao dan Zhou Enlailah yang paling benar. Pada 16 Oktober 1964 Tiongkok meledakkan bom atomnya pertama, tanpa tergantung negeri mana pun di dunia, juga tidak tergantung negeri sesama komunis. Tiongkok RRT yang mandiri langsung berubah status sebagai kekuatan nuklir dunia! Inilah pembelajaran luar biasa tentang arti penting bersikap mandiri! Politisi dan para aktivis Indonesia, profesional dan amatiran, patut me­renungi pengalaman berharga bagaimana Tiongkok menilai hakekat mandiri, juga apa hasil politiknya bila teguh konsekuen bersikap mandiri. Ada satu informasi lagi yang penting tentang makna MANDIRI dalam berpolitik. Informasi ini tidak banyak diketahui di luar Tiongkok, bahkan mungkin juga kurang diketahui orang-orang PKI sebelum 1965.
     Dari dokumen-dokumen partai ternyata Partai Komunis Tiongkok dengan pimpinan Mao Dzedong dan Zhou Enlai sudah dari awal PKT berdiri bersikap ketat MANDIRI terhadap Partai Komunis Uni Soviet – sejak Stalin masih berkuasa dan ketika Komintern masih aktif mau mendikte gerakan komunis sedunia. Sikap MANDIRI yang konsisten itu sering menimbulkan situasi konflik menegangkan, tetapi PKT tidak pernah mau manut mengèkor saja, bahkan PKT lebih sering berlawan. Dengan kemandirian yang konsekuen, Tiongkok mampu memanfaatkan optimal konflik dua adikuasa Uni Soviet dan Amerika Serikat bagi kepentingan nasionalnya sendiri. Inilah butir sangat penting untuk direnungi politisi kita yang sejak 1965 membiarkan Indonesia terus tetap tergantung pada Kapitalisme Barat.
     Bung Karno menolak keras bantuan kapitalisme dunia yang sarat dengan berbagai jerat ketergantungan. Dengan seruan “Go to hell with your aid!”, Bung Karno mantap mau mendidik rakyat Indonesia dan membangun karakter bangsa agar tidak menjadi bangsa pengemis. Kemerdekaan tanpa kemandirian tidak lain adalah semi-kolonialisme*. Kapital besar – asing mau pun swasta domestik, welkom sekali bagi Indonesia karena modal sangat diperlukan untuk pembangunan dan kesejahteraan rakyat. Meraih profit optimal dalam bisnis adalah wajar, akan tetapi mekanisme kontrol di bidang politik dan ekonomi harus efektif berjalan dalam batas tidak mengorbankan kemandirian bangsa dan negara.
     Saya sering menegaskan arti Peristiwa September 1965. Memang betul PKI berhasil dihancurkan, berjuta warganegara Indonesia dipenjarakan dan dibantai, namun fakta terpenting adalah bahwa Soeharto “mendem jero” Bung Karno sampai menemui ajalnya. Itulah titik tonggak dalam sejarah dunia bahwa Indonesia Mandiri beralih menjadi Indonesia Tergantung. Soekarno tumbang – kiprahlah Indonesia Tergantung.
     Dalam Indonesia Mandiri, Indonesianya Bung Karno, kepentingan rakyat didahulukan. Dalam Indonesia Tergantung, kepentingan sela­pis tipis elit diprioritaskan, “Cendana” dan orang-orang pilihan seling­karannya dadakan-sontak jadi milyuner dolar, konflik etnik dan agama meledak di mana-mana, korupsi mewabah sampai sekarang. Pembangunan apapun dalam era reformasi sekarang ini, adalah Pembangunan dalam Ketergantungan. Sampai-sampai melawan tero­risme pun ketergantungan Indonesia tergantung pada gantungannya; padahal teror tidak pernah terjadi dalam periode Indonesia Mandiri Bung Karno, 1945–1965.
     Cobalah sejenak beranjangsana ke masa lalu, mengebat-ngebat kisah-balik sejarah mutakhir kita sendiri. Kita pernah kenal Dwitunggal Bung Karno–Bung Hatta, sejak pendudukan Jepang Hatta mendampingi Bung Karno. Berdua mereka proklamirkan kemerdekaan Indonesia, sedangkan kita tahu betul dua pucuk pimpinan nasional itu punya gaya dan pemikiran berbeda. Sampai satu waktu di tahun 1957 Bung Hatta tidak bisa lebih lanjut men­dampingi Bung Karno, lalu mengundurkan diri sebagai wapres. Suatu fakta dalam sejarah nasional yang semua kita ketahui, tetapi yang tidak disadari – tidak dicatat­ – Bung Hatta sebenarnya berkorban demi persatuan Indonesia. Hatta tidak per­nah memobilisasi kekuatan untuk melawan Bung Karno. Hatta pasti bersikap demikian atas kesadaran bahwa melawan Bung Karno akan timbulkan kerusuhan di seluruh negeri. Walau tidak sepikiran dengan Soekarno, Hatta juga menolak keras gerakan separatis PRRI/Permesta. Bagi Hatta, seperti juga Bung Karno kemerdekaan dan keutuhan Indonesia harus di atas segalanya. Lantas apa yang terjadi delapan tahun kemudian sesudah Hatta mengundurkan diri?
     Pada 1965 jenderal Soeharto muncul di pentas politik Indonesia. Dia hancurkan PKI, tetapi lebih parah lagi dia tidak peduli Soekarno. Memang Soeharto bukan kualitas Bung Hatta atau Zhou Enlai, baik intelektualitas mau pun kadar nasionalismenya, apalagi bersih dari keserakahan mengisi kantong sendiri. Soeharto tidak peduli Soekarno, tidak peduli kemandirian Indonesia. Soeharto bukan saja beda dengan Bung Hatta, dia pun berbeda jauh dari seorang tokoh PSI pewaris Sjahrir, dikenal oleh anak-anak muda yang mengelilinginya sebagai oom Kiyuk alias Soebadio. Walaupun beda pendapat, Soebadio peduli dan tepat menilai Soekarno. Terang-terangan dia ucapkan dan menulis: Soekarno adalah Indonesia, Indonesia adalah Soekarno!
     Menderetkan di sini nama-nama Mao Dzedong, Zhou Enlai, Bung Karno, Hatta, Sjahrir, Soebadio, sekadar contoh pembelajaran bagaimana mereka telah memperjuangkan kemerdekaan, selanjutnya memelihara kemandirian Indonesia. Sikap itu bertolak belakang dengan tokoh Orde Baru jenderal Soeharto berikut segerbong pengikutnya yang all out menyeret Indonesia ke Ketergantungan.
     Sebenarnya bukan cuma Soeharto yang tidak mengerti Bung Karno, banyak sukarnois-sukarnois pun tidak mengerti Bung Karno. Terlalu sering saya mendengar ucapan para marhaenis: Bung Karno hebat sekali, cemerlang ajaran-ajarannya! Lihatlah Pancasila, konsep Trisakti, pemersatu rakyat-bangsa-negara. Sempurna! Cuma celaka sekali, Bung Karno punya satu cacat yang gawat. Mengapa Bung Karno anjurkan Nasakom? Mengapa Bung Karno membela-bela PKI? Sayang!
     Saya anggap ucapan seperti itu tidak ketolongan bodohnya atau sudah parah kejangkitan trauma takut berat dicap kopkamtib simpatisan PKI yang sedang gencar dibasmi sampai ke akar-akarnya. Memodifikasi ucapan Soebadio, saya malah tidak ragu mengatakan: Soekarno adalah Nasakom, Nasakom adalah Soekarno.
     Nasakom itulah inti ajaran Bung Karno tentang persatuan dan kesatuan bangsa. Credo itu embrionya sudah dilahirkan oleh Bung Karno di tahun 1926, Nasionalisme-Islam-Marxisme. Tidak ada urusan sama sekali bela PKI. Nasakom adalah urusan Indonesia bersatu, urusan Indonesia mandiri, adil dan sejahtera bersama. Kalau pun hari ini Indonesia sudah berdemokrasi, lalu mengundangkan resmi PKI boleh berdiri kembali, coba lihat apa yang akan terjadi. Apakah akan berdiri PKI baru? Masihkah komunis Indonesia mampu membangun lagi PKI? Mungkin saja! Mungkin yang berdiri bukan satu, malahan sepuluh PKI. Itu semua urusan mereka. Urusan kita adalah urusan persatuan, kesatuan, samenbundeling van alle revolutionaire krachten, demi Indonesia jaya mandiri. Berdikari! Bukan saja PKI, partai apa pun silakan aktif dalam ruang gerak Nasakom yang luas berkontur Pancasila dan persatuan-kesatuan Republik Indonesia. Dalam Nasakom itu sendiri sudah built-in sistem pengamanannya, siapa mengkhianatinya hancur sendiri. Demikian canggihnya konsep Nasakom Bung Karno.
     Tan Malaka, Thamrin, Tjipto Mangunkusumo, Soekarno, Hatta, Amir Sjarifuddin, Sjahrir, Natsir, Sutardjo, Ratulangi, Abikusno, Muso, Lim Kun Hian, A. Patty, Kartosuwiryo, Siauw Giok Tjhan, Daud Beureueh, Yap Thian Hien, Baswedan, dan banyak lagi lainnya adalah pimpinan yang tanpa kecuali berjuang untuk kemerdekaan nasional, keadilan dan kesejahteraan rakyat Indonesia, tetapi mereka berbeda pendapat, bahkan bersengketa tajam. Masing-masing bertindak benar dan merasa benar.
     Sekarang – hari ini – kita tentu berhak bertanya, benar atau salahkah sikap mereka? Sejarah sendiri jangan pernah dilupakan, tetapi generasi baru sekarang tidak perlu dan jangan sampai mengangkat konflik sesama cita-cita di masa lalu menjadi bahan pertengkaran aktual hari ini. Generasi masa kini yang sudah berpisah waktu limapuluh tahun lebih dari generasi sebelumnya, mempunyai kesempatan untuk mengendapkan pikiran, merenungi, merefleksi masa lalu itu. Sejarah harus dipelajari bukan untuk perpecahan, tetapi untuk tidak melakukan lagi kesalahan mubasir masa lalu. Dengan kesadaran politik yang tinggi, tugas kita hari ini mutlak menggalang kekuatan pendukung kemandirian Indonesia, tahu secara baik bagaimana menangani perbedaan dalam barisan sendiri, dengan tepat mengelola perbedaan itu untuk justru menjadikannya kekuatan kubu Indonesia mandiri yang ampuh. Dengan sendirinya kubu persatuan itu juga perlu mengenali betul siapa musuh utama sesungguhnya yang harus dilawan bersama. Yang jelas, musuh utama utama adalah masih tetap imperialisme global berwajah semi-kolonial yang punya lahan pembiakan di dalam negeri dan selama puluhan tahun dipersonifikasi oleh Soeharto dengan Golkar sebagai kendaraan politik berikut semua organisasi afiliasinya. Tetapi Soeharto di tahun 1998 sudah lèngsèr, tidak usah mutlak kita anggap Golkar dan sisa-sisa pendukung Soeharto masih tetap sebagai musuh utama yang harus ditaklukkan. Itu salah besar, kecuali kalau sisa-sisa Orde Baru itu tetap bersikukuh menggantung terus pada Soeharto, apalagi menjadi perpanjangan di dalam negeri bagi kekuatan imperialisme global yang memang punya agenda ingin mengatur Indonesia tetap tergantung pada kapitalisme global.
     Yang paling celaka, kalau kekuatan yang seyogianya sekubu, mem­perlakukan kekuatan seiring sejalan – tetapi berbeda pendapat – sebagai lawan utama yang perlu disingkirkan. Menganggap sekutu sendiri yang berlainan pendapat lebih berbahaya daripada musuh utama yang wajib ditaklukan. Ini adalah gejala umum di antara kekuatan-kekuatan progresif yang mau menyusun front. Sampai sekarang belum ada front persatuan yang berhasil. Bukan karena musuh mahakuat tidak tertaklukkan, tetapi karena barisan sendiri selalu saling bertengkar, pecah-belah berantakan. Unsur-unsur pe­juang ini mengerti betul teori kontradiksi, tetapi begitu terjun dalam praktek, teori tidak jalan. Semua cuma teori, semua serba di wilayah wawasan saja, tetapi gagal penerapan dalam praktek. Ini fatal sekali dalam menyusun front menghadapi musuh, padahal ini sangat elementer, mutlak diperlukan.
     Satu contoh kecil: Chiang Kaishek menempatkan Zhou Enlai sebagai nomor satu dalam daftar untuk ditangkap hidup atau mati. Sebaliknya Zhou Enlai tidak henti-hentinya mengajak Chiang Kaishek berikut jenderal-jenderal Guomindang lainnya – bahkan juga kekuatan kelompak-kelompok tuan-tanah besar – untuk bekerja-sama memerangi musuh Tiongkok nomor satu ketika itu: imperialisme Jepang. Zhou Enlai bahkan atas nama partai memerintahkan ke­pada komite-komite di daerah basis yang sudah berada di bawah penguasaannya, agar sebagian kekuasaan diberikan kepada tuan-tanah – semua itu demi melawan musuh utama, imperialis Jepang. Chiang Kaishek pun yang pernah ditahan jenderalnya sendiri, dibebaskan atas bantuan Zhou Enlai. Lagi-lagi atas pertimbangan kekuatan sebarisan satu kubu tidak harus baku-hantam. Semua mutlak bersama melawan satu musuh utama: Jepang. Bukankah ini pembelajaran bagaimana pentingnya menguasai teori front, tetapi terlebih-lebih penting lagi menerapkannya dalam praktek?
     Pengalaman Tiongkok, khusus peranan Zhou Enlai tinggi manfaatnya untuk dipelajari, tentu saja bukan untuk menyontèk mentah-mentah karena kondisi politik sosial budaya Tiongkok berbeda dengan Indonesia, juga berlainan kurun waktunya. Yang dapat kita lakukan adalah menarik essensi nilai-nilai universal terbaik dari watak dan gaya kepemimpinan Zhou Enlai. Sikap mandiri revolusioner bekerja bagi kepentingan rakyat tanpa pamrih, cerdas kreatif, berilmu, beradab, imun korupsi seperti Zhou, adalah nilai-nilai universal yang di mana pun valid dan berguna. Bukan saja Tiongkok, Indonesia pun sangat memerlukan nilai-nilai luhur itu.
     Kemandirian Indonesia sudah terlalu lama terinterupsi oleh mentalitet ketergantungan militerisme Soeharto. Akibatnya kita defisit pemimpin berwatak mandiri. Bukankah kita perlukan banyak pimpinan yang punya visi dan misi mandiri guna menggerakkan Indonesia berjalan maju dan tidak terus berjalan di tempat seperti sekarang ini? Indonesia perlu banyak sekali pemimpin yang jijik korupsi, piawai menyelesaikan beda pendapat dalam barisan sendiri, tahu memelihara rujuk-nasional, pantang diskriminasi etnik dan agama, tidak gebyah-uyah menghantam lawan, sebaliknya tegas menghadapi lawan utama yang harus ditaklukkan. Untuk itu mutlak diprioritaskan bekerja untuk memulihkan lebih dulu ideologi kemandirian Bung Karno, membebaskan diri dari mentalitet ketergantungan pada level wawasan, dan lebih-lebih lagi pada saat berpraktek politik berlandas watak revolusioner Pancasila–Trisakti. Masa kini dan masa depan perlu kepemimpinan politik nasional yang punya karakteristik intelektual revolusioner komplet sebagaimana dirinci di atas.
     Semua pihak yang bergerak dalam institusi politik dan budaya, perlu memperioritaskan agenda nation and character building guna menegakkan kembali Indonesia Mandiri, bebas dari ketergantungan pada kapitalisme global! Rakyat sejahtera dalam peringkat tinggi, Indonesia bermartabat, modern, maju ilmu dengan high technology, bisa diwujudkan hanya dengan sikap politik demikian.
     Anak-anak muda generasi baru Tiongkok masakini yang sudah hidup dalam kemakmuran tidak tahu lagi sejarah perjuangan Mao Dzedong, Zhou Enlai dan ribuan pahlawan pembangun Tiongkok Baru – anak-anak muda Indonesia sudah tidak kenal Bung Karno, Bung Hatta, Thamrin, Sjahrir, Tan Malaka, Ratulangi, Dewantoro, Siauw Giok Tjhan, Soedirman, Slamet Riyadi. Idola mereka bukan lagi para patriot pembebas bangsa, melainkan pengusaha-penguasa yang berprestasi menjadi multi-milyuner dollar, tidak peduli hasil korupsi atau hasil jual kemandirian bangsa. Cita-cita ideologi yang didambakan adalah kebebasan demokrasi Barat. Kenyataan ini harus kita koreksi. Hanya Demokrasi sesuai kebutuhan rakyat dan menjadi kaya lewat kerja keras dan jujur – itulah yang benar dan patut dihormati!
    Han Suyin mempersembahkan karyanya kepada generasi muda Tiongkok; Hasta Mitra mempersembahkan buku ini kepada generasi muda Indonesia sebagai literatur pembelajaran berkarakter dalam politik.

Epilog
Kajian mendetail Han Suyin tentang awal gerakan para pemuda revolusioner Tiongkok sampai meraih kemenangan melahirkan RRT pada 1 Oktober 1949, berlanjut dengan pembangunan masyarakat Tiongkok Baru dengan Perdana Menteri Zhou Enlai sebagai tokoh sentral, meliput kurun waktu mulai tahun-tahun akhir abad 19 sampai wafatnya Zhou pada tahun 1976. Pada saat edisi Indonesia buku Han Suyin ini sedang dikerjakan, kita sedang berada pada akhir Oktober 2007, sehingga masih memungkinkan kita mengikuti hasil Kongres Partai Komunis Tiongkok (PKT) ke-XVII di Beijing yang diumumkan pada 21 Oktober 2007. Jadi sudah 30 tahun lebih Tiongkok Baru berjalan tanpa Zhou Enlai, dan hampir 60 tahun setelah Proklamasi RRT di tahun 1949.
     Wajar kalau bermunculan pertanyaan apakah Tiongkok Baru hari ini berkembang sesuai dengan cita-cita the founding fathers RRT atau generasi-generasi awal pimpinan PKT, khususnya Mao Dzedong dan Zhou Enlai yang beberapa dekade sudah tiada? Hasil-hasil Kongres PKT ke-XVII seakan mengkonfirmasi macam-macam komentar yang sebelumnya sudah lama beredar.
     “RRT sudah bukan negara komunis lagi.” Ucapan seperti itu dengan berbagai varian beredar cukup luas, diucapkan oleh orang-orang kanan maupun kiri di luar Tiongkok, boleh jadi juga di dalam negeri Tiongkok sebagai ekspresi sinisme atau frustrasi. Dengan sangat sinis ada ko­mentar yang mengatakan “Tiongkok mau membangun kemakmuran kapitalisme dengan ajaran marxisme”, atau sebaliknya “Tiongkok mau membangun sosialisme lewat jalan kapitalisme”. Orang kiri yang frustrasi melampiaskan isi empedunya dengan kata-kata “Tiongkok tidak berhak lagi mengklaim sebagai negara sosialis apalagi komunis.” Pers Barat ada yang gembira menyambut hasil Kongres PKT ke XVII dengan tulisan “Tiongkok mulai melangkah ke demokrasi . . . ,” sudah tentu konsep demokrasi Barat yang dianggap paling benar dan paling demokratis.
     Semua orang berhak berkomentar, tetapi kita mantap berpendapat semua komentar di atas tidak menggambarkan Tiongkok yang sebenarnya. Semua komentar itu bukan gambaran Tiongkok dalam realitas , tetapi bulat-bulat adalah gambaran pola-pikir (mind-set) dari para komentatornya sendiri.
     Pastilah cuma kerancuan yang muncul, bila komentar-komentar seperti itu dijadikan rujukan untuk menganalisis situasi dan mengenal Tiongkok. Alam pemikiran politik di dunia, termasuk Indonesia dominan dikuasai oleh cara berpikir demikian. Produk mind-set hasil utak-atik otak sendiri, semua tidak lain abstraksi dari dalam isi kepala sendiri dikunyah-kunyah dengan penuh kecanggihan, lantas menjadi realitas yang diyakini sendiri sebagai kebenaran. Namun betapa pun kreatif mengelola muatan otak sendiri, output dari cara berpikir seperti itu tetap bukan realitas, dia tetap abstrak. Ilusif.
     Di Indonesia para pejabat, politisi kita, bahkan juga para aktivis militan umumnya parah kejangkitan cara berpikir rancu seperti itu (misleading). Yang dikaji, dianalisis, dikelola, disidangkan, diperdebatkan, diseminarkan, diresolusikan, dan dengan khidmat dideklarasikan adalah keinginan-keinginan indah, ilusi serba abstrak, bukan realitas. Sosiologi menyebut cara berpikir demikian dengan istilah reïfikasi. Tidak usah heran bila hampir 10 tahun era reformasi Indonesia yang digebrak sejak 1998 sampai sekarang tidak bawa kemajuan berarti, tidak ada perubahan sosial-politik substansial. Banyak rencana hebat serba ngambang, karena pola-pikir ilusif seperti itu sudah built-in di benak para aktivis penyelenggaranya. Mayoritas rakyat tetap hidup dalam realitas kemiskinan ekonomi dan budaya – abstrak dalam kemajuan, abstrak dalam kemakmuran.
     Setelah mengikuti hasil-hasil Kongres PKT ke-XVII Oktober 2007 di Beijing – bagaimana seharusnya menilai perkembangan di Tiong­kok Baru hari ini? Kita tidak akan klaim paling tahu dan paling benar menilai Tiongkok sekarang, tetapi paling-kurang kita dapat menghampiri kebenaran sampai sedekat-dekatnya, apabila dengan rendah hati kita lebih dulu mencampakkan jauh-jauh reïfikasi – tidak menggunakan standar dan pola-pola yang ada dalam benak sendiri untuk menilai Tiongkok (atau menilai pihak lain mana pun). Kita tidak sedang merelatifkan pengertian-pengertian “kebebasan”, “demokrasi, “sosialisme”, “komunisme”, “religi” – semua butir-butir wawasan itu tidak harus dianggap bisa ditafsirkan relatif. Sebaliknya semua wawasan itu punya norma dan standar baku, tidak relatif. Oleh karena itu, tolok-ukur yang cocok untuk menilai Tiongkok atau negeri mana pun di dunia adalah: cita-cita, aspirasi hari depan terbaik yang diingini dan dipilih oleh rakyat negara-bangsa yang langsung bersangkutan sendiri. Dengan sendirinya demokrasi dan tatanan sosial-budaya yang paling benar adalah juga yang dipilih rakyat sesuai kepentingan dan kebutuhan sendiri, sesuai bumi tanah-air yang dipijak dan memberi kehidupan. Jadi menilai obyektif Tiongkok seyogianya dihampiri dengan standar Tiongkok sendiri – tidak misalnya dengan standar demokrasinya Presiden George W. Bush, pasti tidak juga dengan standar komunisto-phobinya Presiden Soeharto yang 30 tahun merajalela menguasai pola pikir warga Indonesia, mulai yang paling awam sampai kepada kaum intelektual, termasuk segenap massa-media kita.
     Dunia kita akan lebih aman dan damai, tidak perlu tiap hari bertahun-tahun berjatuhan puluhan korban penduduk Irak dan prajurit Amerika, tidak akan ada “hantu terorisme al-Qaeda” gentayangan di dunia yang harus dibasmi, apabila di dunia tidak ada orang-orang berkuasa seperti G. W. Bush yang menganggap standar demokrasi Amerika paling adil dan unggul dan harus diekspor ke Irak (tentu juga ke semua bagian dunia lain yang memiliki tambang minyak).
     Rakyat Tiongkok telah menjatuhkan pilihannya sudah sejak 1 Oktober 1949: membangun Masyarakat Sosialis marxis-leninis. Dalam penga­laman dan perkembangannya, Tiongkok bukan saja mencapai keber­hasilan tetapi juga kegagalan dan hambatan, jalan benar dan juga jalan yang sama sekali salah. Bukan Uni Soviet atau Rusia, bukan juga Amerika, melainkan Tiongkok dan rakyatnya sendirilah yang paling tahu bagaimana membenahi kesalahan, bagaimana mengubah, me­ngoreksi. mengadakan penyesuaian dengan kebutuhan dan kepentingannya sendiri. Kita pernah lihat kesejahteraan yang mau dibangun lewat sistem komune, konsep ekonomi “Lompatan Jauh ke Depan“, Revolusi Besar Kebudayaan yang bukan saja tidak berhasil malah terjadi kemunduran, sempat mengakibatkan retaknya persatuan sesama para pejuang bangsa. Namun dari Tiongkok sendiri kita juga dengar istilah-istilah “keliru garis”, “kesalahan ideologis”, kita lihat dinamik gerakan pembetulan untuk keluar dari kesalahan dan menempuh jalan yang benar. Satu contoh: berjuta hektar padang rumput tidak produktif bermetamorfosa jadi wilayah industri maju, teknologi tinggi berkembang pesat, pembangunan prasarana format raksasa tersebar di seluruh negeri, tingkat kemakmuran melonjak naik, pertumbuhan ekonomi membikin dunia terkagum-kagum, sedangkan Tiongkok sendiri mengakui kesejahteraan belum merata. Sungguh tantangan maha besar bagaimana merata mendistribusikan kesejahteraan bagi 1,3 milyar manusia, jumlah 1/5 penduduk dunia. Tetapi kita lihat dinamik koreksi-diri, bukan saja teknis tetapi juga meliput salah-urus dan salah-garis politik, ekonomi, budaya, sosial. Bahkan juga tidak henti-hentinya berlangsung pembenahan tesis-tesis ideologi. Luar biasa!
     Kita tidak sedang mengidealisasi suatu Tiongkok Sosialis. Kata Pengantar di bagian depan (hlm. xvi) sudah menulis tentang sikap bercadang kita. Tiongkok Baru saat ini berada dalam satu lomba politik menentukan. Apakah benang merah cita-cita sosialisme baru Tiongkok yang akan sampai duluan di garis final? Ataukah konsep kemakmuran à la MacDonald/Starbucks, berikut sisa-sisa kekuatan pra-1949 yang tidak kelihatan di permukaan yang akan menang?
     Kongres PKT ke-XVII jelas menjawab tantangan yang dihadapi dalam lomba politik yang sangat menentukan itu. Epilog ringkas ini tidak bermaksud mengkaji hasil Kongres PKT terakhir. Kita hanya mencatat esensi Kongres PKT ke-XVII, yaitu penegasan kemandirian berpolitik yang compatible dengan kepentingan dan kebutuhan Tiongkok sendiri. Semua merujuk ke bumi tempat berpijak, dan selalu kembali kepada kepentingan nasional. Dengan penuh perhatian kita catat beberapa butir rincian keputusan Kongres, antara lain tentang pentingnya menguasai perkembangan ilmiah masyarakat – lengkap di bidang politik, ekonomi, budaya dan sosial. Kita lihat landasan marxisme tetap dipertahankan, tetapi terjadi mutasi wawasan politik dari marxisme-leninisme ke rumus baru: “sosialisme berkepribadian tiongkok”. Juga muncul butir baru dalam konstitusi: menyelenggarakan “keharmonisan” dalam negeri dan antarnegara.
     Jadi, nilailah Tiongkok sesuai aspirasi rakyatnya sendiri dan selalu dalam gerak proses perkembangan, tidak statis. Tentu selalu ada golongan berbeda aspirasi – namun semua terpulang pada Tiongkok sendiri mengatasi beda pendapat itu, bagaimana menangani kontradiksi internal masyarakat dengan rumus keharmonisan yang kini tercantum resmi dalam konstitusi. Lagi-lagi jelas bukan pakai standar Bush dan Soeharto. Kita akui hak semua pihak berpendapat lain, tetapi siapa pun tidak berhak menganggap pendapat sendiri sudah yang paling benar, apalagi memaksakan pihak lain dengan kekerasan menerima pendapatnya itu.
     Kembali menilai hasil Kongres PKT ke-XVII, para pendukung garis sosialisme boleh jadi menerimanya dengan kelegaaan politik – namun statement dan segala keputusan yang serba baik itu barulah di atas kertas, kita masih menunggu apa dan bagaimana jadinya dalam praktek. Sudah kita singgung bahwa di Tiongkok Baru transparan sekali sedang berlangsung lomba sengit antara dua arus besar: di satu pihak jelujur benang sutera merah yang disebut “Sosialisme Tiongkok”, di lain pihak jalin-menjalin tali-temali hitam yang kita kiaskan dengan “konsep MacDonald/Starbucks” alias praktek semurni-murninya garis kapitalisme.
     Di kalangan penduduk yang mendadak menikmati kemakmuran materi terjadi suatu euforia, memuja-muja tepatnya kata-kata Deng Xiaoping yang tidak peduli kucing hitam atau putih, yang penting bisa tangkap tikus (bu guan bai mao hei mao, dan seterusnya ...). Dalam praktek ini cenderung berarti tidak soal menempuh jalan apa pun, asal bisa membawa kemakmuran. Maka muncullah gejala Birokrasi di propinsi-propinsi, kabupaten-kabupaten dan kota-kota besar jor-joran mengejar kemakmuran yang berorientasi semata-mata pada pertumbuhan ekonomi, tanpa peduli lagi pada cita-cita sosialisme seakan-akan para founding fathers RRT tidak berideologi. Terlupakan sudah semua ajaran marxisme, tidak ada lagi teori perjuangan kelas, semua mengejar target pertumbuhan ekonomi yang optimal.
     Para pejabat Partai maupun Birokrasi yang menghalalkan mengejar kemakmuran dengan cara apapun, sebenarnya dengan pincang me­nunggangi atau menyalah-gunakan ucapan Deng tentang kucing dan tikus itu. Padahal Deng Xiaoping tahu betul bahwa“reformasi” dan “keterbukaan” adalah wawasan baru bagi rakyat Tiongkok. Karena itu, Deng mengantisipasinya dengan suatu peringatan. Kata-kata bersayap kucing-tikus sebenarnya masih ada “sandingan kembarnya” yaitu sebuah kearifan kuno yang berkata “menyeberangi sungai – pegang batu” (mo zhe shi tou guo he). Maksudnya menyeberangi sungai atau mengambil keputusan haruslah berhati-hati! Jangan sampai kecebur dan hanyut diseret arus sungai. Walaupun dibenarkan memelihara sembarang kucing, tetapi hal itu harus dilakukan dengan hati-hati. Tidak bisa dihalalkan menempuh segala cara. Emangnya para pejuang Tiongkok Baru tidak punya azas politik-ideologi ketika Mao Dzedong memproklamasikan R.R.T pada 1 Oktober 1949?
     Ucapan apalagi teori seorang pemimpin jangan dicuplik sekeping saja, dipisah dari konteksnya yang utuh. Bila ingin mengikuti Deng Xiaoping, dalamilah teori dan rumus slogannya secara utuh: “satu titik sentral — dua titik dasar”.
Satu titik sentral : Pembangunan Ekonomi sebagai Titik Sentral.
Dua titik dasar : I Harus menjalankan Reformasi. II Harus mempertahankan Empat Prinsip:
1. mempertahankan Sosialisme,
2. mempertahankan Diktatur Proletariat,
3. mempertahankan Partai Komunis yang me­mimpin,
4. mempertahankan marxisme-leninisme Pikir­an Mao Dzedong.
     Bagaimanakah pertanggungan-jawab Birokrasi yang semata-mata cuma berkukuh pada sepotong teori kucingnya Deng Xiaoping? Kita semua tahu rumus ideologi Partai dari Kongres ke Kongres bisa berubah dan berkembang – selain pikiran Mao Dzedong dan Deng Xiaoping, Kongres ke XVII pun menampung pemikiran Jiang Zemin dan Ho Jintao, tetapi apa pun perubahannya tidak ada rumus yang mengarah ke pragmatisme, liberalisme dan kapitalisme.
     Kongres PKT ke XVII menggaris-bawahi dan mengembangkan azas marxisme-leninisme yang sudah diletakkan pada 1 Oktober 1949 dengan rumusan baru yang lebih sesuai dengan perkembangan zaman dan kebutuhan nasional Tiongkok, yaitu membangun “Sosialisme Berkepribadian Tiongkok”. Jelas bukan membangun Tiongkok liberal/ kapitalis, akan tetapi seperti sudah disinggung, sebelumnya, rumusan yang masih di atas kertas betapa pun indahnya akan tergantung pada kontrol Partai dan Pemerintah Pusat apakah jelujur benang merah sosialisme Tiongkok betul-betul berjalan dalam praktek, dan tidak didominasi kebijakan meraih kemakmuran dengan ideologi liberalisme, filsafat pragmatisme alias menempuh cara dan jalan apapun sampai-sampai menghalalkan bersaing sebebas-bebasnya à la ekonomi libe­ralisme kapitalisme.
     Han Suyin yang mewakili hati-nurani Tiongkok Baru, 15 tahun yang lalu sudah melihat gejala-gejala negatif bagaimana generasi muda Tiongkok terkontaminasi oleh budaya dan kemakmuran à la MacDonald/Starbucks. Tokoh-tokoh pujaan bukan lagi kepada para pahlawan revolusi pejuang dan pendiri Tiongkok Baru; idola mereka bergeser pada tokoh-tokoh pengusaha yang dadakan jadi milyuner dolar. Apakah ini hanya ekses negatif sebagai gejala bawaan dari suatu arus positif yang dominan? Ataukah memang ekses negatif itulah yang dominan berjalan di dalam praktek? Sejauh manakah berjalan kontrol Pemerintah Pusat dan Partai yang masih mau menegakkan prinsip sosialisme?
     Kita dari kejauhan masih tetap berharap para kader penerus garis Zhou Enlai tidak akan membiarkan Tiongkok Baru terjerumus dalam euforia kemakmuran kapitalisme. Tidak membiarkan dominasi garis MacDonald/Starbucks menguasai Tiongkok, sebab ini berarti menciptakan kemakmuran berlimpah-limpah hanya bagi selapis elit kecil dengan beaya yang akan dipikul mayoritas rakyat kecil, massa buruh-tani. Bagi sebagian pengamat kritis timbul kesan Partai dan Birokrasi Pusat seakan tidak keberatan rakyat kecil menikmati sisa remah-remah roti dari kantong kemakmuran kaum elit yang luber melimpah-ruah, seakan-akan lampu-hijau menyala permanen bagi teori trickling-down effect.
     Sebaliknya dengan segala niat baik, kita masih mau percaya bahwa walaupun garis MacDonald/Starbucks kelihatan mencolok, tetapi dalam skala seluruh negeri, garis itu tidak dominan.
     Kita tidak sembunyi-sembunyi menyatakan harapan agar RRT mampu berkesinambungan menjelujur benang merah membangun Tiongkok Sosialis. Dengan penuh harapan kita menunggu semua keputusan, wawasan dan eksperimen mewujud menjadi realitas. Mendengar istilah-istilah “keharmonisan” dan “berkepribadian Tiongkok”, kita langsung teringat pada Bung Karrno yang pada 1926 sebagai aktivis pemuda pejuang kemerdekaan sudah bicara tentang keharmonisan nasionalisme, islam, marxisme. Kemudian sebagai Presiden, Bung Karno menerapkan azas Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika dan Nasakom. Juga tentang “berkepribadian” telah dirumuskan cemerlang dalam slogan cekak-aos: trisakti. Di akhir tahun lima-puluhan Bung Karno bahkan sudah mulai mengindonesiakan marxisme dan sudah bicara tentang “Sosialisme à la Indonesia”. Tetapi kita tahu siapa dan kekuatan apa yang menghancurkan semua itu.
Cover buku Zhou Enlai
     Kita sadar betul, untuk mengubah cita-cita dan wawasan Bung Karno menjadi realitas, dibutuhkan banyak pemimpin berkarakter seperti Zhou Enlai, intelektual cerdas revolusioner berbudaya, jijik korupsi, konsekuen memprioritaskan kepentingan rakyat di atas kepentingan sendiri. Konsisten mandiri dalam sikap dan tindakan. Semua itu diperlukan guna menghimpun segenap kekuatan massa revolusioner dan jitu mengarahkan kekuatan itu untuk menaklukkan berbagai tantangan (machtsvorming dan machtsaanwending). Kita terpaksa mulai lagi dari awal membangun kepribadian Indonesia yang bermartabat, kemandirian untuk menegakkan keadilan dan kesejahteraan rakyat, yang sejak 1965 terputus dan sampai hari ini masih terus tertunda-tunda. – Js. ***







Subowo bin Sukaris
hasta mitra Updated at: 9:42 PM